- Oleh: Taufik Arbain
Perkembangan demokrasi di Indonesia sebenarnya telah menjadi demokrasi elit yang terkonsolidasi. Faktanya aktifitas demokrasi yang dipertontonkan lewat ranah pilkada dan pemilu selama ini, posisi rakyat hanya sebagai bagian pelengkap prosedural demokrasi itu sendiri. Rakyat diharuskan mengikuti tahapan-tahapan prosedural lewat tercatatnya dalam Daftar Pemilih Tetap, memberikan tanggapan atas Daftar Caleg Sementara (DCS), mengikuti kampanye, melihat tontonan perang bendera dan baliho di pelbagai space jalan, ruang publik dan media hingga memberikan suaranya pada pemilu.
Rentetan prosuderal ini tidak sedikit melupakan tujuan subtantif dan aspirasi masyarakat karena bagi partai politik yang terpenting dalam menetapkan wakilnya mengikuti aturan formal demokrasi. Sebab salah satu fungsi partai politik menempatkan individu-individu dalam kelompok kepentingan mengejar kekuasaan. Sebelumnya dan sekarang ini, partai politik mengkonsentrasikan pada pilihan menempatkan orang-orang yang tepat menjadi caleg dan agenda memenangkan pemilu.
Dalam konteks ini, berbagai strategi proses pemenangan pemilu dilakukan parpol untuk mempengaruhi dan menarik simpati partai. Latar belakang sosial kultural masyarakat pemilih merupakan variabel penting dijadikan dasar pijakan hingga didukung oleh instrumen-instrumen lain. Kabupaten Banjar memiliki ciri-ciri tersendiri bagaimana parpol mampu mendialogkan dan mengkomunikasikan pesan-pesan politik yang dilakukan oleh parpol untuk mempengaruhi publik.
Pandangan Kishore Mahbubani seorang penulis dari Singapura menarik untuk ditelaah, dimana pikirannya cukup provokatif dalam menyinggung harga diri dan identitas orang-orang Asia yang selalu kalah dalam banyak pertarungan dengan dunia barat. Menurutnya penelusuran terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam masyarakat Asia merupakan jalan utama menyelesaikan ancaman dan keterbelakangan yang terjadi.Intinya karena orang Asia sering tidak belajar dari sejarah dan peristiwa sebelumnya untuk dijadikan sandaran menyongsong masa depan. (2005). Dalam konteks Kabupaten Banjar tentu saja, pikiran ini sebagai bentuk bersama menyelamatkan dari keterjebakan dan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak disadari dalam proses demokratisasi selama ini.
Sejalan dengan itu, paling tidak ada tiga catatan penting yang perlu dipikirkan kembali dalam konteks memilih wakil rakyat di Kabupaten Banjar. Pertama, Jebakan kampanye simbolik. Istilah ini saya gunakan untuk memberikan ruang berpikir kritis dalam banyak ranah. Bahwa sadar tidak sadar Kabupaten Banjar sering dijadikan objek manipulasi kampanye simbolik (symbolic campaign). Simbol-simbol nuansa Islami dan primordial (kelompok ulama dan bangwasan) sering dijadikan instrumen efektif untuk mempengaruhi ruang-ruang berpikir masyarakat sehingga mengaburkan kecerdasan berpikir dan ketajaman dalam menentukan pilihan terhadap wakil rakyat yang membela kepentingan rakyat.
Saya melihat ini sebagai bentuk-bentuk kekerasan terhadap rakyat kabupaten Banjar (pihak yang dipengaruhi) dalam sejarah pemilu di Indonesia. Penjustifikasian model-model pendekatan pemilu seperti ini, sebenarnya disadari para elit Kabupaten Banjar, tetapi mereka membiarkan karena pendekatan seperti ini juga dilakukan oleh mereka. Setidaknya contoh yang paling sederhana, bahwa akan sulit ditemui adanya foto-foto caleg di wilayah Kabupaten Banjar yang tidak memakai kopiah, jilbab bahkan sorban baik terpampang di space jalan, media cetak, ruang publik dan stiker belakang mobil taksi.
Pilihan model kampanye seperti ini tentu saja bukan tanpa pikiran, namun dianggap sebagai penjustifikasian bahwa langkah awal mempengaruhi masyarakat Kabupaten Banjar cukup dengan memainkan kampanye-kampanye simbolik, sebuah pendekatan pembangunan yang sering digunakan para ahli pembangunan di dunia pada negara-negara miskin dan negara-negara berkembang.
