Oleh: Taufik Arbain
Seorang teman berkomentar, bahwa mereka yang melakukan mudik itu sebenarnya orang udik. Saya mencoba mencerna dan menghubungkan dengan beberapa konsep dan teori kependudukan. Orang udik artinya orang yang tinggal di hulu lawan dari hilir dalam perspektif daerah aliran sungai. Dahulu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain menggunakan transportasi sungai seperti perahu,
sampan atau kapal. Lama-kelamaan istilah tersebut melekat untuk menyebut orang yang bepergian menuju hulunya sungai disebut pemudik hingga tidak terbatas pada jalur apa pun. Sedangkan mereka yang balik meninggalkan udik dalam bahasa Melayu Banjar disebut labuh atau balabuh menuju hilir atau berlayar.
Lebih dari itu, orang udik dalam persepsi orang kota adalah orang yang terkebelakang, terbatas menikmati kemajuan pembangunan, lusuh dan kebanyakan miskin. Lalu seseorang teman lain berkelakar,”jadi kalau ada orang yang sambil menonton film di studio 21 ketika ada panggilan hp dibuka speakernya dan bersuara nyaring itulah orang udik.”
Apa pun persepsi soal pemudik, yang jelas pemudik dan arus balik mudik ada kaitannya dengan teori migrasi push-pull factor, yakni adanya daya tarik dan daya dorong dimana dominan motifnya ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja sehingga meninggalkan daerah asal.
Kemampuan mengajak serta sanak saudara dan penduduk kampung menuju daerah tujuan adalah bentuk pengakuan keberhasilan sang pemudik di perantauan. Maka sumberdaya berlebih yang dimiliki para pemudik terdahulu digunakan sebagai pintu masuk pertama bagi migran lanjutan. Ciri-ciri penduduk yang bergerak menuju perkotaan dan daerah potensial lainnya adalah penduduk yang berpendidikan rendah, minim keterampilan, miskin dan dominan memasuki dunia kerja di sektor informal (tersier).
Tidaklah mengherankan jika penduduk yang kembali ke kota atau arus balik pemudik menuju daerah tujuan selalu bertambah dan pemerintah daerah tujuan bulan-bulan pertama hingga enam bulan disibukkan soal kedatangan penduduk baru untuk menangai soal administrasi kependudukan dan soal perumahan maupun lainnya.
Fakta ini tidak sekadar di daerah tujuan kota, tetapi daerah tujuan pedesaan yang biasanya memiliki sumber daya alam berupa pertambangan, perkebunan maupun sektor lainnya yang banyak memberikan peluang pekerjaan.
Dalam konteks ini pemudik tidak sekadar kembali ke kota atau daerah tujuan dimana ruang pekerjaanya ada di kota, tetapi pemudik memberikan kontribusi hadirnya pendatang baru yang mengisi dan memperebutkan rezeki dan pekerjaan di perkotaan baik di sektor formal dan informal. Pemudik yang berstatus pegawai swasta atau pegawai negeri cenderung tidak banyak memberikan kontribusi mengajak serta pendatang baru, karena status mereka adalah kelompok yang bekerja untuk orang lain.
Kalau pun ada hanya dalam persentase yang sangat kecil. Justru mereka yang bergerak di sektor swasta yang cenderung membawa serta pendatang baru baik menjadi buruh, pelayan toko maupun jasa-jasa lainnya yang membutuhkan tenaga kerja yang cenderung rendah skill.
Fenomena ini berakibat dimana penduduk di daerah tujuan, khususnya kabupaten atau pedesaan yang miskin rasio jumlah penduduk laki-lakinya dibawah angka 100, dimana penduduk perempuan lebih besar. Ini pulalah yang menyebabkan sektor pertanian dan perkebunan tidak optimal dikembangkan karena sumber daya dan kecilnya tenaga untuk mengarap lahan-lahan tersebut, hingga produktifitas/hasil perkebunan dan pertanian pun rendah yang pada gilirannya belum mampu menggerakkan ekonomi rumah tangga.
Dalam pembangunan Kalsel, faktanya justru demikian. Penduduk produktif desa meninggalkan desa untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Sementara lahan-lahan kosong menjadi ajang eksploitasi para kelompok kapital untuk menggarap kandungan tambang atau memperluas lahan perkebunan. Sementara disisi lain, pemerintah gencar menghadirkan para transmigran yang disokong dengan perumahan, jatah hidup dan lahan untuk berkebun atau bertani.
Di satu sisi penduduk produktif meninggalkan desa karena rendahnya kesempatan kerja yang terkadang tidak didukung fasilitas oleh pemerintah daerah, namun di sisi lain ada kehadiran penduduk pendatang dengan dukungan fasilitas yang memadai. Ketika penduduk yang mendapat fasilitas berhasil, maka sangat ironis divonis bahwa penduduk asli pengulir. Kasian memang!!! Dan mereka pun ke kota.**(Idabul, 6 Oktober 2008)
No comments:
Post a Comment