Oleh : Taufik Arbain
Pengantar
Pemahaman geografi tidak terbatas pada masalah batas wilayah/teritorial, space, lokasi maupun potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya, tetapi masuk dalam transformasi segala aktifitas keruangan, strategi, karakteristik geografis, derajat relatifitas sentralitas teritorial negara atas aktifitas ekonomi dan sosial, hirarkhi negara, jangkauan aktifitas negara dan keterhubungan segala ruang.
Pandangan inilah yang dibentangkan para ahli geopolitik modern John Agnew dan Corbridge yang melihat bahwa tidaklah cukup memahami geografi dalam ranah batas wilayah dan rupa bumi saja, ianya dihibridakan dengan ekonomi politik yang melahirkan Ekonomi Geopolitik dengan komponen Aktifitas Keruangan (Spatial Practice) dan Gambaran Keruangan (Refresentation of Space).
Dalam tataran percaturan global wacana ekonomi geopolitik menjadi sebuah keniscayaan dalam penjustifikasian hegemoni atas suatu wilayah. Sebab konsentrasi hegemoni suatu wilayah adalah perluasan terhadap penguasaan sumber-sumber bagi sebuah negara. Wilayah geografi masih dirasakan sebagai atribut yang menunjukkan suatu identitas apakah negara atau wilayah itu memiliki keunggulan populasi penduduk, sumber daya alam maupun keuntungan lokasi yang paradigmanya kecenderungan dijadikan sebagai power untuk memonopoli dalam kompetesinya dengan negara lain.
Dalam konteks Indonesia, ekonomi geopolitik tidak sekadar mengulas hubungannya dengan negara lain dalam percaturan ekonomi politik global, tetapi Indonesia dihadapkan pada gerakan penguasaan atas batas-batas wilayah komunitas, space dan terus beranjak ke penguasaan otoritas politik. Pemilihan langsung Kepala Daerah telah jauh bergerak pada pemihan atas besar tidaknya populasi yang diidentifikasi dari entitas etnis dari suatu wilayah untuk memastikan atas kemenangannya.
Kasus Kalimantan, eksodus suatu etnis dari suatu pulau ke pulau Kalimantan menjelang Pilkada untuk memastikan kemenangan suatu etnis di luar tanah leluhurnya telah melahirkan gejala kerawanan geopolitik dan ekonomi hubungan antar etnis. Mobilisasi massa pemilih dari ikatan solidaritas etnis untuk memperkokoh hegemonik atas penguasaan posisi strategis politik, ekonomi, dan birokrasi serta pertahanan keamanan seperti sebuah pengulangan masa lalu saat Kalimantan bergabung bersama republik.
Tulisan ini secara singkat mencoba menguraikan analisis Geopolitik/Ekonomi Daerah di Tengah Isu Separatis dan Negara Federal dalam perspektif kasus Kalimantan dan Hubungan antar etnis.
Gerakan Ekskusif Lokal
Teori defrivasi relatif Michael Adas(1979) cukup fleksibel dalam menjelaskan adanya perilaku atau penyebab munculnya gerakan-gerakan yang eksklusif. Orang atau kelompok dalam situasi sosial bisa menghasilkan perasaan deprivasi relatif yang bervariasi. Misalnya tuntutan ekonomi. Namun yang paling kuat adalah sumber potensial menyebabkan orang melakukan gerakan eksklusif adalah ketidakpuasan yang luas, kemerosotan individual, ketidakadilan dan integritas kelompok serta kehilangan penghargaan terhadap diri sendiri.
Kasus Kalimantan cukup banyak menggambarkan peristiwa yang didasarkan pada teori ini. Pemberontakan Ibnu Hajar tahun 1960-an, konflik Sampit 2001 maupun wacana Kaltim Merdeka tahun 2004-an adalah fakta yang menyandarkan persoalan atas adanya perilaku hegemonik dan ketidakadilan yang dilakukan sekelompok etnis dan atau negara.
Faktor hegemonik atas klim suatu wilayah geografis bagi entitas etnis yang masih kuat memegang adat adalah penghinaan atas harga diri tanah leluhur. Konflik-konflik dalam skala mikro di tingkat lokal adalah bentuk perwujudan protes kepada negara atas ketidakmampuannya melayani dan mensejahterakan rakyat. Alat-alat kelengkapan bagi kepentingan sekelompok orang untuk kepentingan ekonomi dan kekusaan politik.
Bagaimanapun juga, bahwa suatu wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam melimpah menjadi incaran banyak orang. Catatan sejarah cukup jelas, bahwa kehadiran para penjajah Barat ke Nusantara karena faktor kekuatan sumberdaya geografis yang meliputi melimpahnya sumberdaya alam yang diperlukan negara penjajah, bukan karena besarnya populasi yang menempati suatu wilayah sebagai ranah pasar produk (ekonomi).
Itulah sebabnya, mengapa Aceh melakukan gerakan anti republik, karena ada penghinaan atas harga diri orang Aceh dan ketidakadilan dari sumberdaya alam yang mereka miliki. Boleh jadi Aceh masih tidak merasakan penuh sumberdaya alam yang dimilikinya, tetapi sejak merdeka Aceh sebenarnya merasakan penuh sang putera daerahnya menjadi penguasa di negerinya sendiri, bukan menjadi penonton di negeri sendiri. Bagaimana dengan Kalimantan yang jarang-jarang orang lokal menjadi pemimpin di negerinya sendiri?
Jadi, sebenarnya isu separatis dan Negara Federal adalah bagian dari bentuk ketidakpuasan atas perlakuan dari ordinat sebuah negara terhadap sub-ordinatnya. Bentuk sikap ini didasarkan pada faktor:
1. Kelompok entitas dari suatu wilayah geografi telah mengklim atas kepemilikannya terhadap wilayah yang didasarkan pada warisan leluhur, sejarah dan etntitas etnis. Karena disini ada ruang bagi pencirian yang berlainan dengan yang lain. Bagaimanapun kepimpinan formal dan informal suatu wilayahnya adalah simbol justifikasi pemilik negeri.
