Oleh : Taufik Arbain
Sepanjang sejarah peradaban manusia, yang namanya rumput tidak ada yang berwarna kuning. Ianya dipastikan berwarna hijau. Para pujangga dan penyair dunia ketika melukiskan keindahan alam tak ada menyebutkan kata kalau rumput berwarna kuning, kecuali sang pujangga dan penyair dalam aras sedih gundah gulana. Itupun akan menggunakan …/kau lunglai/layu/mengharap kemurahan langit/nampaknya langit sombong/……..dan seterusnya.
Soal rumput kuning-menguning ini sebenarnya tidaklah perlu menjadi persoalan. Tetapi faktanya memang demikian. Saya pernah diundang menjadi narasumber dalam suatu kegiatan seminar yang dilaksanakan Bapedalda Propinsi Kalsel tentang membangunan partisipasi masyarakat agar peduli terhadap kebersihan untuk menjadikan kota yang hijau dan teduh. Ketika itu Banjarmasin masih hangat-hangatnya mendapatkan Kota yang Terkotor.
Dalam seminar itu saya singgung bagaimana sulitnya membangun partisipasi warga kalau pemerintah sendiri tidak membuat perencanaan yang matang dalam menata kawasan kota. Kawasan-kawasan baru yang menjadi lintasan orang dibiarkan saja rumputnya tinggi-tinggi menghiasi sisi jalan, sehingga mendorong orang yang lewat membuang sampah dan menjadikannya TPA sampah rumah tangga yang tidak resmi.
Atau juga banyak anggaran yang dikeluarkan untuk menjadikan Banjarmasin atau Kota/kabupaten lainnya ditanami tanaman di sisi-sisi jalan dalam tujuan menghijaukan kota. Tetapi aparat hanya bisa menanam, setelah itu ditinggal dan tidak dihiraukan lagi. Rumputnya labatkah, bahantukah, disiram gin kada. Apalagi tidak ada ketegasan dari pemerintah terhadap warga yang suka menebang pohon di sisi jalan untuk kepentingan usaha mereka.
Tapi yang membuat saya sangat heran, dalam acara seminar, pertemuan dengan masyarakat para pejabat dan aparat pemerintah sering menghimbau agar bersama-sama menjadikan kota bersih dan hijau. Sekali lagi hijau. Faktanya aparat pemerintah yang lainya menjadikan kota menjadikan kota kuning. Sekali lagi kuuuuning.
Saya pun berpikir dan berdiaspora dalam tafsir-tafsir politik. Apakah di Kalsel telah terjadi konflik antar relasi partai yang berwarna hijau dengan berwarna kuning? Padahal walikotanya dari partai yang berwarna biru.
Atau jangan-jangan muncul fenomena politik seperti masa orde baru, jangankan warna bangunan dan mobil proyek pemerintah yang berwarna kuning, kaos dalam pun dihimbau berwarna kuning.
Tafsir saya rupanya terlalu jauh. Baru saya ingat dalam sebuah perjalanan pulang ke Hulu Sungai, rupanya banyak sekali iklan pembasmi rumput di pinggir jalan yang benar-benar menjadikan kawasan rumput menjadi kuning dan memudahkan para petani dalam berkebun. Rupanya ini pula yang menjadikan kawasan Kota dan Kabupaten di Kalsel rumput-rumputnya menjadi kuning. Jadi tidak ada konflik politik, tetapi karena aparatnya yang Kulir saja untuk menjadikan kota menjadi bersih dan hijau. Paradoks kata orang Tamban sikap seperti itu.
Pikiran saya mencoba membandingkan dengan kawasan Kalimantan Tengah. Jika saya bepergian ke arah utara di perbatasan Tabalong Pasar Panas Barito Timur, jelas berbeda rumput di kawasan Kalsel diwarnai kuning, sementara di kawasan mereka berwarna hijau. Demikian pula jika ke arah barat di perbatasan Kapuas, saya selalu mendapati tukang rumput sepanjang jalan dengan mesin pembersih, bukan dengan alat semprot rumput. Padahal kawasan mereka adalah kawasan yang sunyi. Padang hantu gin bersih dan hijau. Pikiran-pikiran ini pernah saya utarakan dalam kegiatan seminar itu, bahwa kita perlu belajar dengan Kalimantan Tengah. Kalau cara berpikirnya begini, maka pantas saja banyak kebijakan yang tidak mendapat dukungan partisipasi warga. Lain diucap lain dilaku.
Teman saya menimpali, bahwa rumput kuning itu ada dan sah-sah saja. Sebab biasanya anak kecil yang belajar melukis sering menggambar rumput dengan warna kuning, bukan hijau. Lalu saya balik bertanya, oh... maksud kamu aparat pemerintah kita itu tidak sekadar buta warna, tetapi juga seperti anak kecil yang belum pandai melukis?Bujur-bujur ja dangsanak ai!**(Idabul, Agustus 2007)
No comments:
Post a Comment