Monday, April 20, 2009

Kejaksaan: Kada Intat-intat

oleh: Taufik Arbain

Kata intat ini mengingatkan saya semasa kecil saat nenek memanggil untuk meminta bantuan terhadap sesuatu. Saya menolak dan atau ”mencueki” saja permintaan nenek pada masa itu. Inilah sebenarnya kata intat tersebut dimaksudkan, yang dalam kamus Bahasa Banjarnya Prof Djebar Hapip pun tidak ditemukan. Pilihan kata intat ini mencoba mengkonstruksi para pejabat publik kita di daerah ini baik seorang gubernur,
bupati, anggota DPRD dan pejabat publik lainnya yang suka mencueki kejaksaan jika melakukan pemanggilan dalam perkara-perkara hukum baik sebagai tersangka, terdakwa atau hanya sekadar saksi.
Memang pasca reformasi, kejaksaan kerap melakukan pemanggilan terhadap para pejabat publik berkaitan dengan kasus penyalahgunaan jabatan dan penyimpangan penggunaan dana negara. Tetapi pula para pejabat publik kita selalu saja melakukan penghindaran terhadap upaya-upaya yang dilakukan kejaksaan tersebut dengan berbagai alasan, dimana alasannya yang sering kita dengar adalah menunggu fatwa dari Mahkamah Agung. Tapi dasar memang pejabat publik yang tidak jauh dari nuansa politis, selalu saja melakukan penundaan-penundaan, padahal bapadah siap diperiksa. Oleh masyarakat awam sederhana saja memahami persoalan ini, kalu kadada tasalah kanapa takutan. Tapi mungkin saja bagi pejabat publik kalau ada pemeriksaan, meskipun sebatas saksi jangan-jangan masyarakat menduga seakan-akan pejabat tersebut ada jua umpat sacoret. Jadi inilah barangkali yang membuat para pejabat publik ketika dipanggil kejaksaan kada intat-intat.
Dalam konteks ini pun sering dimaklumi oleh masyarakat awam, bahwa kejaksaan terkadang bisa jua umpat sacoret dalam menangani kasus demikian. Bahwa jika ada kasus yang berkaitan dengan pejabat publik adalah lahan basah untuk melakukan ”gerilya khusus”, setidaknya mumpung masih menjabat di daerah bersangkutan sebelum dimutasikan ke daerah lain di republik ini. Kemudian oleh pejabat kejaksaan baru dibuka lagi berkas tersebut dan kemudian umpat pulang secoret.
Dalam konsep good governance ini jelas jauh panggang dari api. Upaya pemerintah untuk bersama-sama memberantas tindak pidana korupsi dalam tubuh pemerintahan pergerakannya jadi lamban. Konsekuensinya adalah rendahnya daya tanggap bawahan (responsibilitas), responsivitas, upaya transparansi dan rendahnya partisipasi masyarakat bersama-sama membangun tata pemerintahan yang baik.
Negeri dan daerah ini tentu saja ingin anak-anak mereka bisa bersekolah dengan murah, ingin harga barang untuk makan sekeluarga juga murah dan ingin mendapatkan pelayanan dengan baik. Masyarakat tidak ingin selalu menjadi tumbal pembebanan hutang-hutang negara akibat di”eksploitasi” pejabat publik yang kongkalikong dan hanya mementingkan dirinya sendiri, dan atau penyelamatan diri untuk mengamankan posisi pada pilkada berikutnya, sehingga cenderung menghindar dengan berbagai cara jika ada upaya yang mengarah perbaikan seperti adanya mekanisme pemeriksaan oleh kejaksaan. Kita tidak tahu sampai dimana pejabat publik kita akan kada intat-intat.**(idabul, 2007)

No comments: