Monday, April 20, 2009

2007

Oleh: Taufik Arbain
Besok Tahun baru! Kata teman saya. Saya pun mengiyakan. Padahal menurut orang-orang yang pernah memahami filsafat, tidak ada perbedaan waktu dengan waktu yang lain, termasuk perbedaan dan perubahan bentuk bumi. Biasa aja lagi! kata anak-anak gaul saat ini.

Cuma persoalannya, perbedaan dari tahun lama (old) dan tahun baru (new) adalah kemampuan orang mengkategorikan dengan kepentingan kapital untuk memperdagangkannya dengan segala bentuk dan simbol. Perbedaan tahun lama dibandingkan dengan memasuki tahun baru diboncengi dengan penilaian baik-buruk terhadap perilaku, kinerja, gaya hidup termasuk semangat hidup.
Nilai-nilai inilah sebenarnya yang menjadi dagangan untuk menjustifikasi pengkategorian tersebut, sehingga pergantian tahun menjadi sesuatu yang penting bagi banyak orang di muka bumi dan menjadi tradisi universal. Paradigma hari ini harus lebih baik dari kemarin adalah kata kunci pergantian tahun.
Orang pun bersorak-sorai atas pergantian tahun. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin merupakan bentuk perlawanan terhadap para pemuja keterlambatan. Sederhana saja, ketika ada seseorang atau sekelompok orang memiliki kreatifitas, visible, kapabilitas dan etos untuk maju, maka kelompok pemuja keterlambatan akan berujar, ”bah dasar kalajuan”. Pertanyaannya adalah apakah kita termasuk orang dalam kategori kalajuan atau kalambatan?
Tahun 2007 setidaknya, telah memastikan catatan-catatan penting atas perjalanan hidup termasuk perjalanan pembangunan banua ini. Bagi orang-orang di kampung atau orang-orang miskin, pergantian tahun tidaklah memberikan makna apa-apa. Kegembiraan yang mereka rasakan adalah kegembiraan semu. Orang umpat bakuliling sampai pergantian waktu tahun baru, umpat jua! Besok,Malandau! Tanpa disadari mereka kembali menjadi pemuja keterlambatan. Mereka tergiring dalam kreatifitas para kreator yang mengkategorikan waktu dengan segala bentuk dagangannya.
Pergantian tahun baru ini, saya melihat terkadang sama dengan fenomena orang berhaji. Tidak memiliki makna apa-apa. Kontruksi sosial telah menjadikan orang yang datang haji dipuja-puja sebagai hamba Tuhan yang diberikan anugerah dari hamba lainnya. Apalagi yang sudah berulang-ulang. Datang haji berbagai macam cerita dipaparkan. Orang-orang larut juga dalam kegembiraan semu. Celakanya orang-orang yang demikian tidak pernah berpikir dan tidak pernah tahu untuk melakukan derma sosial. Habis datang haji, hantam sana-sini untuk mengumpulkan harta dan kembali berhaji lagi.
Faktanya, malulah kita, ternyata para koruptor dan penipu pembangunan di banua ini yang masuk penjara, atau para aparat pemerintah yang melakukan manipulasi-manipulasi proyek pembangunan adalah mereka yang mendapat titel haji. Kada gagampangan.
Saya terenyuh dengan pernyataan aparat dari Kabupaten HSU yang bermotto bertaqwa beberapa bulan lalu, bahwa aparat pemkab yang melakukan studi banding ke NTB untuk kepentingan daerah adalah dengan dana sendiri. Hari gini dana sendiri? Bohong! Mana ada aparat pergi ke NTB dengan alasan melakukan studi banding untuk daerah dengan dana sendiri?
Jawaban kakanakan yang anak SD pun akan bisa menjawab sesuatu yang tidak mungkin. Apalagi iklim kantor yang saling bahirian dan tidak akan bergerak jika tidak ada perintah dan dana pendukung. Bahkan di Kabupaten yang menerapkan Manajemen Ilahiyah sekalipun, yakinlah! Tidak ada yang mau studi banding dengan dana sendiri.
Inilah yang saya maksudkan, apakah tahun lalu 2007, model-model pembohongan, manipulasi laporan proyek/tender, usulan-usulan dana seperti dana alokatif, pilkada incaan yang mana kalangan partai sengaja mencalonkan kandidat sekedar pelengkap prosedural demokrasi?
Atau para ulama yang himung dan kada kawa bakutik meneriakan kemungkaran bagi kalangan elit lantaran masjid, pengajian dan pesantrennya mendapatkan sumbangan dari pejabat atau pengusaha yang mengakumulasi dana dari korupsi atau dari pengrusakan alam? Atau ulama yang merasa sudah prestise jika dirinya didatangi dan naik mobil pejabat tinggi.
Inilah yang sering terjadi di banua kita yang terlanjur menjustifikasi sebagai banua yang religius. Tapi religiusitas selama ini sering hanya membenarkan sesuatu yang tidak benar, dan membenarkan kelakuan para politisi koruptif.
Ini adalah bentuk kepedihan atas fenomena sosial politik dan pembangunan yang terjadi di banua ini sejak lalu hingga tahun 2007. Jika tahun 2008, masih saja menjadi pemuja keterlambatan dan kelakuan seperti yang sudah-sudah. ”Sungguh Terlalu!”, mengutif kalimat Bung Haji Rhoma Irama. Selamat Tahun Baru**(Idabul, 31 Desember 2006)

No comments: