Beberapa harian di banua ini gencar membicarakan soal polemik Perda Jalan Khusus tentang larangan angkutan batu bara dan perkebunan melintas jalan negara. Tidak tanggung-tanggung Gubernur Kalsel demi janji mampu mengimplementasikan perda dan kepentingan politis harus mengalah bertemu dengan para pengusaha di Jakarta bersama unsur muspida dan bupati kabupaten/ kota se-Kalsel.
Dalam pertemuan tersebut, akhirnya membuahkan hasil bahwa perusahaan akan segera melakukan progress terhadap jalan khusus. Bahkan diberikan lagi toleransi untuk menyelesaikan bagi yang belum tuntas.
Fakta ini mengisyaratkan kemenangan rakyat Kalsel yang selama ini harus bersabar oleh ulah para sopir dan pengusaha yang arogan dari kesabaran selama 15 tahun lebih. Hal ini mengingatkan saya tahun 1997 mobil taksi Martapura-Banjarmasin harus ditabrak truk batubara di Gambut yang menyebabkan korban mencapai 10 orang. Dan saya menyaksikan kakek-kakek masih meringis dengan kaki yang remuk.
Tapi apa di kata, para sopirnya bebas dengan jaminan pengusaha batu bara. Tidak ada yang mampu menindak atas kezaliman pengejar duit ini. Yang ada cuma baurut dada saja. Akhirnya masa Gubernur Gt Hasan Aman, setidaknya truk batu bara tidak lagi masuk kota. Betapa masa itu jalan-jalan utama di kota sangat menakutkan karena kebut-kebutan truk batu bara yang diback up oleh pengusaha, penguasa maupun aparat keamanan.
Saya sedikit miris dengan cara berpikir Bupati Banjar Gt Khairul Saleh yang melakukan pandangan berbeda atas produk Perda Nomor 3 Tahun 2008. Pertama, sesuatu yang lucu penolakan didasarkan karena belum selesainya jalan khusus yang ada di wilayah administratif kab. Banjar dengan membenturkan perda tersebut dengan Undang-Undang Jalan dan Undang-Undang Minerba.
Justru membenturkan Perda dari buah amanat aspirasi rakyat Kalsel dengan undang-undang tersebut adalah pikiran yang tidak realistis. Perda itu lahir dengan melihat realitas kemacetan dan kecelakan serta rusaknya jalan negara. Justru yang tidak realistis adalah waktu yang diberikan cukup panjang untuk membuat jalan khusus tidak diindahkan oleh pihak perusahaan. Fakta ini seakan ada angin dari penguasa sehingga pihak pengusaha kaungahan dan kada ingul-ingul.
Kedua, terlalu naif mengibaratkan dengan Al-Quran kalau Perda itu bisa ditinjau. Ini pikiran yang mundur ke belakang. Ibarat sudah sepakat tulak bakelotok, tapi dalam perjalan di tengah sungai masih mempertanyakan” penting kada kita tulakan”. Saya justru salut dengan Bupati Zairullah Azhar cukup arif dalam menyikapi perda ini. Saya malah menduga dan menunggu, jangan-jangan demi kepentingan politis pak Rudy untuk menjadi Gubernur, Zairullah Azhar menghadang lewat penolakan sehingga rakyat Kalsel tidak bersimpati apabila Perda itu gagal.
Ternyata, justru Zairullah Azhar arif bijaksana mendukung. Ini yang dimaksud dengan tulak bekalotok untuk rakyat Kalsel seia sekata. Ini pemimpin amanah yang mendahulukan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan segelintir pengusaha serta sebagian tenaga kerja.
Ketiga, bahwa berlarutnya jalan khusus selama ini di Kalsel akibat dipertentangkan dengan rezim Undang-Undang Jalan yang membolehkan truk apa saja termasuk maangkut galapung sekalipun. Kemudian tahun 2008 dipertentangkan dengan Undang-Undang Minerba yang orientasinya tidak berpihak pada pelestarian SDA dan rakyat daerah. Apakah ini yang diinginkan?
Seyogyanya, Undang-Undang Jalan dan Undang-Undang Minerba adalah satu sisi dipandang sebagai hal yang berdiri sendiri, tanpa harus dipertentangkan. Apalagi ada pasal yang memungkinkan pemerintah ikut campur dalam mengawal pengusahaan pertambangan. Kemudian Undang-Undang pertambangan yang mengharuskan perusahaan membuat jalan khusus dan Perda nomor 3/2008 sebagai hal yang menjawab realitas publik Kalsel. Sederhananya, mengapa Adaro dan Hasnur memiliki komitmen membuat jalan sendiri? Apakah sebagai penentangan terhadap UU Jalan dan Minerba?
Bisa kan kita berpikir seperti ini dengan melihat realitas. Justru akibat selalu mengedepankan UU Jalan dan sekarang UU Minerba telah terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa atas hak-hak rakyat mendapatkan kenyamanan dalam berkendara. Salah kaprah dalam menafsirkan undang-undang dalam timing yang tidak tepat, justru membuat para pengusaha Jakarta tatawaan dan balalambat untuk melakukan progress jalan.
Maka tidak salah kalau keturunan raja-raja Banjar selalu mengingatkan “ jangan bacakut papadaan” sebagaimana fatwa Pangeran Antasari mengingatkan betapa licinnya Walanda untuk mengadu domba bumi putera. Nah apa yang kita hadapi sekarang untuk kepentingan rakyat Kalsel justru penting untuk mengingat fatwa dan petuah dari raja dan keturunan sultan.
Tapi jika tidak, maka aspirasi dan amanah rakyat banua terancam gagal seiring dengan hancurnya sumber daya alam. Dan kita adalah generasi yang tidak amanah.**(Idabul, 25 Mei 2009)
No comments:
Post a Comment