Oleh: Taufik Arbain
Mereka yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah
Dipastikan akan mengulagi pengalaman buruk dari sejarah itu(George Santayana, 1863-1952).
Peristiwa Kamis (18/10) kemarin benar-benar mencoreng nama dan citra kepemudaan Kalimantan Selatan. Bagaimana tidak antar OKP terjadi bentrokan hingga berdarah-darah.
Semua orang tercengang, akan kasus ini. Tetapi ketercengangan itu akhirnya mereda, sebab setiap peristiwa besar soal kepemudaan di Kalsel selalu melibatkan oknum itu-itu saja. Artinya kalau ada ungkara di banua, kada lain lagi orangnya.
Kami dengan teman-teman langsung mendiskusikan persoalan ini bahwa selama satu dasawarsa gerakan kepemudaan Kalsel termasuk kepemudaan yang selalu difasilitasi pemerintah atau underbouw dari partai politik, sangat jarang terdengar melakukan upaya-upaya yang menyuarakan soal kemiskinan banua ini, pendidikan yang memprihatikan, kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam yang dijarah para pengusaha bekingan pusat beserta peraturan pemerintah hingga oknum aparat yang memperkaya diri jika bertugas di Kalsel.
Tetapi yang sering didengar adalah aksi demonstrasi yang dalam analisis sosial politik menunjukkan gerakan dengan posisi dependen terhadap pihak yang memberikan pesanan. Bahasa kasarnya demonstran bayaran baik kepada lembaga swasta maupun pemerintah. Celakanya kelompok ini sering dipelihara para politisi dan pengusaha untuk mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kata kawan saya, terkadang para politisi dan pengusaha banua, tahu ja sakit barangnya, namun aksi OKP itu masih dianggap.
Sebenarnya tidaklah keliru OKP kritis dan memang demikian perannya dalam arena demokrasi, namun kepentingan dan gerakan yang sifatnya pragmatis bahkan jelas mewakili kepentingan siapa sudah terlalu ”sombong” dan sangat ”batampai” dipertontonkan kepada publik.
Untuk itu, saya kira peran semua pihak baik eksekutif, legislatif, perguruan tinggi dan kelompok stakeholder lainnya untuk melakukan revitalisasi peran pemuda banua dengan berkaca pada catatan sejarah, cukup dua dasawarsa. Tujuannya untuk mempertegas betapa pragmatisnya beberapa OKP dan gerakan pemuda Kalsel hingga hari ini sampai-sampai salah satunya melegitimasi kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara. Buru-buru kritis untuk menolak proses pemiskinan banua atau konflik karena soal ideologis.
Kembali ke soal gedung pemuda dan bentrokan. Saya pikir tepat saja Pemerintah Provinsi untuk membangun kembali gedung pemuda tersebut dengan indikator bahwa gedung tersebut diperuntukan bagi aktifitas kepemudaan, lokasi dan tempat memiliki nilai historis dan bukan klim hak dari salah satu OKP termasuk KNPI Kalsel. Artinya Pemerintah Provinsi mesti tegas menunjukan dasar hukum hak kepemilikan bangunan tersebut yang semula bernama Gedung Pesta Pemuda sejak tahun 1959.
Kekeliruan selama ini yang diklim milik KNPI pada masa kepemimpinan Gusti Iskandar Sukma Alamsyah harus segera diklerkan, sehingga Pemprov memiliki otoritas penuh untuk merehab, membangun termasuk memanfaatkan gedung tersebut dengan sandaran adanya ruang komunikasi dan konsultatif dengan para OKP yang ada.
Saya tidak habis pikir, bagaimana ada pikiran bahwa pembangunan Gedung Pemuda tersebut sia-sia sehingga harus ditukar-gulingkan dan dibangun di Banjarbaru mengikuti perpindahan perkantoran Pemprov Kalsel? Kalau ditukar-gulingkan dengan pengusaha siapa lagi untuk kembali merebut posisi strategis dan merebut nilai historis sebagaimana kasus tukar guling Balai Wartawan yang tragis dan menyedihkan? Apakah pendekatan-pendekatan ”memalukan” dari para tokoh banua untuk kepentingan pribadinya mau terulang lagi? Pikiran ini sama saja kan pikiran kelompok kapital yang buntut-buntutnya juga soal uncui sebagaimana diasumsikan pungkala dari bentrokan tersebut.
Dalam perspektif sosial demografi sebuah wilayah pemerintahan pasti ada penduduknya. Penduduk tersebut memiliki komposisi dan klasifikasi umur, salah satunya adalah kelompok umur muda. Lalu Banjarmasin yang berjumlah sekitar 600 ribu itu cuma bayi atau orang tua jompo ya menghuninya?
Jadi sekali lagi, adalah tanggung jawab pemerintah untuk membangun kembali bangunan yang dulu bernama Gedung Pesta Pemuda dengan menunjukkan dasar hukum bahwa bangunan tersebut adalah aset Pemprov sehingga tidak ada klim sepihak yang sering menjadi pungkala konflik kepentingan. Bahkan sebuah tanggung jawab besar untuk menghindari pengulangan sejarah yang buruk dan pahit jika ditukar guling lagi. Dana APBD salah satunya lebih baik untuk itu demi menjaga nilai historis, apalagi berarsitektur Banjar. Kata teman saya lagi, ”Itu lebih baik daripada dana APBD untuk umrah para pemuda atau naik haji, misalnya!”....aiiii adakah?***.(idabul 19 Oktober 2008)
No comments:
Post a Comment