Sunday, April 19, 2009

Migrasi Orang Banjar di Kalimantan Catatan kecil pola migrasi antar kawasan

Abstraksi
Etnis Banjar salah satu etnis terbesar di kawasan Kalimantan. Penggunaan bahasa Banjar di banyak kawasan Kalimantan, khususnya pada space pasar tradisional menunjukan keberadaan etnis ini lebih lama memasuki kawasan yang bukan daerah adatnya. Hal ini dikarenakan kuatnya arus migrasi meninggalkan daerah asal menuju daerah tujuan hingga membentuk perkampungan dan pemukiman. Pekerjaan di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan hingga perdagangan menyebabkan keberadaannya mendominasi perdesaan dan perkotaan pada abad lalu. Namun demikian, migrasi di kawasan Kalimantan sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor politik dan ekonomi daerah asal sehingga arus migrasi melampaui batas pulau Kalimantan.
Makalah ini bertujuan untuk menelaah bagaimana pola migrasi etnis Banjar antar kawasan di Kalimantan pada masa lalu dan perkembangan migrasi sekarang dimana sarana transportasi air sebagai sarana migrasi mulai digantikan oleh transportasi darat. Sisi lain mencoba meninjau resistensi keberadaan etnis Banjar dalam kawasan pemukiman daerah tujuan dan pergerakan migrasi susulan dari daerah asal dan transit.

Keyword: kalimantan, migrasi Banjar



A.Pengantar
Sedikit sekali catatan tentang migrasi etnis Banjar dalam mosaik Indonesia, dibandingkan dengan catatan migrasi orang Minangkabau, Bugis, Bawean, Batak dan Madura. Namun menariknya dari ragam mosaik migrasi etnis sebagaimana disebutkan etnis Banjar menjadi referensi yang dikomparatifkan dengan migrasi etnis-etnis tersebut. Naim (1979) misalnya dalam Merantau Suku Minangkabau, mengkategorikan etnis Banjar sebagai perantau ulung abad-abad bersamaan dengan jayanya etnis Bugis melakukan perantauan keluar dari daerah asalnya baik ke pesisir Sumatera maupun Semenanjung Malaya. Demikian pula Magenda (1991) dalam melihat resistensi etnis Bugis di perantauan Kalimantan Timur, cukup menarik menjelaskan resistensi etnis Banjar dalam berinteraksi maupun berkonflik dengan etnis Bugis di Kalimantan Timur.

Barangkali dalam kajian-kajian terakhir hanya Potter (2000) yang cukup terang memaparkan ruang bagi gerakan perpindahan orang Banjar khususnya Hulu Sungai menuju Tanah Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Potter menekankan tentang kemandirian budaya, militansi mobilitas dan peluang ekonomi pada abad 18 dan 19. Gerakan orang Banjar yang datang beberapa gelombang ini setidaknya memberikan kesan bahwa migrasi orang Banjar pada periode-periode tertentu melakukan pola migrasi dalam arus satu arah, tidak melakukan loncatan-loncatan sebagaimana periode berikutnya.

Namun demikian, Potter hanya mencatat pergerakan orang Banjar yang melakukan leaping frog setelah orang Banjar berada di tanah Sumatera baik di Jambi, Riau, Tembilahan, Muara Tungkal dan menyeberang ke Krian, Selangor, Batu Pahat dan Johor. Gerakan ini terjadi sebagaimana hukum migrasi Everet Lee (1966) karena adanya daya tarik daerah tujuan dan daya dorong daerah asal (push-pull factor). Faktor konflik memperebutkan kawasan di Muara Tungkal dengan etnis Bugis misalnya mendorong orang Banjar menguasai Tembilahan sebagai basis melakukan loncatan-loncatan ke berbagai kawasan sekitar Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Persebaran di antara kawasan inilah mendorong adanya remiten berupa informasi positif-negatif yang disebar oleh migran pioner Banjar kepada migran yang masih berada di daerah transit maupun di daerah asal untuk bergerak secara komunal dalam volume yang besar. Pada abad-abad ini situasi di tanah leluhur (Kalimantan) adalah sangat memungkinkan untuk madam/bermigrasi, sealur dengan stimulus kedatangan para migran pioner yang kembali ke daerah asal Hulu Sungai setelah berhaji memamerkan keberhasilan dan kembali mengajak serta sanak saudara dan orang sekampung.

Baik Lesley Potter maupun Hasan Baseri (1988) tentang migrasi orang Banjar ke Surakarta sangat jelas menggambarkan situasi migrasi etnis Banjar antar pulau nusantara menuju Jawa, Sumatera dan Semenanjung Malaysia, termasuk pilihan pekerjaan yang dilakukan berdasarkan situasi daerah tujuan. Disinilah justru terjadi pergerakan dengan pola leaping frog, ketika sempat bertahan di daerah tujuan pertama, transit kemudian menyebar sesuai dengan motif-motif ekonomi melakukan migrasi untuk bertahan hidup sebagai motif belakangan. Meski demikian faktor pendorong determinan awal etnis Banjar melakukan migrasi antar kawasan nusantara sebagaimana Syamsuddin (2000) Potter (2001) dan Ganie (2004) adalah karena pergolakan politik yang terjadi di negeri Banjar baik pada akhir abad 19 maupun awal abad 20.

