Oleh: Taufik Arbain
Saya agak terkejut membaca berita salah satu harian kalau di banua ini ada Forum PPK mengancam boikot Pemilihan Presiden nanti hanya soal ketersinggungan personal atas tuduhan-tuduhan penggelembungan suara. Bayangkan, sebuah forum kecil sangat luar biasa berani melakukan tindakan demikian.
Sementara yang kita pahami selama ini kelompok yang melakukan boikot baik terhadap pemilu, pilpres, pilkada adalah kelompok infrastruktur maupun suprastruktur politik yang setidaknya memiliki unsur-unsur daya tawar (bargaining position) terhadap kebijakan atau atas proses keberlangsungan dari agenda tersebut. Itupun biasanya berkaitan dengan ranah-ranah protes terhadap sistem, bukan pada personal apalagi pada level rendah sebagaimana terjadi di Kabupaten Banjar.
Jadi justru boikot terhadap pilpres demikian yang mencari sensasi!!! Bukan protesnya. Kalau protes itu biasa dan banyak dilakukan orang. Kalau Wiranto, Prabowo, Rizal Ramli termasuk Megawati menyatakan boikot pilpres karena alasan yang cukup mendasar berkaitan dengan keadilan publik semisal kasus DPT dan kecurangan terhadap pemilu. Kemudian pernyataan demikian memiliki dampak signifikan terhadap proses demokrasi dari berbagai level.
Nah, kalau boikot pilpres hanya karena ucapan pedas seorang caleg dari salah satu partai di level Kabupaten. Terlalu murah harga demokrasi!!! Lucu! Kalau orang Hulusungai akan mengatakan, “ kada membadai disarikakan”. Lain halnya semisal boikot itu ditujukan pada institusi yang berkepentingan besar terhadap penyelenggaran pilpres, baru itu memiliki makna politis dan memiliki dampak besar terhadap proses demokrasi. Semisal tidak ada kesesuaian antara kinerja dengan honor yang diterima atau petugas di level PPK dan KPPS diintimasi oleh partai tertentu yang mengancam demokrasi.
Sebenarnya sederhana saja. Kalau memang ada protes terhadap rekapitulasi yang tidak sesuai dengan keterangan saksi partai. Ya harus well come untuk dilakukan perhitungan ulang. KPUD dan institusi kaki tangannya harus siap melakukan perhitungan ulang. Terlalu naïf memang jika pihak tertentu melakukan protes langsung divonis dengan dakwaan mengganggu proses rekap atau penyelenggaraan pemilu, kemudian memanfaatkan aparat keamanan untuk mengamankan. Bukankah kasus demikian hampir merata terjadi di seluruh Indonesia? Jadi bukan sesuatu yang naïf untuk pencapaian keadilan dan demokratisasi
Soal kalapahan siang malam itu soal lain, teknis. Tetapi dugaan ada kecurangan harus disikapi dengan cara hitung ulang. Fakta ini sebenarnya adalah hal yang pernah saya ungkapkan sebelum penyelenggaraan Pemilu tanggal 9 April di beberapa media dan media televisi lokal. Bahwa ada tiga hal penting yang harus diwaspadai yakni, money politic, intimidasi politik dan maal administrasi.
Survey terbatas memang menyebutkan ada PPS dan para saksi dikuasai oleh partai tertentu atau caleg tertentu untuk memenangkan dirinya. Dan nyatanya di beberapa daerah bahkan Indonesia penguasaan ini justru terjadi dengan modus tidak diterimanya lembaran untuk saksi, perubahan hasil dari TPS di PPK misalnya. Dalam konteks ini Panwas melihat fakta demikian seharusnya pro aktif untuk menangani, bukan diam meskipun undang-undang memberikan otoritas menunggu laporan.
Ini adalah fakta-fakta sensitif yang harus diapresiasi dan diantisipasi oleh penyelenggara pemilu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota termasuk struktur atau kaki tangannya. Bukankah kekeliruan yang tidak disengaja pun bisa saja terjadi yang dampaknya akan merugikan proses demokrasi seperti tertukar kotak suara dan kartu suara. Sangat memungkinkan, adanya kekelituan yang disengaja seperti tiga hal yang saya maksudkan sebelumnya. Keterlambatan perhitungan dan rekap hasil se-Indonesia yang dialami hari ini, bukankah karena adanya fakta-fakta tersebut? Dan berbuntut dengan perhitungan ulang supaya tercapai kesepakatan dan keadilan?
Ini adalah catatan bagi penyelenggara pemilu, bahwa dalam proses pemilu tidak sekadar menjalan fungsi berdasarkan tahapan-tahapan sebagaimana diamanat dalam Undang-undang dan Juklak/juknis pemilu, tetapi perlu ada sense of responsibility dan sense of humanity yang mengedepankan demi kualitas demokrasi.
Jadi sebenarnya, dalam hal ini memang harus ada kearifan menyikapi sengketa-sengketa pemilu, setidaknya soal ucapan dan perkataan. Namun demikian upaya penegakan keadilan semisal perhitungan ulang tetap juga harus dikedepankan. Teman saya tiba-tiba berkomentar dalam menyikapi diskusi tentang soal boikot ini.” Taufik, sebenarnya pilpres harus terlaksana. Kalau Cuma maraju karena seorang caleg berakibat menggangu proses pilpres. Napa, ganti haja petugasnya dan ganali honornya. Selesai!”
Spontan saya jawab, “ Bisa saja jika darurat demi kepentingan bangsa dan negara. Tapi Itu namanya memanasi. Justru dalam bahasa Hulusungainya tambah mambikut!”.(Idabul, 27 April 2009)
2 comments:
Seram juga judul artikelnya PAK..Dikira Banjar mau jadi Negara sendiri...Tapi sudah terlanjur ya ada Nagara didalam negara
Salam
Urang Banua
O...iya. kita punya Nagara sejak abad ke-14 lho. hehe tepatnya di Nagara Daha.
Post a Comment