Monday, April 20, 2009

Kebakaran Kampus STIBA dan Dies Natalis UNLAM

Oleh: Taufik Arbain

Pengantar
Peristiwa kebakaran yang terjadi di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Banjarbaru Sabtu malam (4/11) kemarin memberikan makna tersendiri terhadap dunia pendidikan di daerah ini. Bahwa semangat yang telah terbangun bagi mahasiswa untuk peduli terhadap penderitaan penduduk Alalak yang bersenda gurau bersama terik matahari beberapa hari mengumpulkan bantuan dari orang-orang yang lewat,
tiba-tiba institusi pendidikan tempat mereka menuntut ilmu harus menerima kenyataan pahit sebagaimana penduduk Alalak.
Namun setidaknya, jiwa sense of responsibility mahasiswa STIBA sebagaimana mahasiswa di perguruan tinggi lain terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat memberikan penegasan eksistensi insan-insan kampus peduli terhadap sesamanya dan apa-apa yang berlaku di sekitarnya. Meskipun dipahami, bentuk-bentuk kepedulian memberikan bantuan seperti itu adalah sesuatu yang biasa dan bisa dilakukan oleh siapa pun dan instansi apa pun.
Tulisan ini sebenarnya ingin mengkomparatifkan kasus kepedulian insan akademik mahasiswa STIBA terhadap masyarakat banua dengan sense of responsibility insan akademik Unlam terhadap kelompok stakeholder komunitas perguruan tinggi dalam moment kebakaran yang menimpa perguruan swasta STIBA dengan moment Dies Natalis Unlam.
Unlam dan Semangat Kepedulian
Universitas Lambung Mangkurat saat ini bergerak memulai pembenahan untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas dari berbagai lini. Pikiran-pikiran ini memang sebuah langkah strategis dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kompetitif. Bentuk penguatan dan pemberdayaan di tingkat intern, peletakan koridor penjaminan mutu dan penguatan pembangunan networking di berbagai pihak semakin menegaskan dirinya menjadi research dan learning university. Koridor ini guna melepaskan idiom Universitas Lambat Maju menjadi Universitas Lakas Maju.
Namun dalam perkembangan sekarang yang semakin kompetitif, tidak saja diperlukan energi ekstra bagi pembenahan manajemen yang bersifat intern, tetapi diperlukan pembenahan hubungan ektern yang selama ini masih menggunakan paradigma lama. Unlam selama ini dalam memberikan andilnya masih terpaku pada pendekatan MoU (Memorandum of Understanding), sehingga ketika muncul persoalan-persoalan masyarakat yang aktual, sense of responsibility masih terasa lamban pendekatan ”progresif dan tanggap-nya”, termasuk yang jelas-jelas menjadi bagian dari ranah konsentrasi kepeduliannya.
Pandangan ini sebenarnya tidaklah berlebihan. Ada acuan yang dijadikan sebagai bahan komparatif. Misalnya kasus gempa bumi di Jogja beberapa waktu lalu, bagaimana kampus UGM mengambil langkah pro aktif dan progressif dalam berbagai lini bagi insan akademis yang memiliki roh kepedulian dengan segala keahliannya. Dengan serta-merta Fakultas Teknik dan Geografi mengidentifikasi bangunan-bangunan publik baik pemerintah maupun swasta yang ditempeli stiker untuk menyatakan aman atau tidak aman kawasan tertentu. Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan misalnya mengindentifikasi pola bertahan hidup penduduk dan pergerakan penduduk saat berlangsung dan pasca gempa. Demikian pula dengan fakultas-fakultas lain yang dikerahkan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan pengkajian sebagai acuan pengambilan keputusan dalam bantuan darurat guna membantu banyak pihak.
Langkah-langkah cepat tanggap dari sebuah perguruan tinggi seperti kasus UGM tanpa harus diawali dengan adanya MoU dari pihak pimpinan Universitas dengan Pemerintah Provinsi Yogyakarta atau pihak lainnya. Tetapi atas dasar inisiatif yang luar biasa terbangun dari sebuah perguruan tinggi. Maka Wajar saja perguruan tinggi tersebut memiliki kharisma, wibawa dan dibanggakan penduduk setempat bahkan se-Indonesia. Tidaklah salah jika kampus tersebut benar-benar disebut Kampus Rakyat.
