Oleh: Taufik Arbain
Salah satu kebiasaan yang dilakukan para pemudik pasca lebaran adalah melakukan arus balik yang sering disertai dengan rombongan tambahan dari sanak saudara menuju daerah tujuan. Faktor-faktor bawaan ini adalah dampak dari remiten. Para ahli demografi mendefinisikannya sebagai bentuk bawaan mudik baik berupa keuangan, cerita fenomena sosial lingkungan kerja, konsep pembangunan, termasuk hasrat untuk membantu masalah yang dihadapi sanak saudara di daerah asal.
Kemampuan mengajak serta sanak saudara dan penduduk kampung menuju daerah tujuan adalah bentuk pengakuan keberhasilan sang pemudik di perantauan. Maka sumberdaya berlebih yang dimiliki migran terdahulu digunakan sebagai pintu masuk pertama bagi migran lanjutan. Ciri-ciri penduduk yang bergerak menuju perkotaan dan daerah potensial lainnya adalah penduduk yang berpendidikan rendah, minim keterampilan, miskin dan dominan memasuki dunia kerja di sektor informal (tersier).
Dalam konteks ini bisa dimaknai bahwa kekuatan migrasi desa-kota selama ini didasari oleh faktor daya tarik dan daya dorong sebagaimana teori Everret Lee, untuk negara-negara berkembang faktor daya dorong dari pedesaan adalah faktor determinan. Kesempatan dan peluang kerja di pedesaan yang kecil menyebabkan pilihan melakukan migrasi antar wilayah dan menuju perkotaan terdekat adalah langkah menjawab kemiskinan yang melilit mereka.
Kajian Arbain (2005) tentang pola mobilitas penduduk pedesaan Batola menengarai banyaknya penduduk pedesaan Batola yang melakukan mobilitas ulang-alik ( commuting) untuk jarak yang relatif pendek dari daerah asal ke tujuan. Realitas ini terlihat dari penduduk transmigrasi dan lokal yang menjadi buruh bangunan di Kota Banjarmasin lalu-lalang pagi dan sore. Sedangkan penduduk yang berjarak relatif jauh dengan daerah tujuan cenderung melakukan mobilitas permanen dan bermukim di kawasan kumuh, atau ke daerah potensial lainnya.
Kasus Batola sedikit berbeda dengan Hulusungai yang berjarak relatif jauh dari kota dan daerah potensial lainnya. Arus migrasi desa-kota dan antar kawasan penduduk ini cenderung permanen disertai dengan diversifikasi pekerjaan yang cenderung menjadi pedagang, buruh angkut dan lainnya. Sub rumpun Banjar Hulusungai cenderung membedakan jenis pekerjaan yang dilakoni. Orang Amuntai-Alabio-Nagara yang memiliki jiwa dagang akan berbeda dengan pilihan pekerjaan orang Kandangan dan Barabai serta Rantau. Disinilah senyatanya perilaku migran meninggalkan daerah asal menuju daerah tujuan dengan kuatnya daya dorong dan daya tarik.
Fakta ini bisa dilihat semakin tingginya pertumbuhan orang-orang Hulusungai mendiami kota Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Meskipun data BPS untuk in migration Kota Banjarmasin dalam kurun 10 tahun trennya menurun (<> 1 % adalah pilihan tempat bermukim. Handil bakti, Km 7 dan Gambut adalah daerah pinggiran yang mengakomodasi para pekerja di Banjarmasin. Dua daerah ini justru terjadi reklasifikasi yaitu perubahan status desa menuju kota yang diikuti dengan meningkatnya angkatan kerja dan jumlah penduduk.
Hal ini diikuti dengan daerah tujuan potensial lainnya seperti Batu Licin Tanah Bumbu dan beberapa kota-kabupaten di Kalimantan Tengah dan Timur. Tren pertumbuhan penduduk di Hulusungai selalu berada rata-rata angka <1hingga 17="" 1="" abad="" adanya="" asalnya.="" awal="" bagi="" balangan="" bps="" br="" daerah="" dan="" dari="" data="" di="" ekstraktif="" in="" industri="" justru="" karena="" kawasan="" kerja="" kesempatan="" lebih="" lokal="" madam-nya="" melakukan="" memberikan="" memiliki="" meskipun="" migration="" miskin="" namun="" out="" pekerja="" pendatang.="" penduduk="" perkebunan="" persen="" ruang="" sebagian="" sebaliknya="" sejak="" seperti="" tabalong="" tambang="" tapin="" tertentu="" tidak="" tradisi="" untuk="" yang="">Fenomena gerakan penduduk ini disebabkan oleh disparitas pembangunan desa-kota yang selama ini berorientasi pada perkotaan. Simpul-simpul pembangunan antar kawasan yang tidak terintegrasi menyebabkan penguatan dan pemberdayaan di sektor pertanian, perkebunan dan perikanan khas jenis pekerjaan sustainable penduduk lokal tidak memberikan dampak signifikan dalam penguatan ekonomi masyarakat. Tidaklah mengherankan pada masa-masa tertentu sektor pertanian dominan dikerjakan oleh para istri yang ditinggalkan para migran dalam jangka waktu yang relatif lama dengan produktifitas kerja yang rendah. Fakta ini terjadi di Kabupaten HSS dalam beberapa dekade terakhir.
Pasalnya selama ini penanganan kemiskinan pedesaan Kalsel selalu dibayang-bayangi oleh kepentingan kapital, sehingga daerah pedesaan kalaupun ada mendapatkan sentuhan pembangunan harus membayar mahal dengan kepasrahan pengeksploitasian sumberdaya alam. Akibatnya penduduk pedesaan dalam jangka waktu relatif panjang tidak sekadar dihadapkan pada bencana alam berupa banjir dan kerusakan ekosistem lahan garapan, justru kemiskinan terus mengancam mereka.
Rusaknya sumberdaya alam berarti ancaman bagi resistensi kehidupan mereka. Sementara proses pembangunan yang melirik pedesaan lewat tetesan dari pertumbuhan ekonomi dominan dinikmati para pendatang yang memperoleh keuntungan dari akses solidaritas etnis dan kesesuaian jenis pekerjaan yang dilakoni. Termasuk para investor asing dan investasi ”para jenderal Jakarta” untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Inilah yang dimaksud dengan pembangunan setengah hati yang menguntungkan elit kapital dan pendatang. Pembangunan pedesaan Kalsel dan komunitasnya ditinggalkan, telah berubah menjadi pasar dan kesempatan bagi para pendatang. Daya paksa bertahan hidup di desa semakin melemah. Akhirnya arus balik mudik beserta rombongan menuju kota dan antar kawasan untuk memperbaiki taraf hidup adalah gerakan menjawab kemiskinan pedesaan yang melilit hidup mereka.
Kebijakan pembangunan dan kependudukan Kalsel yang terintegrasi dan komprehensif hingga sekarang belum mampu menjawab persoalan ini, minimal memperluas lapangan pekerjaan atau ekstensifikasi lahan garapan dan pengembangan industri kecil agar tetap bertahan mengembangkan daerah asal. Realitasnya, buru-buru mengembangkan daerah, hidup mereka pun terancam oleh bencana alam yang siap mengambil nyawa. Dimanakah pemimpin-pemimpin daerah yang selama ini dekat dengan para ulama yang mengajarkan bahwa kerusakan di darat dan di lautan adalah perbuatan tangan-tangan manusia termasuk para pemimpin tadi? Kasihan memang!!!. (radar banjarmasin, 8 Oktober 2008)1hingga>
Salah satu kebiasaan yang dilakukan para pemudik pasca lebaran adalah melakukan arus balik yang sering disertai dengan rombongan tambahan dari sanak saudara menuju daerah tujuan. Faktor-faktor bawaan ini adalah dampak dari remiten. Para ahli demografi mendefinisikannya sebagai bentuk bawaan mudik baik berupa keuangan, cerita fenomena sosial lingkungan kerja, konsep pembangunan, termasuk hasrat untuk membantu masalah yang dihadapi sanak saudara di daerah asal.
Kemampuan mengajak serta sanak saudara dan penduduk kampung menuju daerah tujuan adalah bentuk pengakuan keberhasilan sang pemudik di perantauan. Maka sumberdaya berlebih yang dimiliki migran terdahulu digunakan sebagai pintu masuk pertama bagi migran lanjutan. Ciri-ciri penduduk yang bergerak menuju perkotaan dan daerah potensial lainnya adalah penduduk yang berpendidikan rendah, minim keterampilan, miskin dan dominan memasuki dunia kerja di sektor informal (tersier).
Dalam konteks ini bisa dimaknai bahwa kekuatan migrasi desa-kota selama ini didasari oleh faktor daya tarik dan daya dorong sebagaimana teori Everret Lee, untuk negara-negara berkembang faktor daya dorong dari pedesaan adalah faktor determinan. Kesempatan dan peluang kerja di pedesaan yang kecil menyebabkan pilihan melakukan migrasi antar wilayah dan menuju perkotaan terdekat adalah langkah menjawab kemiskinan yang melilit mereka.
Kajian Arbain (2005) tentang pola mobilitas penduduk pedesaan Batola menengarai banyaknya penduduk pedesaan Batola yang melakukan mobilitas ulang-alik ( commuting) untuk jarak yang relatif pendek dari daerah asal ke tujuan. Realitas ini terlihat dari penduduk transmigrasi dan lokal yang menjadi buruh bangunan di Kota Banjarmasin lalu-lalang pagi dan sore. Sedangkan penduduk yang berjarak relatif jauh dengan daerah tujuan cenderung melakukan mobilitas permanen dan bermukim di kawasan kumuh, atau ke daerah potensial lainnya.