2. Faktor ketidakadilan dari apa yang diberikan dan apa yang didapat merupakan pusat ketidakpuasan sebagaimana diuraikan Adas (1979). Ketidakpusan ini baik ekonomi, politik, budaya dan lainnya.
3. Hegemonik kultur yang berlakukan ke seluruh Indonesia atas nama keseragaman, menjadikan situasi kultur lokal harus terberangus oleh kultur etnis dominan yang menjadi justifikasi resmi negara, menjadi gejala konflik dan kebencian laten kepada suatu etnis.
4. Sejarah ketidakadilan masa lalu atas perlakukan dan ketimpangan menjadi bagian penting yang memberikan kontribusi atas lahirnya gerakan separatis dan Negara Federal.
Disinilah faktor-faktor yang mendorong klim geografis mengarah kepada klim politik dan klim ekonomi. Karena klim geografis adalah syarat awal melakukan klim atas politik dan ekonomi. Berkaca dengan catatan sejarah era pasca kemerdekaan tidak ada catatan serius yang menyatakan bagian dari wilayah kecil geografis pulau Jawa menyatakan atau mengusulkan dibentuknya Negara Federal atau bentuk separatis yang memisahkan dari Republik. Tetapi justru daerah atau pulau-pulau yang ada di luar Jawa. Jadi empat faktor yang saya sebutkan sebenarnya tidak berlaku dalam komunitas yang berada dalam geopolitik dan ekonomi pulau Jawa, kecuali NTB dan NTT sebagai pulau yang miskin yang penduduknya sampai sekarang menjadi buruh di negara tetangga.
Doktrin NKRI yang usang
Kalimantan sebagai wilayah geografis yang memiliki kestrategisan lokasi dan space yang menghadirkan potensi sumberdaya alam. Migrasi penduduk antar pulau khususnya in migration ke Kalimantan menyebabkan terjadinya interaksi antar etnis. Semula pulau Kalimantan klim pemilik oleh etnis Dayak, Banjar dan Melayu dengan batas-batas adat dan teriotorialnya, telah menjadi batas dan milik Republik Indonesia dan penguasaan atas wilayah beserta kekayaan alam yang dikandungnya. Bahasa dalam UUD 1945 adalah penegasan dari paradigma Geopolitik dan ekonomi.
Saat ini penjabaran kesatuan dalam konsep NKRI hanya disandarkan pada kata keramat ”persatuan”. Disini wacana geopolitik Indonesia melulu masih diwujudkan dalam bingkai ” Wawasan Nusantara dan NKRI” yang masih tidak memberikan ruang keadilan bagi geopolitik/ekonomi masyarakat dalam wilayah tertentu.
Faktor-faktor geopolitik/ekonomi ini dibalut dengan doktrin NKRI, Wawasan Nusantara ini sebagai bagian dari proyek Nasionalisme Indonesia. Tapi dari doktrin ini justru banyak yang melupakan pemahaman yang baik atas nation masyarakat, kehendak dan pandangan berbagai elemen di dalamnya. Bagaimana gampangnya individu-individu pusat mengklim pengkamplingan lahan HPH dan tambang serta menempatkan agen-agen pusat lewat regulasi politik? Bagaimana gampangnya, hanya karena memiliki populasi besar suatu etnis di tanah yang bukan tanah leluhur adatnya bisa mengklim menjadi penguasa formal?
Dalam konteks ini UUD 1945 telah melupakan kesejahteraan dalam batasan geopolitik dan ekonomi dari ragamnya masyarakat. Rendahnya penghargaan terhadap entitas etnis pemilik negeri dalam suatu wilayah menjadi gejala laten separatisme. Kepatutan-kepatutan sosial yang dibangun untuk saling bertoleransi terkalahkan oleh pengusaan atas otoritas politik dan ekonomi. Adalah sesuatu tidak adil dan memuakkan, untuk memenangkan suatu PILKADA harus mendatangkan komunitas etnis menyeberang laut dalam suatu wilayah asing baginya. Inilah yang disebut dengan hegemonik gaya baru lewat regulasi politik pilkada langsung.
Fakta ketidakadilan rekruitmen di birokrasi pemerintah atau birokrasi perusahaan besar yang masih didasarkan koneksitas etnis menyebabkan konflik antara pendatang dan penduduk asli. Kurangnya akses bagi penduduk asli dalam berbagai kesempatan salah satunya buah dari penguasaan otoritas politik dan ekonomi dalam suatu wilayah geografis.
Akhirnya nasionalisme tidak lebih dari sebuah instrumen yang diberikan kepada pihak yang menuntut keadilan politik, ekonomi dan budaya untuk memberikan kesempatan pada yang lain memperebutkan wilayah/geografis dan pengaruh atas masyarakat di dalamnya.
Penutup
Bangsa yang maju sebenarnya memiliki budaya yang kuat bahkan cenderung ekspansif melampaui batas geografisnya karena ia merasa mampu melahirkan budayanya kepada bangsa lain. Jika suatu bangsa lemah budayanya, maka ia akan ditelan bangsa lain dan ditinggalkan peradabannya. Jadi jika sudah demikian hubungan etnis dan kebudayaan dalam wilayah Indonesia, termasuk di Kalimantan, maka Bhineka Tunggal Eka yang digenggam Garuda Pancasila tidak patut lagi untuk digenggam, tetapi dilepaskan.
Tengah malam di Banjarmasin, 6 September 2007
No comments:
Post a Comment