Friday, April 17, 2009

Jukung dan Fenomena Migrasi Orang Banjar (Catatan untuk Lomba Jukung Hias 2006)

Oleh Taufik Arbain

Tulisan ini diilhami oleh dua peristiwa penting perhelatan budaya di banua dalam tahun ini yang tujuannya melestarikan kebudayaan dan menegaskan identitas budaya banua. Pertama, rencana diselenggarakannya Kongres Budaya Banjar I tanggal 13-14 Desember yang nyatanya harus gigit jari, karena ketidakpiawan petinggi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel dalam melakukan even sebuah kegiatan besar di samping kurang surung-kurang sintak yang harus mengecewakan para tetuha dan masyarakat Banjar,
hanya soal perlobyan dengan Pak Gubernur. Kedua, adanya perhelatan akbar budaya Banjar Basaruan yang dilaksanakan EO, Pemko Banjarmasin dan beberapa sponsor dan yang utama Banjarmasin Post yang petingginya ”Rajanya Surung-Sintak”, dalam upaya mengekalkan budaya dan hiburan masyarakat Banua Banjar.
Gagasan yang pertama kali ditawarkan oleh Walikota Sofyan Arfan tahun 2000 ini menarik dicermati. Tentu saja kegiatan ini tidak sekadar sebagai sebuah panggung hiburan untuk masyarakat, tetapi sebuah misi untuk mengekalkan, melestarikan dan menegaskan identitas kebudayaan banua. Lewat event demikian, masyarakat kita yang masih malas dalam membaca literatur tentang kebudayaan Banjar, setidaknya adanya visualisasi dalam satu paket hiburan demikian akan mampu mentrasformasikan tentang masa lalu dari sebuah pengkajian tentang jukung dan kehidupan masa lalu orang Banjar.
Model pendekatan event demikian setidaknya menjadi stimulus dalam melakukan akselarasi pemahaman kebudayaan lokal dan kompetesi mengembangkan kreatifitas pelaksanaan kegiatan kebudayaan dalam ranah dan bentuk yang lain. Dalam tataran grass root, ianya sebagai bentuk show of identity, sedangkan dalam tataran lain sebagai sebuah perjuangan yang selama ini terkungkung dalam hegemoni budaya Jawa, sehingga masyarakat Banjar tidak gagap lagi terhadap budaya sendiri, meskipun tidak harus membaca buku budaya.
Fenomena Migrasi dengan Jukung
Belum banyak kajian yang menegaskan secara khusus tentang jukung kaitannya dengan fenomena migrasi. Fenomena migrasi selama ini hanya dikonstruksi pada ranah adanya nilai manfaat dan nilai nihil dari dua wilayah geografis yang berbeda sebagaimana dalam teori migrasi Lee (1864) tentang push-pull factor. Sementara kajian tentang Jukung dilakukan oleh Pettersen (2000) dalam ’Jukung Boats from the Barito Basin”. Petterson dalam kajiannya hanya melakukan identifikasi jenis jukung dari abad masa lalu hingga masa sekarang beserta ilustrasinya. Namun pikiran pembuka dari Pettersen memberikan pilar baru dalam mengkonstruksi variabel-varibel penting dalam fenomena migrasi orang Banjar
Jukung yang kemudian diikuti dengan sebutan Jukung Tambangan, Jukung Rombong, Jukung Penes, Kelotok, Kapal dagang dan Cis adalah alat transportasi masyarakat Banjar yang bermukim baik di muara maupun di hulu sungai. Ekologi sungai melahirkan kreatifitas budaya untuk menciptakan kebudayaan material. Perkembangan dari menggunakan tenaga manusia berupa alat dayung pengayuh, kemudian dikembangkan dengan adanya mesin yang melahirkan penamaan baru disebut dengan Kelotok bagi orang Banjar Kuala dan Cis bagi orang Hulusungai.
Dalam kajian migrasi sebenarnya orang Banjar khususnya kelompok rumpun Hulusungai memiliki etos pengembaraan yang tinggi dalam mencari tanah rezeki, sekalipun menyeberang lautan. Petterson sedikit membahas bahwa kehadiran jukung dataran rendah sungai Barito sudah mampu menggarungi sampai ke Madagaskar. Ini juga didasari oleh variabel lain yang menemukan adanya gen dan bahasa Maanyaan di Madagaskar dan Pulau Bangka dari beberapa peneliti lain. Kemudian penelitian yang dilakukan Potter (2001) dan Amstrong (2000) mencatat tentang resistensi orang Banjar yang melakukan migradi di Tembilahan dan Malaysia pada abad 17. Fenomena migrasi orang Banjar ini oleh Potter tidak bisa dilepaskan dari peran orang Nagara HSS sebagai pioner migrasi dengan keahliannya sebagai pembuat perahu sebagai bagian yang memberikan kontribusi dalam membangun peradaban berlayar yang berimplikasi mendorong langkah mulus sub etnis Banjar Hulusungai lainnya turut serta dalam migrasi, tidak terkecuali orang Banjar bagian muara yang semula hanya menempuh dalam jarak relatif dekat.
Arbain (2005) justru menegaskan dalam hipotesanya bahwa Orang Nagara merupakan pewaris keahlian berlayar dari kejayaan Kerajaan Maanyan Nansarunai sebelum berdirinya Kerajaan Negara Dipa dan Daha dalam perspektif kultural dan genetik pembentuk etnis Banjar Hulusungai. Selanjutnya dalam kajian yang lain, Arbain (2006) menegaskan bahwa rumpun Banjar Kuala kecenderungan melakukan migrasi pada masa lalu dengan perahu jukung hanya dalam jarak yang relatif dekat. Temuan-temuan Arbain, migran Banjar Kuala di Muara Lupak, Cemantan Pulang Pisau dan Kapuas yang membentuk komunal sesama rumpunnya, demikian pula kampung tetangganya dari rumpun orang Hulusungai. Hal ini menegaskan pola migrasi dengan menggunakan jukung.
Namun pengembaraan ke pedalaman atau menyusuri tepian pantai dalam jarak yang relatif jauh dipioneri oleh Orang Nagara dan rumpun Hulusungai lainnya. Kehadiran kelompok Banjar Kuala diantara komunitas itu seperti di Tewah, Tangkahen, Seruyan, Sampit dan Pangkalan Bun karena adanya pemboncengan dalam pengembaraan dengan jukung. Kecuali Orang Kelua yang melakukan pengembaraan jalan kaki ke arah Utara dan Timur melewati hutan belantara dan menyusuri pipa pertamina dengan istilah angkat bak.
Di sinilah akhirnya pembedaan jenis-jenis jukung Hulusungai buatan orang Nagara dominan cenderung besar karena diperuntukkan dalam misi dagang, mencari lahan pertanian dan pengembaraan yang jauh. Sedangkan jukung orang Banjar Kuala, khususnya buatan Alalak dominan cenderung kecil karena diperuntukan pada kegiatan mobilitas yang relatif pendek, apalagi perkembangan Banjarmasin sekarang yang mengikat mereka untuk bertahan di daerah asal. Sisi lain, kondisi ini rupanya mendorong kelompok Banjar Kuala menciptakan jenis perahu modern seperti speed boat, long boat dan beberapa jenis mirip kapal pesiar.
Catatan-catatan migrasi orang Banjar antar pulau tidak banyak disebutkan dengan penggunaan jukung. Levang maupun Potter (2000) menelusuri pengembaraan orang Banjar menuju Malaysia dan Tembilahan dilakukan dengan menaiki kapal angkutan penumpang milik Belanda. Sedikit sekali pada abad itu yang dilakukan dengan jukung penes yang mampu mengarungi lautan. Analisis Djantera Kawi (2002), penghentian orang Banjar menggunakan jukung besar sekelas pinishi orang Bugis karena adanya kekalahan perang dan penghentian perhubungan perdagangan langsung dengan pihak luar di pulau lain, kecuali perdagangan hanya dilakukan di Banjarmasin. Kondisi ini menyebabkan pola migrasi orang Banjar dengan menggunakan jukung akhirnya dalam jarak yang relatif dekat, sehingga pergerakan ke luar pulau tidak efektif lagi.
Penulis yang melakukan pengkajian sebagai penerusan penelusuran yang dilakukan Eric Pettersen tentang jukung penes adalah sejenis jukung yang dominan digunakan oleh peniaga orang Nagara mengarungi lautan. Bentuknya besar melebihi jukung Tiung. Sampungnya penuh hiasan ukiran Kalimantan dan layarnya sederhana dengan satu tiang membentang ke samping.
Jadi Jukung Banjar, memang bukan sekadar Jukung Biasa. Ianya telah mengantarkan etnis Banjar mengarungi lautan, berselimutkan angin berbantalkan ombak untuk mencari tanah penghidupan. Situasi revolusi colt yang mengandalkan daratan dalam arena migrasi nampaknya menghentikan evolusi jukung, apalagi melakukan sebuah revolusi kembali sebagaimana abad-abad sebelumnya. Akhirnya jukung Banjar sudah mulai mirisan dan mau tenggelam. Mungkin yang tersisa hanyalah dalam ajang sebuah Festival Jukung seperti hari ini. Kasian memang jukung Banjar.**
Penulis : Sekretaris Forum Kajian Budaya Banjar Kalsel. Diterbitkan Banjarmasin Post, Oktober 2006

1 comment:

Unknown said...

Salam Pak Taufik Arbain;

Hulon sekadar membaca tulisan andika... Ujar jukung di guna pakai hagan migrasi bubuhan ka Sumatera awan Malaya. Pak Taufik ulon kada ai anum kada ai tuha.. umur hanyar ja 43 tahun. Datu wayah ulon haloi suwah bapadah hidin tulak bulik Malaya ka Medan awan jukung haja ( Al Fatihah untuk arwah Haji Abdul Gani Bin Taib). Hulon handak jua malihat atawa manireng... kaya apa jukung nia..

Terimakasih

Mazlan Abdullah Maulana