Oleh : Taufik Arbain
Berbagai media cetak lokal beberapa hari lalu ramai menurunkan berita soal maraju, maanggap dan mambikotnya 16 orang anggota DPRD HSU pada rencana rapat Paripurna tentang pendapat akhir terhadap lima raperda HSU. Alasannya Bapak Bupati HSU tidak tepat memenuhi janji jadwal agenda rapat penting tersebut. Molor 2 jam! Demikian ungkap salah seorang anggota DPRD HSU. Sesuatu yang sangat memalukan dalam rangka membangun kultur disiplin pegawai.
Tentu saja ulah 16 anggota DPRD ini cukup mencengangkan banyak pihak. Terlebih alasan yang mereka kemukakan hal ini disebabkan oleh tidak adanya wakil bupati sehingga tidak ada yang bisa menggantikan kegiatan yang bersifat seremonial.
Paling tidak ada catatan penting atas kasus tersebut; pertama, secara administratif tidak ada yang salah dari undangan yang dilayangkan sekretariat dewan kepada pihak protokoler bupati, bahwa jadwal rapat paripurna agenda pendapat akhir dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini pihak protokoler tentu saja harus mampu memilah mana agenda yang prioritas bertendensi kebijakan dan politis, dan mana yang sekedar seremonial.
Titik lemahnya ada pada pihak protokoler yang tidak professional dalam menangani agenda-agenda Bupati. Padahal pihak protokoler bisa mengkomunikasikan dengan bagian kesekretariatan pemkab atas agenda seremonial pelantikan pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), untuk ditunda penjadwalannya atau sebaliknya. Dan konfirmasi ini pun bisa dilakukan dengan Bapak Bupati sendiri atas perubahan jadwal tersebut. Jadi tidak perlu ada yang tatumpang, sementara selama ini urusan seremonial selalu molor.
Kedua, faktor lemahnya sense of critis dari pengambil keputusan dalam hal ini Bupati atas catatan agenda yang akan dilakukannya. Bahwa siapa pun akan sangat jelas dan mampu mencermati perbedaan kategori agenda pendapat akhir dengan anggota DPRD dengan agenda seremonial dari kegiatan birokrasi bawahannya. Dan seorang Bupati seyogyanya tanggap, jika ada kekeliruan atau ketidakcermatan protokoler karena berkaitan agenda krusial. Sederhananya ibarat orang handak kawin, pastilah mengingat-ingat jadwal kegiatannya dan memastikan tidak tatumpang dengan jadwal lain.
Bahwa siapa pun sangat tahu keterlambatan termasuk ketidakhadiran rapat dengan wakil rakyat di gedung DPRD akan menimbulkan resiko politis yang bersifat krusial dalam soal kebijakan-kebijakan pembangunan. Karena anggota DPRD adalah legislator/mitra eksekutif yang memiliki bargaining position dan daya pressure terhadap eksekutif dalam hal ini bupati. Nah memahami soal ini, sebenarnya tidak diperlukan kecerdasan yang bagus, karena sudah menjadi pandangan umum tentang fungsi-fungsi legislatif dengan segala otoritas yang dimilikinya demikian pula fungsi eksekutif dengan segala otoritasnya. Peristiwa ini merupakan bentuk penafian penghormatan terhadap lembaga negara (legislatif) di daerah.
Pertanyaannya, faktor x apa yang menyebabkan adanya peremehan terhadap agenda yang penting pendapat akhir di DPRD HSU diluar penjelasan-penjelasan fungsi-fungsi birokrasi tersebut? Apakah ada teori baru di Kabupaten HSU bahwa otoritas legislatif sama kedudukannya dengan eksekutif? Padahal Filsuf Perancis Montesquieu telah menawarkan konsep pembagian kekuasaan yang terkenal dengan sebutan Trias Politica sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang ideal yakni adanya kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Atau jangan-jangan ada paradigma baru di HSU bahwa posisi institusi legislatif fleksibel mengikuti jadwal seremonial eksekutif, dimana biasanya tidak ada keberanian bawahan untuk menentang atasan dalam hal penjadwalan dan pengunduran kegiatan, termasuk lambat datang?
Ketiga, peristiwa tersebut bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi degradasi kewibawaan Kepala Daerah di mata wakil rakyat atas kinerja pemerintahan, kapasitas dan kapabilitas dalam kepemimpinan sehingga 16 wakil rakyat HSU dengan segala egonya meninggalkan gedung DPRD sebagai bentuk protes atas ketidakresponsifnya Bupati HSU.
Jadi melihat kasus ini, apakah benar karena tidak adanya wakil bupati? Atau memang ada bentuk pembiaran dan peremehan terhadap institusi legislatif oleh pimpinan eksekutif? Atau memang tidak paham dan cerdas dalam memahami kategorisasi agenda-agenda pemerintahan?
Jika dihubungkan dengan kinerja pemerintahan HSU selama ini, benarlah apa yang diungkap seorang teman. Bahwa setiap pemberitaan tentang Kabupaten HSU hanya seputar seremonial atau peresminan lembaga ini – itu, pelantikan forum ini-itu, meninjau pasar, silaturahmi masjid, mengikuti seminar dan lainnya. Itupun dari program kerja SKPD-SKPD. Tidak ada yang menarik dan progresif dari kinerja pembangunan baik itu gagasan, visi dan misinya maupun terobosan pembangunan sebagaimana kabupaten lain.
Kabupaten HSU benar-benar mundur 15 tahun, karena kepemimpinan dominan cenderung administratif belaka. Dan hari ini benar-benar dinikmati. Kasian rakyat***(idabul 1 Juni 2009)
No comments:
Post a Comment