Dalam konteks ini, tidaklah menafikan bahwa ada ranah-ranah tertentu yang harus mengedepankan MoU sebagai bagian dari mekanisme administratif dan atau kejelasan arah dalam menentukan strategi dan lingkup kegiatan sebagaimana dalam koridor Renstra. Tetapi sebenarnya tidak pula bisa dinafikan ada pula ranah-ranah tertentu yang tidak harus mengedepankan MoU. Para manajer Unlam tentu tidak sepakat kalau aktifitasnya sekadar administrator perguruan tinggi belaka sebagaimana ciri-ciri dominan dalam mesin birokrasi pemerintah yang oleh Weber dicirikan adanya hirarki, inefisiensi, departementalisme, kurang inisiatif, formalitas dan infleksibilitas.
Disinilah dimaksudkan kepiawaian dan art pihak manajemen universitas ditantang kemampuannya dalam memilah-milah strategi dan pendekatan yang ingin diwujudkan. Dan disini pulalah perlu dibuktikan bahwa wajah Unlam tidak bersandar pada perkuliahan-perkuliahan atau sekadar berpuas-puas keberhasilan dalam lingkup kecil semata. Langkah ini perlu mendapat perhatian seluruh insan akademis di Unlam. Konstruksi mental peduli terhadap sesama dan masyarakat mesti menjadi integrid dalam diri seluruh insan akademis Unlam.
Kasus kebakaran yang menimpa STIBA adalah masalah sosial dalam ranah pendidikan dan sumberdaya manusia. Unlam sebagai perguruan terbesar, tentu sepakat tidak akan membiarkan mahasiswa STIBA luntang-lantung dalam ketidakpastian belajar. Kebakaran dan kemeranaan mahasiswa STIBA adalah kemeranaan Unlam juga. Karena Unlam telah mendedikasikan dirinya sebagai Leadernya Perguruan Tinggi di banua ini. Kehadiran Unlam dalam persoalan seperti ini mesti dibangun dan dimulai untuk peduli terhadap sesama insan akademis.
Sederhananya secara teknis, Unlam bisa menawarkan ruangan secukupnya bagi pihak Yayasan STIBA untuk dipergunakan pada jadwal yang tidak bertabrakan kuliah dengan mahasiswa Unlam yang ada di Banjarbaru. Disinilah setidaknya ada penyataan-pernyataan wujud kepedulian yang diungkapkan dan ditindak lanjuti, sehingga tidak perlu ada telinga insan-insan akademis Unlam mendengar jeritan orang-orang yang menuntut ilmu dalam kemeranaan dan kesedihan.
Komitmen, kepedulian sosial dalam model-model seperti inilah yang penulis maksudkan perlu dikembangkan oleh Unlam dalam membangun kepercayaan, brain image, kebanggaaan bagi masyarakat sebagai kampus yang memiliki kepedulian tinggi kepada lingkungan sekitar. Nilai-nilai Spritual Happenis, sebuah sikap merasa bahagia dan senang apabila memberikan yang terbaik dan membantu pihak lain, harus benar-benar menjadi bagian dalam diri insan akademis Unlam. Pendekatan-pendekatan model seperti ini jika berproses ianya akan menumbuhkan kepedulian-kepedulian lebih dari seluruh komponen civitas akademika Unlam dari waktu ke waktu. Dalam jiwa civitas akademika Unlam akan terbangun pikiran-pikiran strategis menjemput zaman sebelum zamannya, lebih-lebih di tengah persaingan global yang semakin signifikan.
. Meskipun diakui selama ini, virus cepat tanggap masih bergerak evolusi pada insan akademis khususnya para dosen. Sebagaimana mengikuti alur teori-teori perubahan sosial yang menegaskan pergerakannya lamban. Bisa bergerak cepat, jika proses bergeraknya stabil dan ada peristiwa penting berupa gerakan revolusi , namun sering menawarkan adanya konflik (Ivan Illich, 2001).
Jadi tantangan ke depan, komponen-komponen Unlam mesti menjawab persoalan krisis sosial ekonomi penduduk sekitar, pengangguran, tutupnya perusahaan kayu, asap dan kebakaran hutan, pertanian, perkebunan, tambang dan lingkungan yang krisis. Inilah langkah-langkah strategis yang akan membanggakan masyarakat Kalsel dan Kalimantan akan peran Unlam. Malu kalau masih membanggakan diri menjadi bagian civitas akademika Unlam kalau hanya sekadar berpuas-puas di hadapan komunitas mahasiswa.
Jika Unlam masih berkutat pada paradigma lama dalam bentuk pendekatan MoU sebagai wujud kepeduliannya terhadap masyarakat, maka Unlam telah terjebak dalam kesombongan akademis. Ini bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk kesombongan perguruan tinggi terhadap masyarakat sekitarnya. Menara gading itu tetap dibiarkan tegak dan kokohnya. Jadi, dalam moment kebakaran STIBA dan menyongsong Dies Natalis Unlam tercinta ini, saatnya kita membangun KEGELISAHAN terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar kita. (Banjarmasin Post, 2006)

No comments: