Oleh: Taufik Arbain
Pengalaman sejarah negara-negara di dunia ternyata dalam kepentingan demokrasi tidak ada cost kampanye itu murah, termasuk dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Apalagi kemajuan informasi dan teknologi menyebabkan demokrasi menjadi sebuah ajang industri kapitalis yang menjadikan sebagai pasar.
Ragam model dan pendekatan demokrasi bergerak linier dengan cost yang harus dikeluarkan oleh individu atau kelompok yang berkepentingan dengan instrumen berupa iklan, spanduk, uang rokok sehingga kampanye benar-benar hidup. Sebab hidup adalah perbuatan, sebut salah satu iklan politik.
Namun demikian, ada pandangan para pakar, bahwa faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan adalah diantara yang memberikan kontribusi atas tingginya cost demokrasi apalagi dalam konteks direct democracy seperti Indonesia hari ini.
Kemiskinan penduduk di alam demokrasi dimana individu dalam suatu wilayah yang memiliki hak memilih memiliki otoritas atas nilai suaranya, terkadang menjadikan suaranya sebagai nilai yang harus dibayar dengan nominal material atau duit. Masyarakat yang bermental pragmatis sesaat ini menjadi ajang empuk bagi para politisi berduit untuk mendulang suara. Masyarakat menjustifikasi dirinya bahwa siapa nang kada mambari baras, tv, tapih atawa kakamban kada dipilih.
Bagi politisi yang memiliki modal besar ini bukan hal yang sulit, tetapi politisi yang tidak bermodal jangankan memberikan sesuatu secara langsung, membuat spanduk, bendera, billboard saja tatagis banyu mata. Paling tidak yang bisa dilakukan adalah janji-janji politik setelah memiliki otoritas kolektif di lembaga parlemen, itupun kalau dipilih dan terpilih.
Dalam konteks ini tataran kemampuan akademis/kepintaran, idealisme dan semangat membangun banua dan bangsa tidak cukup sebagai perbualan atau pencerahan mau dibawa kemana bangsa ini, karena masyarakat kelas tertentu sudah terlanjur disusupi oleh mentalitas cash and care oleh para politisi perusak mental bangsa yang menyelesaikan segala sesuatu dengan imbalan materi. Membangun image kampanye yang santun, humanis, mencerdaskan dan relatif murah berat untuk dilakukan para politisi idealis. Padahal bangsa hari ini membutuhkan politisi yang berkarakter dan memiliki integritas moral dan kemampuan yang mampu membawa bangsa ini ke arah kemajuan, bukan para politisi berorientasi pragmatis dan oppurtunis.
Saya terkadang berpikir, tidak perlu masyarakat miskin mental dan materi sok menagih-nagih janji para politisi tentang pembangunan di wilayahnya padahal saat para politisi berkampanye meminta sesuatu materi tanpa melihat apakah politisi itu busuk atau baik, bodoh atau pintar. Artinya lek sudah! Kan suara mereka sudah dibayar dengan politik uang atau politik tapih dan kakamban. Soal masa depan politik dan kebijakan pembangunan 5 tahun ke depan tidak menjadi bahasan yang subtansial.
Ada fakta lain barangkali bisa dikatakan sedikit murah, adalah ketika politisi didamping oleh Ulama atau Tuan Guru yang memiliki ratusan bahkan ribuan jamaah. Sang politisi seakan seorang insan yang alim dan pantas menjadi wakil rakyat dengan kampanye yang dilontarkan oleh sang Ulama tadi. Karena ukurannya seberapa mampu membiayai pengajian seorang Tuan Guru, maka efektiflah harapan kampanye itu.
Saya tak habis pikir model Ulama demikian, seberapa mampu dia memahami dan indikator apa yang dipakai sehingga berani menjustifikasi bahwa politisi ini mampu sebagai representasi masyarakat? Jelas sebuah kebohongan nyata. Buktinya pendekatan kampanye dengan strategi ini juga memerlukan banyak dana. Rupanya seperti pepatah Amerika, ”tidak ada makan siang yang gratis!!!”. Tapi nyatanya lagi, cara ini sangat efektif meraup suara.
Realitas ini mengingatkan saya dengan seorang senior Muhammad Ramli AA, M.ed yang menjadi caleg DPR RI dari PNBK berani melepaskan pekerjaan dosen/PNS untuk menjadi caleg. Suatu ketika saya memprovokasi alur pikirnya.
Saya katakan menjadi caleg itu mahal, dan Anda tidak cukup sekadar menjual kecerdasan, keberanian, pikiran progresif dan pengalaman yang dimiliki sebagai strategi kampanye murah di hadapan masyarakat yang sebagian kena penyakit kronis mata duitan ini atau penyakit kronis termakan perambungan Tuan Guru terhadap politisi yang membayarnya.
Boleh jadi gaji Anda di DPR RI mungkin lebih rendah dibandingkan dengan gaji para sopir truk batu bara yang lalu lalang di Kalsel ini, sementara Anda ingin memperjuangkan daerah ini tidak hancur karena eksploitasi tambang atau memperjuangkan dana pusat bisa lebih besar buat daerah termasuk kepentingan pendidikan orang-orang banua sehingga harus berhenti menjadi seorang dosen/PNS. Bagaimana anda bisa melawan para politisi yang memiliki dana dari kehancuran alam ini?
Senior saya ini hanya singkat menjawab, ”bukan gaji murah atau mahal, tetapi memiliki otoritas seorang wakil rakyatlah yang mahal yang dilandari dari kapabilitas dan kecerdasan untuk merubah kebijakan sehingga Kalsel dan Indonesia menjadi sejahtera.” Semoga sukses!!!**(idabul 27 Oktober 2008)
No comments:
Post a Comment