B.Definisi dan Faktor-Faktor Migrasi
Sebagaimana banyak dipahami bahwa definisi migrasi adalah perpindahan manusia baik secara berkelompok maupun perorangan apakah dikarenakan terpaksa, diatur atau tidak diatur menuju suatu tempat baru dari tempat semula baik secara permanen maupun non permanen. Definisi inilah yang pada awal abad 18 dipahami oleh ahli migrasi. Dalam hal ini Far misalkan mengemukakan bahwa orang melakukan migrasi tanpa hukum-hukum tertentu, dan ianya itulah ciri khas dari migrasi. Namun demikian, Ravenstien dalam The Laws of Migration sebagaimana dikutif Mantra (2000) justru mengemukakan dari berbagai penelitian bahwa migrasi memiliki hukum-hukum tertentu meskipun tidak setepat hukum-hukum yang berlaku pada hukum ilmu alam. Hukum migrasi yang dikemukakan Ravenstien ini mencoba menelaah bahwa selain faktor ekonomi sebagai faktor determinan, ada faktor non ekonomi yang tidak bisa diabaikan mengapa seseorang atau komunitas melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat yang lain.

Tujuh hukum migrasi yang dikemukakan Ravenstien setidaknya bisa dikonstruksi dalam menjelaskan pola migrasi etnis Banjar pada abad lampau dan abad sekarang diantaranya adalah (1) Migrasi yang melihat faktor jarak (2) Tahapan-tahapan migrasi (3) Arus dan arus balik migrasi (4) Perbedaan penduduk Desa dan Kota dalam minat bermigrasi (5) Faktor kedekatan jarak migrasi lebih disukai perempuan (6) Teknologi pendukung migrasi dan (7) Motif ekonomi sebagai pendorong utama. Ke tujuh Hukum migrasi seyogyanya cukup representatif dalam menjelaskan migrasi orang Banjar baik sebelum abad 20 maupun sesudah abad 20. Lamry (2005) mengupas migrasi etnis Banjar dalam 2 babak/zaman. Namun demikian gambaran Lamry hanya melihat konstruksi faktor-faktor umum penyebab etnis Banjar dalam bermigrasi sebagaimana kerangka teori migrasi yang dikembangkan oleh Everett Lee, khususnya melihat pergerakan etnis Banjar ke berbagai kawasan khususnya Semenanjung Malaya dan Sumatera dari faktor keresahan politik kemudian menjadi buruh perkebunan dan membuka sendiri lahan pertanian maupun perkebunan .

Teori populer tentang migrasi adalah teori yang kembangkan oleh Lee (1966) adanya push-pull factor yakni adanya faktor daya dorong dan daya tarik. Teori ini mengkonstruksi bahwa rendahnya nilai faedah dan manfaat daerah asal mendorong orang atau komunal untuk melakukan perpindahan ke daerah tujuan yang memberikan nilai faedah dan manfaat yang lebih besar. Tetapi pemahaman tentang daerah tujuan tidak semua orang mengetahuinya apakah memberikan manfaat atau tidak. Reaksi seperti ini wajar, jika proses migrasi yang terjadi lebih disebabkan oleh situasi yang tidak menguntungkan, setidaknya mengancam jiwanya, apakah disebabkan oleh bencana di daerah asal, invansi, atau pergolakan politik yang mengharuskan ia meninggalkan daerah asal untuk mengamankan diri dan keluarga.

Perbedaan sikap terhadap migrasi inilah akhirnya yang mampu menjelaskan niatan seseorang melakukan migrasi. Artinya ada sejumlah intervenning obstacles (rintangan antara) dalam keadaan-keadaan tertentu yang menentukan orang untuk meninggalkan daerah asal dan bergerak ke daerah tujuan. Inilah yang menurut Lee disebut dengan faktor-faktor pribadi yang turut mengintervensi dapat mempercepat atau memperlambat proses migrasi.

Dalam kasus migrasi etnis Banjar, pembahasan rintangan antara menjadi sangat penting untuk menjelaskan mengapa gerakan migrasi etnis Banjar dalam periode tertentu bergerak langsung dari daerah asal menuju daerah tujuan, dan pada periode tertentu pula bergerak dengan loncatan katak (leaping frog) dan atau pada jarak geografis yang relatif dekat menjelang awal abad 20 beserta situasi yang mengikutinya seperti adanya migrasi musiman (seasonal migration) oleh adanya intervensi kebijakan politik ekonomi terhadap daerah-daerah baru yang dikembangkan dan kehadiran perusahaan besar. Titus (1995) yang mengkaji migrasi antar daerah di Indonesia, dimana kebijakan pemerintah tahun 1970-an menjadikan luar Jawa sebagai kegiatan ekonomi, khususnya Kalimantan dalam industri ekstraktif. Booming kayu mendorong kedatangan orang-orang di kawasan perifer kapitalistis. Disinilah setidaknya diasumsikan, bahwa pergerakan etnis Banjar mulai menurun melampaui pulau Kalimantan, khususnya beralih menuju Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur disertai adanya peluang ekonomi untuk dagang di kawasan pedalaman yang sudah mulai terbuka dan menetap.

