Sunday, April 12, 2009

Ijazah Palsu

Ada sejumlah kawannya kawan yang kebetulan keluarganya menjadi caleg bermasalah soal ijazah yang ramai dipergunjingkan orang. Baik soal ijazah palsu atau ijazah Paket C yang bermasalah. Paling tidak rasa marah dan geram kepada pihak-pihak yang mengkritisi tersebut, karena kata mereka, ”Mengapa baru sekarang dipersoalkan? Mengapa tidak dari sewaktu penetapan Daftar Caleg Sementara (DCS). Iya, kan Taufik?”

Saya pikir menghadapi kawan seperti tidak bisa menggunakan rumus bagiting. Langsung pada intinya saja supaya jangan gantung: “ Tidak. teman! ” Jawab saya.
“Yang dipersoalkan adalah mengapa sedari awal yang bersangkutan berani mengambil langkah main-main pada ranah yang akan berhadapan dengan hukum? Sebab boleh dikatakan hampir 99,8 % (maksudnya dari sekitar belasan orang yang bermasalah) tidak ada masalah”.
Soal baru diperkarakan oleh Panwaslu misalnya, adalah persoalan institusi dan teknis administrasi yang pada masa pengumuman DCS dan DCT belum lengkap dan sebagaian besar Panwas kab/kota belum terbentuk. Selanjutnya adalah tanggungjawab publik dan stakholder yang mengkritisi atas prilaku bermasalah ini, agar publik tidak dirugikan dikemudian hari demikian juga institusi pendidikan.
Sebenarnya persoalan ini semestinya sudah menjadi ramai dan diskursus pada masa pendaftaran caleg di KPUD. Sebab KPUD memiliki fungsi yang berkaitan dengan verifikasi termasuk soal ijazah apakah bermasalah atau tidak. Cuma barangkali KPUD mengurusi atau memverifikasi soal ijazah ini memiliki beban yang besar disamping bersinggungan dengan hukum dan konflik dengan caleg yang dipersoalkan. Kata teman saya yang lain menyahuti, ” apalagi misalkan calegnya jagau lawan hangit2nya, bisa 40 mata luka mun bahari di hulu sungai”.
Jadi memang diakui kada gagampangan mengurusi soal ini. Riskan kata teman dari KPUD. Barangkali yang berani adalah apa yang dilakukan oleh KPUD HST terhadap kasus Abdul Latief yang tidak masuk DCS/DCT. Lagi-lagi kata teman, ” itu kan, karena ada pressure dari publik dan perkaranya jelas untuk disoal!”
Nah, pertanyaannya adalah apakah KPUD Provinsi tidak cermat dan tidak akurat melakukan verifikasi terhadap soal ijazah ini sehingga mendapat temuan dari Panwaslu? Atau jangan-jangan supaya Panwaslu supaya ada gawian jua nih? Maksudnya jangan KPUD saja yang bekerja dengan beban besar?
Jika jawaban yang diberikan oleh KPUD seperti ini, ya... patut kita pertanyakan kredibilitas anggota KPUD. Apalagi ada kasus sekitar 2 bulan yang lalu pernah seorang caleg terheran-heran kepada saya ketika dia menanyakan sesuatu dan dijawab oleh KPUD Banjarmasin, ”oke...gampang aja, Bos Ai. Situ nyaman asal sini nyaman jua!”. Kok bisa ya?
Apa maksudnya? Wadaikah nyaman? Kalimat ini sebenarnya sudah masuk dalam kategori ada indikasi korupsi dan kolusi. Jika anggota KPUD punya model berpikir demikian, sangat memungkinkan adanya indikasi meloloskan caleg bermasalah soal ijazah itu menjadi DCS dan selanjutnya DCT.
Untuk itu Panwaslu selain mengingatkan kepada caleg bersangkutan, kepada partai yang mengusung juga melakukan koordinasi terhadap KPUD berkaitan dengan hasil dan metode yang digunakan dalam melakukan verifikasi. Langkah ini tentu saja dilakukan harus dengan transparan bagi 2 institusi termasuk partai politik yang calegnya diduga bermasalah.
Paling tidak publik akan mendapatkan gambaran tentang metode yang dipakai KPUD dalam melakukan verifikasi mengapa bisa lolos, sehingga keputusan yang akan diambil untuk menggugurkan yang bersangkutan menjadi kuat dalam koridor hukum. Media dan stakholder pro-Pemilu harus terlibat menyuarakan dan mempublikasikan pada khalayak siapa saja yang bermasalah.
Mengapa ini penting, sebab ada kecenderungan kinerja organisasi apa saja di Indonesia berdasarkan hasil survei cenderung melakukan tindakan lapas tangan (tidak mau tahu), apabila tahapan pekerjaan tersebut sudah dilakukan dan bermasalah. Dalam menangani kasus ijazah palsu/bermasalah KPUD dan Panwaslu harus mengendepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan responsibilitas.
Hal ini untuk menegaskan agar pihak yang berkepentingan dalam pemilu 2009 jangan main-main dalam membangun proses demokratisasi ini. Apalagi pihak penyelenggara atau pengawas menjadi agen para caleg baik DPR, DPRD maupun DPD. Termasuk bermental: ”oke...gampang aja, Bos Ai. Situ nyaman asal sini nyaman jua!”. Terlalu murah menggadaikan harga diri institusi tersebut.***(idabul, 18 Januari 2009)

No comments: