Oleh: Taufik Arbain
Sebuah media yang membawa saya terlibat dalam dunia tulis-menulis bahkan pengalaman garitik hati dalam kehidupan saya adalah Banjarmasin Post. Ketika kecil sekitar tahun 1980-an saat mulai bisa membaca, saya sangat tertarik dengan cerita Tarzan, sebuah cerita bergambar. Demikian pula kartun pada halaman depan yang memberikan kritik dan pesan khusus pada pembaca. Saya sering membuat Ibu jengkel,
sebab jika ibu datang dari Banjarmasin membeli barang dagangan sembari membeli koran kiloan, saya tidak serta-merta menyelesaikan membantu menata barang dagangan. Tetapi saya menyempatkan diri membolak-balik halaman koran dan membaca bagian-bagian yang saya suka. Kejengkelan Ibu, sampai-sampai berucap,” Umailah anakku ni mambaca tarus, dagangan balum disimpunakan. Jadi Profesor jua anakku ini kaina!”. Entah doa atau kekesalan saya tidak tahu, tapi memang saya benar-benar tergoda olehnya.
Selembar B.Post waktu itu untuk ukuran di kampung, benar-benar memiliki makna. Pemaknaan ini membawa dampak yang berarti pada pola pikir dan dorongan rasa ingin tahu sebuah informasi. Acara televisi memang tidak seberapa kala itu, jika dibandingkan sekarang, sehingga boleh jadi relatif sangat minim pilihan informasi. Tetapi sebuah media cetak lokal, ketika sulitnya transportasi darat untuk menemui pembaca Banjarmasin Post hadir kepada masyarakat menyampaikan informasi yang hangat untuk mengabari orang-orang di kampung tentang orang-orang kota. Dalam perspektif sosiologi membaca koran bagi orang kampung tidak sekadar memperoleh informasi, tetapi terlekat status sosial karena ianya menjadi ikon di antara masyarakat yang masih banyak buta hurup.
Proses penyebaran informasi tentang aktifitas “orang-orang kota” demikian pemahaman mereka atas sebuah informasi media cetak memberikan dorongan dan motivasi dalam penggapaian sebuah cita-cita. Artinya, saya meyakini tidak sedikit orangtua maupun kakek-kakek yang memberikan motivasi pada anak-anak dan cucu-cucunya ketika terlibat dalam kebersamaan membaca koran. Harapan dan penggapaian impian dan cita-cita dari mereka begitu besar bahwa dengan pendidikan yang didukung oleh kemampuan mengakses informasi menumbuhkan wawasan pengetahuan dan percaya diri untuk melangkah. Barangkali dalam bahasa yang populer saat ini “Kamu Bisa!”.
Paling tidak beranjak dari perjalanan Banjarmasin Post hingga hari ini telah banyak memberikan pencerahan dan social investation kepada masyarakat daerah dalam mendorong self confidence untuk bersama melangkah membangun banua. Social investation yang dibangun oleh pendahulu boleh dikatakan sangat cerdas. Artinya kepentingan sosial masih dikedepankan dalam memberikan pencerahan peradaban pemikiran bagi masyarakat banua. Dulu Banjarmasin Post hadir tidak sekadar miliknya golongan kelas menengah seperti hari ini, tetapi juga miliknya orang kampung yang didatangi Jukung Tambangan mini Banjarmasin Post ke pelosok-pelosok yang sulit diakses dengan transportasi darat. Keputusan diantara sekian pilihan, setidaknya kepentingan sosial membangun peradaban intelektual dan wawasan orang daerah menjadi tujuan utama, meskipun dalam perspektif ekonomi justru melahirkan high cost economy. Pendekatan seperti ini sebenarnya perlu dicermati oleh Banjarmasin Post hari ini dengan berkaca pada situasi sekarang. Saya mengistilahkan jika sekarang revolusi kelotok (air) dengan kemampuan menjelajahi berbagai perkampungan yang ada sepanjang sungai telah melemah, bukankah dengan revolusi colt (darat) Banjarmasin Post harus menguat bergerak ke pelosok kampung. Sebab, pengedepanan kepentingan sosial inilah Banjarmasin Post dulu sebenarnya melakukan akselarasi promosi dan pencerahan orang banua sebagaimana hasilnya terasa hari ini.
Logo Rumah Banjar dan Perahu Tambangan, boleh jadi salah satunya mengilhami adanya marketing Banjarmasin Post memanfaatkan situasi revolusi kelotok saat itu. Paling tidak ini pun merupakan sesuatu yang khas dalam dunia pariwisata. Rasanya satu-satunya di Indonesia sebuah perusahaan media cetak yang memanfaatkan sarana air dengan perahu yang khas dalam pemasarannya bergerak dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain, dari sekelompok kelotok penjual kelapa ke sekelompok kelotok penjual sayur, dari sekelompok orang memancing ikan ke warung-warung di tepi sungai kemudian terus memasuki kampung-kampung.
Meskipun revolusi colt (darat) menguat, tetapi kondisi revolusi kelotok (air) di Kalimantan Selatan masih hidup. Pikiran ini sebenarnya mencoba untuk mendekati kembali komunitas masyarakat marjinal/kelas bawah yang aktifitasnya dominan di air. Social investation pada komunitas inilah yang dimaksudkan perlu dikembangkan lagi meskipun dengan cost yang relatif tinggi. Jika merujuk pada teori pertentangan kelas dari Karl Max, sebenarnya Banjarmasin Post hari ini diharapkan jangan melupakan kelas proletar. Bukankah Palui dulu sebagaimana menghiasi ceritanya adalah individu yang hidup dekat dengan perkampungan sungai dan kelas-kelas marjinal sebagaimana cerita Si Doel betawi. Entah kehidupan Palui sekarang.
Pandangan-pandangan ini sebenarnya mencoba melihat fenomena masyarakat banua sekarang, bahwa kehidupan yang serba kompetitif saat ini jangan sampai menjadikan kelompok marjinal yang lemah menjadi semakin lemah, apalagi seakan terjadi “orang miskin dilarang sekolah” sebagai kalimat lain mahalnya untuk menjadi pintar. Namun, jika hal ini diikuti oleh lemahnya akses mereka terhadap informasi maka sempurnalah kelemahan daya saing masyarakat banua dalam membangun daerah ini. Momentum saat ini merupakan langkah strategis untuk mengidentifikasi masa depan masyarakat termasuk menjauhkan diri kita dari sikap minimalis, sebuah sikap yang sangat lemah untuk memberikan toleransi dan memberikan nilai plus manfaat diri pada orang lain.
Catatan masa lalu dan catatan sekarang tentang Banjarmasin Post menumbuhkan ketergodaan dan rasa cinta hingga hari ini. Banjarmasin Post dulu saya anggap seperti bintang di langit yang jauh saya jangkau, hingga semasa SMP pernah saya mengangankan, bisakah saya bertemu dengan penulis-penulis populer yang menghiasi rubrik opini Banjarmasin Post, bahkan bisa seperti mereka.
Ketika waktu terus berlalu dan proses pembelajaran hidup terus berlangsung, ibarat berlayar yang harus berbantalkan ombak berselimutkan angin, cinta dan ketergodaan semakin memuncak, Banjarmasin Post pun terasa semakin mendekat dan turun ke bumi dan akupun memeluknya hingga menulis hari ini. Selamat HUT Banjarmasin Post, semoga sukses!Meskipun aku datang di hari yang kesepuluh.
No comments:
Post a Comment