Semenjak putusan MK berkaitan dengan suara terbanyak, seorang teman yang menjadi caleg urutan nomor sepatu salah satu partai politik riangnya bukan kepalang. Pasalnya, tentu saja, adanya suara terbanyak merupakan penegasan bahwa kedaulatan tersebut benar-benar di tangan rakyat, bukan ditangan para politisi atau pengurus partai politik Paling tidak teman ini sebelumnya banyak bercerita soal penetapan nomor urut. Semakin besar konpensasi,
atau hubungan keluarga, maka akan mudah mendapatkan tiket pasti mendapatkan kursi baik di Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Teman ini sebelumnya sangat mirip soal penetapan nomor urut jadi. Sebab selama ini dirinya benar-benar menjadi kader partai, mengabdi dengan sekuat tenaga harus tergeser oleh seseorang yang memiliki sumber-sumber faktor sebagaimana disebutkan.
Teman ini sebelumnya malas untuk melakukan kampanye dirinya. Sebab ia sadar tidak mungkin mampu mencapai 30 % untuk mendapatkan satu kursi yang bersaing sesama caleg internal partai dan caleg eksternal partai.” posisi saya sebenarnya seperti dieksploitasi mereka yang berada di nomor urut kecil , bekerja dan meraih simpati rakyat tetapi suara didorong ke orang lain dengan nomor urut kecil.”
Teman bercerita, saking rapinya permainan kelompok ini, mereka yang berada di nomor urut kecil demi mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, berlagak orang yang sok dermawan dan mau membantu dirinya berupa baliho, poster, kalender hingga biaya politik mengumpulkan orang. Pola-pola demikian yang banyak dilakukan. Tidaklah heran, jika orang-orang yang populer dengan profesi sebelumnya ditempatkan menjadi caleg mendongkrak suara kelompok-kelompok yang dekat dengan pengurus partai. ” Munafik” kata teman saya dengan nada kesal.
Putusan MK ini tentu saja merupakan kabar buruk bagi nomor urut kecil tersebut yang semula berharap dari dorongan suara dari nomor urut besar. Apalagi caleg kelompok ”anak mami dan anak papi” yang begitu pede-nya mewakili rakyat dan harus menggeser hak-hak kader partai yang bertahun-tahun berjibaku demi membesarkan partai. Sudah mendapatkan keputusan yang diskriminatif untuk ditempatkan di nomor urut yang tanpa kepastian menjadi wakil rakyat, pun dalam kebijakan kampanye pun, seluruh kekuatan partai dikerahkan untuk ”caleg anak mami dan anak papi” yang anehya terkadang dikatakan sebagai anak muda yang sudah dewasa dan matang (muturity), padahal jejak rekam aktifitasnya semua karbitan.
Tentu saja putusan MK ini tidak begitu saja mengamankan posisi kelompok kader partai yang termarjinalkan. Bahwa bahaya pun masih mengancam khususnya kompetesi di internal partai. Kompetesi yang keras ini, kekuatan finansial yang dilakukan caleg berduit merupakan ancaman nyata bagi caleg yang kere, karena masih kuatnya paradigma pragmatis berorientasi material yang melanda masyarakat kita.
Saya melihat hingga saat ini situasi demikian masih dipelihara oleh kelompok anti demokrasi. Sayangnya juga, ada beberapa pengurus partai yang membuat kebijakan diskriminatif terhadap para kader partainya yang menjadi caleg dalam melakukan kampanye partai. ” ada nuansa menonjolkan kader tertentu. Hal ini merusak keseimbangan organisasi parpol itu sendiri.”
Untuk itu dari sekarang para caleg harus bekerja ekstra keras membangun jaringan dan aksi langsung dengan pemilih, tidak sekadar jual tampang kosong di pinggir-pinggir jalan. Karena kampanye banner,poster dan bendera masih belum cukup. Energi harus betul diperuntukan pada aksi langsung mensosialisasikan program dan pikiran-pikiran cerdas untuk kemajuan bangsa dan banua.
Hal ini untuk menegaskan bahwa publik harus benar-benar melihat kapasitas, kapabilitas maupun integritas seseorang, bukan pragmatisme sesaat dari sesuatu yang diberikan caleg untuk merebut simpatik dengan uang rakyat atau uang hasil dari perusakan alam Kalsel. Jadi Kalsel ini akan selamat diisi oleh caleg yang benar-benar kapabel dan bukan dari wakil rakyat karena ”anak mami dan papi” yang dipaksakan. Kalau memang matang. Buktikan! Karena harapan publik menjadi wakil rakyat bukan coba-coba!(idabul, 5 Januari 2009)
No comments:
Post a Comment