Menariknya, dalam kasus migrasi etnis Banjar, jika merujuk definisi Naim (1970) dengan istilah merantau yang mengkonstruksi ketegasan pilihan merantau atas dasar kemauan sendiri (voluntair), masih membentuk susunan sosial yang ada di daerah yang baru, berlaku pula pada etnis Banjar. Cuma persoalannya Naim mendefinisikan migrasi dengan istilah “merantau” merujuk pada kultural Minangkabau dilihat dari aspek kesukarelaan dan kecenderungan kembali. Adanya misi budaya merupakan faktor determinan yang justru tidak ditemukan dalam teori Tujuh Hukum Migrasi Ravenstien dan teori Push Pull Factor-nya Everett Lee.

Dalam kajian migrasi Banjar, baik Potter, Amstrong, Baseri, Ganie maupun Lamry tidak menyebutkan bahwa gerakan perpindahan etnis Banjar ke daerah lain didorong oleh misi budaya sebagaimana Minangkabau dengan Alam Minangkabau atau etnis Batak dengan misi budaya Batak Harajoan dan Sahala Harojoan (Kerajaan Batak/Kerajaan Pribadi), justru Rambe (1977) yang mampu mengidentifikasi salah satu sub rumpun Banjar Hulu Sungai, yakni Alabio yang memiliki misi budaya. Jika Minangkabau mendorong laki-laki merantau karena dirundung dilema, akibat kedudukan laki-laki dalam struktur sosial tidak memiliki kekuasaan, maka laki-laki Alabio justru apabila tidak madam/bermigrasi dianalogikan dengan ayam pipit di barumahan , sekalipun pandangan Rambe masih harus dikaji kembali secara mendalam apakah bisa dikategorikan misi budaya atau sekadar kontruksi budaya malu saja dalam konteks internal komunitas orang Alabio. Maka untuk merujuk migrasi orang Banjar yang disebabkan oleh pergolakan politik, motif ekonomi dan bencana alam sesuai dengan teori yang dibentangkan Ravenstien dan Lee, orang Alabio adalah sebuah pengecualian yang jika hanya sebatas itu dalam ragam kasus, space geografis dan periode tertentu.

Dalam konteks ini Arbain (2004) telah membentangkan perbedaan pilihan pekerjaan pasca migrasi di daerah tujuan antara etnis Banjar rumpun Kuala, Batang Banyu, dan Pahuluan khususnya migrasi di kawasan Kalimantan, termasuk mobilitas sirkuler yang dilakukan dalam space yang relatif sempit dan dekat termasuk perbedaan pilihan kawasan perkotaan dan perdesaan.

Bentangan ini dapat dilihat sub etnis Banjar mana yang memiliki latar belakang bermigrasi, motif dominan, strotipe dan kemampuan beradaptasi (resistensi) di daerah tujuan setidaknya sekitar tahun 1880-an diiringi dengan berdirinya perusahaan perkebunan Belanda. Orang Kelua, orang Nagara, orang Alai, orang Amandit, orang Balangan, orang Martapura, orang Kuin adalah sebutan klasik atas orang Banjar/Hulusungai hari ini yang berada di tanah rantau, dimana diduga masa awal komunitas ini bermigrasi membentuk komunal-komunal (bubuhan) tersendiri berdasarkan kesatuan sistem sosial seperti di kampung halaman. Hal ini teridentifikasi dalam sebutan komunitas atau nama kampung yang terjadi pengulangan di daerah tujuan mereka seperti Handil Kelua, Tatah Pamangkih, Parit Banjar, Sungai Berunai dan lainnya.

C.Migrasi Antar Kawasan Kalimantan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dari kajian-kajian yang cukup populer tentang migrasi etnis Banjar adalah ke pesisir Sumatera dan Semenanjung Malaysia khususnya sebelum abad 20. Pengembaraan ke luar pulau Kalimantan khususnya kelompok migran Banjar Hulusungai menuju Sumatera dan Semenanjung Malaysia, kecuali kemiripan sosial kultural, adalah keuntungan-keuntungan ekonomis dalam bidang pertanian dan perkebunan serta berdekatan antara kedua geografis tersebut, di samping kemiripan ekologi tanah/lahan seperti Kalimantan, sistem yang belum dikembangkan oleh penduduk asli Melayu di sepanjang pesisir dalam mengelola teknologi pertanian di daerah hamparan rawa. Keberhasilan orang Banjar dalam mengelola perkebunan dan pertanian merupakan situasi booming migrasi orang Banjar baik dengan pola langsung dari daerah asal, maupun dari daerah loncatan kedua.

Tidaklah mengherankan angka statistik sensus Malaya tahun 1931 orang Banjar kelahiran Hulusungai mencapai 45.433 ribu jiwa. Sedangkan orang Banjar pada tahun yang sama 77.838 jiwa yang tersebar di Riau, Jambi, Medan dan pesisir utara lainnya. Faktor transportasi yang mudah dan informasi yang mengalir bebas kala itu menyebabkan hubungan antara Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Hulusungai menjadi mudah dalam melakukan pergerakan penduduk. Sayangnya, belum ditemukan pada tahun yang sama berapa banyak penyebaran etnis Banjar menuju kawasan Kalimantan lainnya, sehingga belum dapat dipetakan jumlah persebaran termasuk menjelaskan lebih akurat fenomena migrasi etnis Banjar khususnya di kawasan Kalimantan.

Namun demikian, setidaknya pada tahun 1930 catatan kependudukan keseluruhan penduduk Hulusungai/Banua Lima tidak melebihi angka 500.000 jiwa, dimana rasio jenis kelamin 91-92 laki-laki per-100 perempuan yang menunjukkan laki-laki Banjar banyak keluar kampung halaman meninggalkan anak istri, berlayar berbantalkan ombak berselimutkan angin.

Keberadaan etnis Banjar yang lebih separo di luar tanah asalnya, menarik dicermati. Hal ini berbeda dengan keberadaan etnis Jawa, Sunda, Madura, Batak maupun Minangkabau yang masih dominan jumlah penduduk di tanah asalnya. Paling tidak kondisi ini turut menjelaskan bagaimana kondisi masa lalu etnis Banjar sebagaimana etnis Minangkabau, Batak dan Bugis adalah etnis yang gemar melakukan migrasi secara spontan. Sesuatu yang berbeda dengan etnis Jawa melewati proses kolonisasi seperti ke Suriname maupun program transmigrasi di seluruh jengkal tanah Indonesia, meskipun hal tersebut dalam konteks sekarang terjadi pergeseran di mana faktor-faktor tekanan ekonomi mendorong individu cenderung meninggalkan kampung asal.

Laporan Suryadinata dkk (2004) tentang penduduk berdasarkan kelompok etnik di Indonesia, etnis Banjar menduduki peringkat ke-10 kelompok etnis terbesar mencapai 1,74 persen, di mana hampir terdapat di seluruh propinsi di Indonesia. Sebaran terbesar terdapat di Kalimantan Tengah mencapai 24,20 %. Sedangkan kalkulasi di lima propinsi lainnya seperti Kalimantan Tengah, Timur, Barat, Riau, Jambi, Sumatera Utara dan lainnya mencapai 47,66 %. Ini berarti lebih separo etnis Banjar tinggal di luar daerah asalnya dari 76,34 persen yang tinggal di Kalimantan Selatan. Rata-rata angka pertumbuhan etnis Banjar per-tahun sebesar 1,94 %, lebih tinggi dari angka pertumbuhan etnis Jawa dan etnis Bugis (BPS,2000).

Sebagai bahan komparatif, laporan BPS tahun 2000 menyertakan data penduduk etnis Banjar di Kalimantan Selatan di negerinya sendiri mencapai 76,34 %, Kalimantan Tengah 24,20 %, Kalimantan Timur 13,94 %, dan yang terkecil persentase etnis Banjar yang tinggal di Kalimantan Barat mencapai 0,69%, lebih kecil di bandingkan etnis Banjar yang berada di luar pulau seperti Riau, Jambi dan Sumatera Utara yang masing-masing mencapai 3 % dari jumlah total penduduk propinsi tersebut. Tentunya angka tersebut berkorelasi dengan seberapa besar persebaran pada masa lalu dalam konteks beranak-pinak (pertumbuhan karena fertilitas), dibandingkan dengan in migration menuju Kalimantan Barat, lebih-lebih pasca kemerdekaan.

Lebih jauh, kecilnya persentase etnis Banjar di Kalimantan Barat hingga tahun 2000 menarik dicermati, setidaknya ditinjau dalam konteks Republik ini merdeka selama 61 tahun. Sebagaimana hukum migrasi bahwa faktor kedekatan jarak, rintangan antara, mudahnya aksebibilitas transportasi adalah faktor determinan sejauhmana pergerakan migran menempuh daerah tujuan hingga saat ini. Hal ini pun bisa menjelaskan, bahwa mengapa posisi etnis Banjar turun menjadi terbesar ketiga di Kalimantan Timur setelah kedatangan etnis Bugis dan Jawa dengan booming industri kayu, migas dan pertambangan. Dalam hal ini, posisi etnis Banjar dan Dayak dalam konteks memperebutkan peluang kerja di sektor industri ekstraktif menjadi lemah oleh masih kuatnya sistem solidaritas dan kekerabatan antar etnis .

Gambar 2: Distribusi Etnis Banjar di beberapa Kawasan
asan

D. Melompat Jauh, Membuat Jejak
Merujuk catatan Potter yang menggambarkan kalau pun ada pergerakan etnis Banjar masa lalu menuju Kalimantan Barat adalah karena faktor emosional sanak kerabat Sultan Banjar di Kerajaan Landak. Pada saat itu hubungan antar kelas bangsawan sangat kuat di antara Kesultanan Borneo. Dari kasus migrasi dengan perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki melewati hutan belantara ini diiringi oleh para pengikut kerajaan dan sebagian Jaba (rakyat jelata) dari Martapura. Situasi ini akhirnya melahirkan resistensi orang Banjar di Kalimantan Barat khususnya sebagai penambang berlian hingga jauh ke Sungai Kapuas di Sanggau, termasuk mengendalikan perdagangan berlian di Ngabang Kalimantan Barat. Diasumsikan pergerakan ini diikuti para tuan guru yang hingga melintas Sarawak, Brunei dan Sabah dari keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Realitas ini melahirkan jejak-jejak misi sang Tuan Guru di berbagai kawasan dalam pembelajaran agama Islam dari kampung-kampung yang didatanginya.

Sedangkan pergerakan etnis Banjar menuju Kalimantan Timur dapat dipetakan dalam beberapa situasi. Situasi pertama yang mendorong orang Banjar benar-benar melakukan migrasi ke Kaltim seiring dengan pecah dan berakhirnya perang . Sekitar tahun 1863-an, kelompok bangsawan bersama para panglima perang dari putera-putera Dayak Ngaju, Siang dan Ot Danum menuju arah utara Kalimantan Tengah berbatasan dengan Kalimantan Timur di pertemuan hulu Sungai Barito dan hulu Sungai Mahakam khususnya di kawasan Long Bangun Ulu dan Long Iram.

Pergerakan orang Banjar ini menjadi terang dari tulisan Budi (2005) yang membentangkan bahwa pergerakan orang Dayak yang bermigrasi tidak sekadar di kawasan pertemuan hulu Sungai Barito dan hulu Sungai Mahakam, tetapi sampai ke muara, karena Belanda terus menerus ”memburu” panglima perang Tumenggung Surapati dan Panglima Wangkang. Kondisi ini meresahkan para penduduk dan pejuang hingga bergerak dan menyebar di kawasan Kaltim bersama orang Banjar dan para bangsawan Banjar.

Pergerakan di bagian utara Kalimantan ini menggunakan dua jalur utama yakni menyusuri sungai dan membuat jalan setapak di kawasan hutan belantara. Sesuatu pergerakan berbeda dengan etnis Banjar yang tinggal di bagian selatan Kalimantan yang dominan kawasan rawa, sungai-sungai dengan berdekatan dengan laut.

Situasi kedua adalah pergerakan orang Banjar khususnya orang Amuntai, Kelua dan Nagara dalam rombongan besar yang diundang Sultan Kutai tahun 1870-an yang berjanji memberikan tanah dan pembebasan hutang-hutang mereka kepada pihak kerajaan Banjar akibat adanya pajak. Kelompok ini diarahkan menjadi nelayan dan bercocok tanam. Magenda (1991) mencatat orang Banjar mengembangkan perdagangan dan berhubungan secara teratur dengan ragam etnis Dayak, sesuatu yang sebelumnya sulit dilakukakan Sultan sampai akhirnya etnis Banjar sering berkonflik dengan etnis Bugis dalam memperebutkan perdagangan sampai akhirnya masing-masing membuat pemukiman yang saling berseberangan.

Pergerakan penduduk ini setidaknya menegaskan bahwa pola migrasi dilakukan dengan pola langsung, tanpa menggunakan pola lompat katak, kecuali para periode-periode berikutnya dalam motif ekonomi yang lebih luas menyebar ke Bontang, Tarakan, Bulungan dan terus ke hulu menyusur sungai. Dalam hal ini bisa dilihat kasus sebagian orang Kelua menyebar menuju Semenajung Malaysia dan Sumatera atau bagian barat Kalimantan, sebagian lain menyebar menuju bagian timur Kalimantan. Pola ini agak berbeda kelaziman yang ada menggunakan perahu, dimana migrasi orang Kelua ini menyusuri jalur pipa minyak Belanda menuju Balikpapan. Dalam misi madam ini sesekali mereka berinteraksi dengan Orang Pasir dan Dayak di perjalanan sebagai pekerja pengambil rotan untuk bertahan hidup sebelum tiba di daerah tujuan Sungai Mahakam. Konteks migrasi secara komunal ini orang Kelua mengistilahkan dengan ”angkat bak”, yakni mengajak serta anak istri seluruh keluarga dengan membawa seluruh peralatan dan keperluan hidup (Arbain, 2006).

Gambar 1: Pola Migrasi Banjar Abad Awal Abad 19











Sumber: Olahan Arbain, 2007.
Pergerakan ke arah timur dan utara etnis Banjar khususnya Hulusungai ini akhirnya diikuti oleh seluruh rumpun baik orang Kandangan, Barabai, Amuntai, Alabio dan Nagara dimana air pasang melawan arus, jalan setapak menyusur belantara hingga mendapati daerah yang tepat dalam berkebun, bertani dan berdagang seperti di Tanah Grogot Kaltim, Samarinda, Bulungan, Tarakan, Bontang dan beberapa kawasan utara Kalimantan Tengah hingga gerak mobilitas dan migrasi mutakhir.

Meski demikian, pergerakan etnis Banjar mutakhir merupakan dampak dari pergerakan awal abad 19 yang memberikan nilai-nilai baru dari remiten. Orang Banjar yang bermukim di sepanjang Sungai Kapuas, Bahaur-Kahayan, Kasongan, Katingan, Samuda-Sampit dan Pangkalan Bun Kalimantan Tengah misalnya, adalah sebagian lain dari sebaran atau mungkin sisa gerakan mereka yang menuju Sumatera dan Semenanjung Malaysia, termasuk daerah transit menuju ke daerah lain.
Gambar 2: Pola Migrasi Banjar Abad 19 dan Awal Abad 20













Sumber: Olahan Arbain, 2007.
Gambar 3: Pola Migrasi Banjar Abad 20 di Kawasan Kalimantan













Sumber: Olahan Arbain, 2007.
Hamparan perkebunan kelapa dan sawah pasang surut dari penaklukan rawa-rawa dengan sistem parit garpu di kawasan sebagaimana disebutkan di atas adalah pendorong gelombang migrasi yang semakin meningkat hingga berdampak pada penurunan gelombang migrasi menuju luar pulau, seiring dengan perbedaan motif-motifnya. Mobilitas menuju barat Kalimantan ini dominan menggunakan perahu atau jukung yang dipioneri oleh orang Nagara. Keahlian orang Nagara dalam membuat perahu jukung merupakan konsekuensi pendorong kuatnya arus migrasi orang Hulusungai .

Dalam pola gerakan langsung dari daerah asal menuju daerah tujuan, sub rumpun Banjar sangat jarang melakukan gerakan komunal dengan sub rumpun Banjar yang lain, meskipun dalam interaksi dan budaya mereka disatukan oleh bahasa dan agama. Arbain (2006) dalam kajian terbatas di sekitar kawasan Kahayan Kuala Kalimantan Tengah, mendapati perkampungan tersendiri Orang Kelua, Amuntai, dan Negara. Lebih ekstrem perbedaan perkampungan dengan orang Banjar Kuala yang direprentasikan oleh Orang Kuin.

Pergerakan di kawasan pulau Kalimantan ini terus-menerus hingga akhirnya melahirkan pola gerakan migrasi dengan lompat katak (leaping frog). Gerakan lompat katak ini bagi sebagian etnis Banjar disebabkan daerah tujuan pertama tidak memberikan keuntungan ekonomi lagi. Daerah-daerah ini adalah Gambut, Aluh-Aluh, Anjir Kapuas, Pulang Pisau, Tamiang Layang, Mangkatif, dan beberapa daerah lainnya yang sudah menjadi sebuah perkampungan tua. Pergerakan antar kawasan ini setidaknya adalah migran yang berpendidikan rendah, struktur umur muda dan kecenderungan daerah agraris atau kota-kota kecil setarap Kota Kecamatan dan Kabupaten. Diasumsikan gerakan paling jauh ke arah Barat adalah ke Pangkalan Bun, ke arah Utara Gunung Mas dan Murung Raya. Sedangkan ke arah timur menuju Bulungan dan Tarakan. Pergerakan ini dipengaruhi oleh adanya faktor antara, yakni sarana prasarana transportasi yang mudah, adanya sanak-kerabat terdahulu, dan adanya kawasan baru yang menguntungkan dalam peluang ekonomi. Bukti eksistensi orang Banjar khususnya di pusat kota atau di kampung-kampung tujuan sebagai pedagang adalah mereka yang semula sebagai petani-petani miskin di daerahnya maupun di daerah lompatan yang terus bergerak mencari penghidupan hingga hari ini.

Meski demikian, generasi etnis Banjar yang telah menetap lama di daerah rantau sejak awal abad 19, setidaknya menimbulkan fenomena baru pada generasi etnis Banjar berikutnya. Daerah-daerah tujuan yang semula menguntungkan dalam sektor pertanian, perikanan dan perkebunan, penebang kayu, penambang emas bagi migran terdahulu, sekarang bukanlah tempat yang cocok bagi keturunan Banjar terakhir untuk menetap di tempat itu. Disinilah pada abad 20-an generasi kedua dan ketiga Banjar melakukan gerakan langsung maupun lompat katak dengan motif utama ekonomi dan pendidikan, bukan lagi motif tak mau bertekuk lutut dengan penjajah sebagaimana moyang mereka meninggalkan daerah asal. Fakta ini setidaknya menjelaskan jumlah sebaran etnis Banjar di beberapa kawasan Kalimantan, khususnya yang terbesar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan yang terkecil di Kalimantan Barat.

Berkembangnya penduduk dan pembangunan di pulau Kalimantan turut menjelaskan pola gerakan penduduk secara komunal menuju daerah yang relatif jauh menurun luar biasa. Hal ini bisa dicermati, nampaknya untuk menjadi TKI di Malaysia sebagaimana Sunda, Jawa, Flores, NTB dan NTT tidaklah menarik minat etnis Banjar. Justru pola migrasi mutakhir yang disebabkan oleh membaiknya perekonomian dan tuntutan pembangunan di daerah, orang Banjar justru cenderung melakukan migrasi ke daerah yang memberikan fasilitas pendidikan, industri dan jenis pekerjaan sekunder, meskipun demikian kelompok orang Banjar yang miskin menuju kawasan agraris Kalimantan seperti Anjir Kapuas, Gunung Mas dan lainnya termasuk ranah-ranah pasar khususnya pekerjaan dagang manyasar pasar dari kampung ke kampung di pedalaman Kalimantan Timur dan Tengah (Arbain, 2004:293).

Gambar 4: Skema Pilihan Pekerjaan Etnis Banjar dari
Pengaruh Latar Belakang Kultur Daerah Asal

Diolah: Arbain, 2004.

Menariknya, adanya pembentukan daerah pemekaran Kabupaten memiliki konsekuensi pertambahan penduduk dan sarana prasarana umum, dimaknai oleh etnis Banjar sebagai pasar yang memberikan peluang ekonomi yang sulit disaingi oleh etnis lain apalagi penduduk asli di kawasan Kalimantan. Fakta ini bisa dianalisis dari pertumbuhan penduduk khususnya di kawasan Hulusungai hanya mencapai nol koma hingga satu koma saja. Hal ini dapat dimaknai bahwa ketimpangan pembangunan regional dan kebijakan pembangunan dan dibukanya industri pertambangan tidak serta-merta mampu membuat orang Banjar Hulusungai bertahan di daerah asal, karena ruang-ruang kerja industri sebagian besar diisi oleh kekuatan solidaritas pendatang. Jadi in migration pendatang hampir berbanding sama dengan out migration etnis Banjar ke tempat lain, sebuah proses pengulangan sejarah keberadaan etnis Banjar abad 19-an, separo jumlah di luar tanah asalnya.

Khusus di Kalimantan Tengah, penguasaan ranah-ranah kapital dan pasar merupakan ranah termudah bagi orang Banjar yang sudah memahami karakteristik sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Pertukaran komoditi seperti rotan, emas dan sarang burung yang dijual etnis Dayak dan tersebarnya para pebisnis, kelompok pemodal serta pedagang Banjar di ranah pasar di berbagai lini dan pelosok dengan berbagai keperluan dan kebutuhan hidup adalah jalinan ketergantungan untuk mempertahankan eksistensi masing-masing pihak yang saling menguntungkan. Lebih dari itu tumbuhnya kesadaran etnis Dayak dalam berkebun karet secara besar-besaran, menjadi situasi yang menguntungkan secara ekonomi bagi pihak etnis Banjar sebagai penghubung/makelar dan ranah memasarkan dagangan. Fakta ini menjadi dasar penguatan mobilitas etnis Banjar ke berbagai kawasan khususnya pedalaman Kalimantan saat ini.

Dibandingkan Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah akhir-akhir ini menjadi daerah tujuan tren migrasi permanen etnis Banjar dengan pola langsung, seiring dengan adanya ketimpangan pembangunan Kalsel yang masih cenderung berorientasi kota dan belum optimal memberdayakan ekonomi masyarakat lokal. Faktor penyebab yang mendasar; Pertama, terbukanya akses transportasi antara Kalimantan Selatan sampai ke pedalaman Kalimantan Tengah memudahkan bagi etnis Banjar memasuki perkampungan-perkampungan baru, sebuah pengulangan sebagaimana dilakukan orang-orang Banjar masa lalu yang menyusuri sungai-sungai ke pedalaman.

Kedua, katup pengaman ekonomi ekonomi rakyat seperti sektor pertanian, industri dan perdagangan di pedesaan Kalimantan Selatan tidak banyak menawarkan keuntungan berarti bagi keberadaan etnis Banjar menetap lama di daerah asal. Kondisi ekonomi yang ada hanya cukup memenuhi keperluan penduduk setempat, tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang ada dari faktor in migration pekerja tambang dan perkebunan sawit maupun transmigrasi. Akibatnya migrasi orang-orang pedesaan Banjar menuju Kalimantan Tengah, selain tren menuju Tanah Bumbu, selaras dengan pertumbuhan penduduk etnis Banjar di Kalimantan Selatan yang tidak menunjukkan kenaikan signifikan, sementara rata-rata pertumbuhan penduduk Kalimantan Tengah maupun daerah pemekaran baru di Kalsel justru sebaliknya.

Sebagaimana teori Mitchell (1961) pedesaan Kalimantan Selatan tidak memiliki kekuatan sentripetal (centrepetal force) yang mengikat orang-orang pada daerah asal dan justru ada kekuatan yang mendorong orang-orang meninggalkan daerah asal (sentrifugal). Kehadiran industri hanya sedikit menampung orang-orang Banjar, sedangkan sisanya justrunya pengurangan kesempatan kerja karena lahan tujuan agraris dan perkebunan hanya menjadi kubangan besar pasca tambang batubara.

Kalaupun adanya kekuatan sentrepetal, adalah kondisi migrasi arus balik ke daerah asal dari orang-orang Banjar yang memperoleh pendidikan di perkotaan untuk berusaha dan menjadi pegawai negeri serta menduduki posisi strategis seiring terbukanya kesempatan bagi putera daerah. Gerakan ini pun nyatanya diikuti oleh program transmigrasi di pedesaan Kalimantan Selatan, yang sering paradoks dengan upaya penguatan ekonomi masyarakat lokal di sektor pertanian dan perkebunan.

D. Penutup
Migrasi orang Banjar pada dasarnya tidak bisa melepaskan teori push-pull faktor dan Hukum Migrasi Ravienstien. Namun, demikian gerakan migrasi Banjar di awal gerakan pada dasarnya disebabkan oleh faktor kekacauan politik dan situasi ekonomi yang tidak menguntungkan yang terjadi akhir abad 18. Pada masa ini menjelang abad 19, migrasi terjadi besar-besaran baik ke arah Utara, Timur, Barat Kalimantan hingga menyeberang pulau. Pada masa ini gerakan dilakukan dengan pola langsung ke daerah tujuan mesti harus berhadapan dan bersaing dengan pendatang lainnya dalam memperebutkan kawasan.

Perkembangan di daerah tujuan, mendorong orang Banjar melakukan gerakan kedua untuk bermigrasi seiring dengan perkembangan kawasan sekitar. Disinilah pergerakan migrasi orang Banjar menemukan beberapa kawasan baru untuk melakukan lompat katak (leaping frog). Keberhasilan di daerah tujuan mendorong migran pioner memberitahu sanak saudara di kampung untuk turut serta bermigrasi yang sudah bergeser dari motif tekanan politik ke motif ekonomi melampaui pulau hingga ke Semenanjung Malaysia.

Meski demikian, abad-abad berikutnya dengan perkembangan pembangunan dan adanya kebijakan industri ekstraktif di Kalimantan, nampaknya pergerakan menuju luar pulau mulai terhenti, lebih-lebih ke kawasan yang dibatasi teritoral negara. Orang Banjar bermigrasi dalam jarak yang relatif dekat di kawasan antar Kalimantan, kecuali Kalimantan Barat. Pergerakan para migran ini masih didominasi komunitas Hulusungai yang bergerak menuju kawasan pedesaan dan perkotaan berdasarkan pilihan dan pengalaman kerja. Sesuatu yang paradoks, bahwa pertumbuhan daerah asal mereka justru meningkat karena kedatangan para pendatang sebagai pekerja tambang dan perkebunan perusahaan, sementara mereka meninggalkan kampung untuk mencari rezeki di daerah tujuan. Jadi in migration pendatang hampir berbanding sama dengan out migration etnis Banjar ke tempat lain, sebuah proses pengulangan sejarah keberadaan etnis Banjar abad 19-an, separo jumlah di luar tanah asalnya.***

Daftar Pustaka

Amstrong, M Jocelyn.2002. Manipulasi identitas etnis Melayu di perkotaan, dalam Deny Mulyana (penyunting), Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda

Arbain, Taufik .2001. Migrasi Orang Banjar Sebuah Cerita Lama. Banjarmasin Post, 17 Desember.

____________.2004 Jukung Kai Asing Belum Terhanyutkan. Banjarmasin Post, 10 Maret.

____________2004. Strategi Adaptasi Migran Banjar di Kota Palangka Raya: Pasca Konflik Dayak Madura, Tesis UGM.

____________2006 Migrasi Orang Kelua di Kahayan Kuala. Banjarmasin Post, 28 Pebruari.
Basri, Hasan.1988. Perpindahan Orang Banjar ke Surakarta: Kasus Migrasi Inter Etnis di Indonesia. Prisma 3 ( XVII) 42-56.

Lamry, Saleh Mohammed. 2005. Dari Kalimantan Selatan ke Semenanjung Malaysia: Migrasi Orang Banjar Pada Dua Zaman. Kertas kerja Konferensi Antar Universiti Borneo-Kalimantan ke-1, Kucing 29-30 Agustus.

Lee, Everett .1966. A theory of Migration, Demography, 3 (1) 47-57.

Levang, Patrice. 2003. Ayo Ke Tanah Sabrang. Transmigras di Indonesia. Jakarta: IRD.

Mantra, Ida Bagoes.1999. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Naim, Mochtar.1979. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: UGM Press

Potter, Lesley.2000.Orang Banjar di dan di luar Hulusungai Kalimantan Selatan, dalam Linbad (penyunting), Sejarah Ekonomi Indonesia Modern. Jakarta: LP3ES.

Rambe, Aspon. 1977. Urbanisasi Orang Alabio di Banjarmasin. Laporan Penelitian, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Suryadinata, Leo, dkk.2003. Penduduk Indonesia. Etns dan Agama Dalam Era Peruabahan Politik. Jakarta: LP3ES.

Syamsuddin, Helius. 2002. Tumenggung dan Pagustian. Jakarta: LP3ES

Titus, Milan.1995. Migrasi Antar Daerah di Indonesia. Yogyakarta: PPK UGM

2 comments:

Unknown said...

Salam Pak Taufik Arbain;

Ulon ni urang Malaysia. Tatamu website andika nang paruna awat harat babanar nia... pina bungas banar... tu pang nang umpat bajajal mambari komentar... Ulon handak tahu banar ai... ayah Ulon urang banjar... mama Ulon urang banjar...panderan di rumah banjar pahuluan ai.. di campur campur bahasa malaya...

Ulon handak tahu apa kah sebab musabab nang bubuhan awan kulaan Ulon bahari... bukahan ka Jambi Kuala Tungkal...Tembilahan... Belawan hanyar manyubarabang ka Malaysia.. sekitar tahun 20an...

Ulon handak batakun ada jua kah buku buku kajian sagan di baca awan di kaji...

SELAMAT HARI RAYA MAAF LAHIR BATHIN

Mazlan Bin Abdullah Maulana

meinoko suitai said...

assalamualaikum<
,salam kenal bapak,saya mahasiswa yang mau bertanya bagaimana baiknya jika meneliti orang banjar di solo mengenai perkembangan usaha berliannya dan sekiranya itu saja, terimakasih.....
mohon dbalas