Kasus Batola sedikit berbeda dengan Hulusungai yang berjarak relatif jauh dari kota dan daerah potensial lainnya. Arus migrasi desa-kota dan antar kawasan penduduk ini cenderung permanen disertai dengan diversifikasi pekerjaan yang cenderung menjadi pedagang, buruh angkut dan lainnya. Sub rumpun Banjar Hulusungai cenderung membedakan jenis pekerjaan yang dilakoni. Orang Amuntai-Alabio-Nagara yang memiliki jiwa dagang akan berbeda dengan pilihan pekerjaan orang Kandangan dan Barabai serta Rantau. Disinilah senyatanya perilaku migran meninggalkan daerah asal menuju daerah tujuan dengan kuatnya daya dorong dan daya tarik.
Fakta ini bisa dilihat semakin tingginya pertumbuhan orang-orang Hulusungai mendiami kota Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Meskipun data BPS untuk in migration Kota Banjarmasin dalam kurun 10 tahun trennya menurun (<> 1 % adalah pilihan tempat bermukim. Handil bakti, Km 7 dan Gambut adalah daerah pinggiran yang mengakomodasi para pekerja di Banjarmasin. Dua daerah ini justru terjadi reklasifikasi yaitu perubahan status desa menuju kota yang diikuti dengan meningkatnya angkatan kerja dan jumlah penduduk.
Hal ini diikuti dengan daerah tujuan potensial lainnya seperti Batu Licin Tanah Bumbu dan beberapa kota-kabupaten di Kalimantan Tengah dan Timur. Tren pertumbuhan penduduk di Hulusungai selalu berada rata-rata angka <1hingga 17="" 1="" abad="" adanya="" asalnya.="" awal="" bagi="" balangan="" bps="" br="" daerah="" dan="" dari="" data="" di="" ekstraktif="" in="" industri="" justru="" karena="" kawasan="" kerja="" kesempatan="" lebih="" lokal="" madam-nya="" melakukan="" memberikan="" memiliki="" meskipun="" migration="" miskin="" namun="" out="" pekerja="" pendatang.="" penduduk="" perkebunan="" persen="" ruang="" sebagian="" sebaliknya="" sejak="" seperti="" tabalong="" tambang="" tapin="" tertentu="" tidak="" tradisi="" untuk="" yang="">Fenomena gerakan penduduk ini disebabkan oleh disparitas pembangunan desa-kota yang selama ini berorientasi pada perkotaan. Simpul-simpul pembangunan antar kawasan yang tidak terintegrasi menyebabkan penguatan dan pemberdayaan di sektor pertanian, perkebunan dan perikanan khas jenis pekerjaan sustainable penduduk lokal tidak memberikan dampak signifikan dalam penguatan ekonomi masyarakat. Tidaklah mengherankan pada masa-masa tertentu sektor pertanian dominan dikerjakan oleh para istri yang ditinggalkan para migran dalam jangka waktu yang relatif lama dengan produktifitas kerja yang rendah. Fakta ini terjadi di Kabupaten HSS dalam beberapa dekade terakhir.
Pasalnya selama ini penanganan kemiskinan pedesaan Kalsel selalu dibayang-bayangi oleh kepentingan kapital, sehingga daerah pedesaan kalaupun ada mendapatkan sentuhan pembangunan harus membayar mahal dengan kepasrahan pengeksploitasian sumberdaya alam. Akibatnya penduduk pedesaan dalam jangka waktu relatif panjang tidak sekadar dihadapkan pada bencana alam berupa banjir dan kerusakan ekosistem lahan garapan, justru kemiskinan terus mengancam mereka.
Rusaknya sumberdaya alam berarti ancaman bagi resistensi kehidupan mereka. Sementara proses pembangunan yang melirik pedesaan lewat tetesan dari pertumbuhan ekonomi dominan dinikmati para pendatang yang memperoleh keuntungan dari akses solidaritas etnis dan kesesuaian jenis pekerjaan yang dilakoni. Termasuk para investor asing dan investasi ”para jenderal Jakarta” untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Inilah yang dimaksud dengan pembangunan setengah hati yang menguntungkan elit kapital dan pendatang. Pembangunan pedesaan Kalsel dan komunitasnya ditinggalkan, telah berubah menjadi pasar dan kesempatan bagi para pendatang. Daya paksa bertahan hidup di desa semakin melemah. Akhirnya arus balik mudik beserta rombongan menuju kota dan antar kawasan untuk memperbaiki taraf hidup adalah gerakan menjawab kemiskinan pedesaan yang melilit hidup mereka.
Kebijakan pembangunan dan kependudukan Kalsel yang terintegrasi dan komprehensif hingga sekarang belum mampu menjawab persoalan ini, minimal memperluas lapangan pekerjaan atau ekstensifikasi lahan garapan dan pengembangan industri kecil agar tetap bertahan mengembangkan daerah asal. Realitasnya, buru-buru mengembangkan daerah, hidup mereka pun terancam oleh bencana alam yang siap mengambil nyawa. Dimanakah pemimpin-pemimpin daerah yang selama ini dekat dengan para ulama yang mengajarkan bahwa kerusakan di darat dan di lautan adalah perbuatan tangan-tangan manusia termasuk para pemimpin tadi? Kasihan memang!!!. (radar banjarmasin, 8 Oktober 2008)1hingga>
No comments:
Post a Comment