Oleh: Taufik Arbain
Genderang pemilihan Rektor Unlam tanggal 18 Mei 2009 seperti tidak terdengar nyaring bagi insan akademika Univeristas Lambung Mangkurat, meskipun ada tahapan penjaringan yang melibatkan dosen dan mahasiswa, selain anggota senat Universitas.
Ini memberikan gambaran bahwa pemilihan rektor adalah milik kelompok elit, namun setiap kebijakan selalu mengikat dan membebani grass root (baca mahasiswa dan dosen). Jadi dalam tatanan demokrasi pemilihan rektor selama ini seakan masih berorientasi pada demokrasi prosedural yang masih belum mampu merekam jejak-jejak aspiratif untuk membawa Unlam menuju masa depan.
Ada tiga catatan strategis yang perlu menjadi diskursus menjelang pemilihan rektor Universitas Lambung Mangkurat; pertama, bahwa proses pemilihan rektor tidak dipahami sebagai Trading of power ke arah perebutan investasi bagi pihak yang memiliki hak suara dalam memilih rektor mendatang. Investasi ini bermakna ada bentuk distribusi kekuasaan dan konpensasi siapa mendapatkan apa, tidak sekadar posisi jabatan tetapi akses-akses lain yang bertendesi ke arah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme baik lahan proyek kampus atau tukar guling anak menjadi dosen.
Trading of power dalam pemilihan rektor Universitas Lambung Mangkurat adalah diantara fakta yang memiliki dampak pada langkah dan proses kemajuan kampus. Bahwa perwakilan utusan senat Fakultas dan ketentuan lainnya yang memiliki kapasitas utusan senat Universitas terkadang tidak menjadikan dirinya sebagai wakil/senator yang membawa amanah dari institusi yang diwakilinya. Penghianatan-penghianatan ini menafikan asas demokratis, dimana sulit berharap dengan utusan senat yang bermental trading of power, sekalipun pemilihan bakal calon rektor dilakukan penjaringan ditingkat fakultas. Akhirnya bisa dipahami bahwa baik utusan senat dan kelompok yang memiliki kapasitas dan hak suara, menjadi pemilik suara pribadi yang menentukan sesuai dengan kepentingannya, bukan kepentingan publik kampus.
Kedua, bahwa diperlukan kelompok blok politik demokratik yang terus memberikan warna atas proses pemilihan rektor yang demokratis dan mengedepankan perubahan serta kemajuan. Blok Politik Demokratik dimaksudkan untuk memberikan pressure dan bargaining position dalam pengambilan keputusan untuk dijadikan cermin bagi para senator dalam menentukan pilihan Rektor Unlam Masa depan. Konsep ini menawarkan bahwa insan akademis Unlam tidak sekadar melihat pemilihan rektor sebagai proses demokrasi belaka, tetapi representasi dan partisipasi insan akademis menjadi aspek subtansi demokrasi itu sendiri(making democracy meaningful). Model ini setidaknya melakukan penghindaran atas demonopolisasi politik kampus guna menciptakan dan memperkuat representasi aspirasi yang benar-benar merakyat (popular representation).
Isu-isu aktual berkaitan dengan jejak rekam kebijakan Universitas Lambung Mangkurat harus menjadi agenda-agenda krusial proses pemilihan rektor. Jika hal demikian tidak dilakukan, justru yang mengemuka adalah pikiran-pikiran siapa mendapatkan apa, bukan apa yang harus kita lakukan untuk kemajuan Unlam. Sebab virus-virus demikian sangat rentan menyerang para pemilik suara khususnya para senator koboy. Kita tentu tidak ingin melihat seseorang yang diberikan kuasa atas suara dengan segala kapasitasnya, kemudian memperlakukan kuasa suara itu seperti miliknya sendiri.
Ketiga, bahwa sebagaimana banyak harapan para insan akademis Unlam bahwa rektor mendatang harus memiliki visi dan misi. Saya meyakini pemilihan pimpinan se-level Universitas pasti memiliki visi dan misi. Pertanyaannya apakah visi dan misi para kandidat rektor mampu menghantarkan Unlam pada kemajuan dan kebanggaan minimal di kawasan timur Indonesia. Harus diakui universitas-universitas negeri di Kawasan Kalimantan yang umurnya relatif muda sudah merangkak maju; ibarat pepatah umur muda menjemput zaman. Fakta ini merupakan tantangan dan tanggung jawab para pengambil keputusan (senator) yang memilih rektor mendatang.
Rektor kedepan memiliki kemampuan komprehensif. Ianya bukan sekadar figur yang terbiasa berkutat dalam dunia akademik, tetapi kemampuan manajerial yang bagus dalam mengelola universitas. Mengelola universitas sekarang bukan sekadar persoalan administratif belaka seperti masa lalu, tetapi kemampuan menyandingkan pikiran pro-akademis, kapabilitas manajerial, jaringan luas dan integritas moral.
Bahwa ada banyak insan akademik yang kagum dengan figur seseorang karena kecerdasannya, tetapi belum tentu memiliki manajerial yang bagus. Atau kagum pada figur yang memiliki kemampuan manajerial yang bagus tetapi tidak pro-akademis kecuali pro para proyek-proyek yang korup.
Pemberlakuan BHP di perguruan tinggi adalah tantangan sekaligus peluang. Rektor ke depan harus mampu mempetakan potensi-potensi kewirausahaan, tanpa tergiring menjadi Universitas yang maju dan lengkap tetapi mahasiswanya 80% orang-orang berduit. Jika ini terjadi adalah sebuah ironi dari cita-cita pendiri Unlam untuk memintarkan anak banua setara dengan anak-anak negeri yang lain.
Rektor Unlam bukanlah figur yang “jago kandang”. Tetapi rektor yang responsif dan berani bicara persoalan-persoalan yang dihadapi banua dan bangsa. Pikiran dan pandangannya menjadi inspirasi bagi para pengambil keputusan di banua dan bangsa, sehingga Unlam tidak dipandang sebelah mata. Yakinlah, pemimpin yang menjadi inspiratif publik akan mendorong lahirnya kreatif dan inovatif bagi bawahannya dan publik itu sendiri. Masih ada waktu menjaring calon Rektor yang berkharisma seperti ini.**Penulis: Tim Forum Akademisi Kritis Unlam. Dosen Fisipol Unlam.e-mail: lukah2009@yahoo.co.id (Banjarmasin Post,11 Mei 2009)
2 comments:
penulis Bpost, salam kenal bang ^^
bagus bnr pak ae, komentar dgn kritik piyan te.
ulun salut dengan piyan.
supaya bgs kiya akan kareh pak ae Unlam.
inunggu hindai komentar ayun piyan dengan kritik eh.
mksh.
wass. . .
Post a Comment