Ketika benang merah ini ditemukan, tentu saja saatnya elit-elit kepentingan dan stakeholder Kabupaten Banjar yang memiliki rasa dan semangat untuk menyelamatkan masyarakat Kabupaten Banjar segera bangkit dalam upaya pelepasan dari jebakan kampanye simbolik seperti ini.
Kedua, Integritas moral dan kapabilitas Wakil rakyat. Memahami wakil rakyat yang dianggap bisa diharapkan mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat adalah memahami track record/jejak rekam aktifitasnya. Seseorang yang tidak memiliki track record di organisasi yang memiliki visi memperjuangkan kepentingan atau peran individunya baik aktifitas maupun pikirannya dalam membantu kepentingan umat belum pantas menjadi seseorang yang mewakili orang banyak. Minimal seseorang yang pikiran dan aktifitasnya benar-benar diketahui termasuk moralitas kesehariannya.
Mengidentifikasi ranah-ranah integritas moral dan kapabilitas inilah masyarakat Kabupaten Banjar sering dikaburkan dengan pendekatan simbolik tadi. Cukupkah seseorang yang belum banyak memakan asam garam politik dan memahami persoalan banua ini menjadi wakil masyarakat banyak di parlemen Kabupaten, Provinsi bahkan Pusat hanya kedekatan emosional dengan pimpinan partai yang menentukan pencalegkannya? Cukupkah seseorang yang baru saja membuat KTP di wilayah Kalsel bisa mewakili masyarakat Kalsel di Parlemen pusat sana, sementara belum tahu apa-apa tentang Kalsel?
Sekali lagi saya katakan, pertanyaan di atas sekadar membuka logika berpikir saja bahwa jebakan kampanye simbolik merupakan awal masuk ke ranah sebagian besar pikiran-pikiran masyarakat Kabupaten Banjar. Politisisasi individu sering diperankan pada babak pertama kampanye. Masyarakat sering sekali dikicuhkan oleh popularitas anak siapa, keturunan dari keagungan apa sebagai sumber kekuasaan yang dimilikinya sehingga mencerminkan adanya proses pembodohan bukan pendewasaan politik (Surbakti, 1992).
Sikap-sikap hidup feodal masih kuat diperankan oleh kelompok tertentu untuk mempertahankan dan menjadikan sebagai instrumen pencapaian kekuasaan, padahal fatwa dan perkataan belum tentu seseorang itu sebagai ahlinya. Tetapi masyarakat mengartikan sebagai sebuah kebenaran hakiki dan patut untuk memilihnya. Kemampuan seseorang yang memiliki kecerdasan, berani dan bermoral tidak laku ketika berhadapan dengan kondisi masyarakat seperti ini. Padahal di Kabupaten Banjar tidak sedikit orang-orang yang memiliki kapasitas seperti itu, tetapi tersisihkan.
Masyarakat harus memahami wakil rakyat yang memiliki kapabilitas dan berideologis, bukan sekadar nilai-nilai ideologis yang dibuat partai di tingkat pusat, tetapi pengejawantahan ideologis tersebut pada tataran lokal. Artinya wakil rakyat yang paham persoalan-persoalan lokal tentang kemiskinan, jaminan hidup, kerusakan lingkungan akibat pertambangan, kesempatan berusaha dan lainnya dan berani memperjuangkannya.
Hari ini bagi masyarakat Kabupaten Banjar, dengan gelaran haulan para ulama atau zikir akbar yang disponsori oleh partai atau elit-elit politik dan pengusaha terasa sudah cukup menyiratkan bahwa wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang dipilih sudah memenuhi aspirasinya.Terlalu murah sebuah pesta demokrasi, rakyat harus dibayar dengan kepuasan seperti itu. Sementara keputusan-keputusan politik dan kebijakan yang merusak lingkungan terus berlangsung. Rakyat masih terpesona pada kedermawanan caleg yang uangnya didapat dari kolusi dan pelegalan kebijakan yang menyimpang.
Problem ini sebenarnya diawali dari kegagalan partai politik dalam mengemban fungsi menyalurkan aspirasi publik lewat rekruitmen pencalegkan, akibat partai politik dikuasai oleh kekuatan para saudagar, militer, preman dan aristokrat. Penguasaan ini tentu saja menyiratkan orientasi pragmatis dan karakteristik partai politik cenderung kalkulatif dan oppurtunis. Contoh sederhana partai-partai yang menempatkan para selebriti yang baru membaca semalam tentang ideologi dijadikan sebagai wakil rakyat sekadar meraih suara. Persoalan kemampuan berargumentasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat pada babak berikutnya di parlemen itu soal nomor sekian.
Dari fakta ini sebenarnya masyarakat Banjar bisa membuat tafsir serupa bagaimana kemiripan ini terjadi dalam proses pencalegkan di Kabupaten Banjar. Apakah memilih calon wakil rakyat yang hebat pada ronde pertama (vote getter), sementara duduk, diam, diam, dengar pada ronde kedua? Tentunya yang dibutuhkan masyarakat Kabupaten Banjar adalah yang selalu memenangkan pertarungan untuk kepentingan rakyat pada setiap ronde hingga 5 tahun menjabat.
Ketiga, transformasi sosial. Melepaskan masyarakat dari virus pragmatis material dan pelepasan dari bentuk primordial dalam proses demokrasi merupakan upaya melakukan transformasi sosial. Sebab virus pragmatis material dalam proses demokrasi bisa dikategorikan sebagai ancaman untuk mendapatkan wakil rakyat yang bersih dan profesional.
Ciri-ciri calon wakil rakyat yang menyebarkan virus pragmatis material adalah yang memanfaatkan kemiskinan materi dan mental masyarakat untuk membenarkan segala tindakan-tindakan keliru sosialnya dan tindakan otoritas yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan dengan cara memberikan sesuatu.
Tidak sedikit masyarakat yang menganggap masa bodoh apapun keputusan politik dari wakil rakyat yang diwakilikinya, yang terpenting kebutuhan materi dalam jangka pendek terpenuhi. Inilah mengapa kampanye harus mengeluarkan cost yang mahal. Bagi mereka yang berduit tidak begitu risau menjalani masa kampanye ini. Tetapi bagi mereka yang bermodalkan idealisme, semangat dan pikiran progresif yang tidak ditopang dengan uang cukup, bisa dibayangkan kegentaran mereka. Karena masyarakat sendiri sudah berparadigma ”maju tak gentar, membela yang bayar”.
Tidak gampang memang melakukan proses transformasi sosial yang memberikan penyadaran kepada masyarakat yang terkena virus miskin materi dan mental akibat ulah para politisi nakal. Saat ini banyak pandangan bahwa kecerdasan berpolitik rakyat adalah, ”ketika rakyat menerima pemberian apapun dari siapa pun, tetapi tidak terikat memilih apapun dan siapa pun”. Justru ini adalah kelanjutan dari nalar yang keliru. Tetap saja proses kampanye masih menyisakan cost yang mahal dan menyisakan dendam wakil rakyat terpilih untuk mambulikakan modal yang akhirnya melakukan tindakan korup.
Tentu saja, proses transformasi sosial dimana soal keadilan da kesejahteraan rakyat bermula dari proses politik harus dilakukan oleh agen-agen perubahan di Kabupaten Banjar. Jika selama ini pendekatan agama dimonopoli para politisi dalam mempengaruhi publik, maka para pemangku agama dan intelektual pun harus berani untuk melakukan transformasi sosial ke arah perbaikan proses politik yang mencerminkan nilai-nilai agama secara rasional.
Abdullah (1994:173) telah membentangkan pandangan cerdas, bahwa agama sebenarnya telah banyak membantu proses sejarah peradaban dengan cara mendorong perubahan orientasi nilai ke arah rasionalitas. Agama menjadi penghapus ikatan-ikatan tradisional, yang menekankan kehidupan sebagai bagian dari tatanan yang harmoni.
Tentu saja, fakta kekerasan dari keterjebakan simbolik di Kabupaten Banjar perlu menjadi perhatian serius untuk menghasilkan wakil rakyat yang bersih, kapabel, progresif, idealis, bermoral dan mencintai rakyatnya. Pikiran-pikiran seperti ini sebenarnya dibutuhkan partipasi yang melibatkan berbagai unsur yang baragam dalam konteks pemikiran ulang terhadap proses demokrasi keliru yang ”sering tak disadari” karena terkungkung oleh pola-pola yang cenderung sistematis. Terlalu!!!
Banjarmasin, 30 Oktober 2008.
Daftar pustaka
Abdullah, Irwan.2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mahbubani, Kishore.2005. Bisakah Orang Asia Berpikir. Teraju, Jakarta
Surbakti, Ramlan.1992. Pengantar Ilmu Politik. Gramedia Widyasarana, Jakarta
[1] Dosen Fisip Universitas Lambung Mangkurat
banua adalah kehidupan banua adalah keperkasaan banua adalah harapan Alamat: Jalan Gatot Soebroto IX, Arthaloka 1, No.7 RT.26 Banjarmasin. E-mail:lukah2009@yahoo.co.id
Friday, October 31, 2008
Wakil Rakyat, Demokrasi dan Pemilu 2009:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment