Saturday, June 20, 2009

Wait and See

Oleh: Taufik Arbain
Saya agak terperanjat dengan statement seorang pengusaha batu bara bahwa soal jalan khusus tambang yang akan diberlakukan pada 23 Juli 2009 nanti, “wait and see saja lah!”. Alasannya menunggu dampak pemberlakuan perda tersebut bagi sopir, masyarakat dan aspek lainnya. Jadi pertanyaannya adalah apa maksudnya? Padahal dampak belasan tahun yang ditimbulkan oleh angkutan batu bara yang melintasi jalan Negara sudah sedemikian parahnya. Belum lagi 2 hari lalu truk batu bara yang ugal-ugalan dengan kencang menambrak pengendara sepeda motor di kawasan jembatan Basirih Lingkar Selatan.
Tidak cukupkah waktu dan pengalaman belasan tahun menimpa warga masyarakat untuk berpikir positif menuju perbaikan yang lebih elegan. Wait and see ini adalah cara berpikir yang arogan.
Fakta ini mengingat saya cara berpikir orang Malaysia yang justru sebaliknya. Bahwa ada satu fenomena sosial yang jelas menyebabkan persoalan di masyarakat dan dampaknya sangat mengenaskan seperti kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dan berpotensi akan berlaku dalam waktu dekat di Malaysia, maka baik itu pejabat, kaki tangan kerajaan, cerdik pandai, rakyat maupun pengusaha Malaysia jauh-jauh hari sudah memikirkan kebijakan dan solusi yang tepat untuk menyelamatkan warganya sebelum perkara-perkara serupa terjadi di Malaysia.
Cara berpikir rakyat Malaysia ini menunjukkan cara berpikir orang-orang cerdas menyelamatkan semua pihak, bukan cara berpikir yang menyelamatkan sebagian pihak yang kemudian dikesankan seperti banyak pihak. Menariknya justru berpikir cerdas ini tidak sekadar oleh kaki tangan kerajaan, tetapi kelompok pebisnis yang tidak sekadar hidup mengumpulkan uang dan kekayaan tetapi terlibat berpikir keselamatan semua pihak.
Jika berpikir wait and see menjadi dasar berpikir, sangat jauh panggang dari api terjadi penutupan eksploitasi tambang batu bara demi kepentingan masa depan lingkungan seperti diteriakkan para pecinta lingkungan. Untuk kepentingan jalan khusus saja begitu sulit berpikir mengubah paradigma ke arah kemaslahan umat. Padahal kasus jalan khusus tambang ini ada banyak waktu sebelumnya bisa dipikirkan solusi terbaik, pun baru bisa ada produk hukum Perda No.3 Tahun 2008. Ironisnya lagi-lagi disoal.
Dalam konteks ini, jika anggota DPRD melakukan studi banding ke beberapa daerah di luar Kalimantan untuk mengkaji soal jalan khusus ini, ada benarnya juga untuk melihat relasi pemerintah dan pebisnis tambang batu bara di sana yang tidak menggunakan jalan umum. Sebab sekalipun di Kalsel ada jalan khusus tambang seperti di Adaro dan Arutmin yang bisa dikaji dalam kegiatan studi banding, namun di Kalsel justru tidak ada dijadikan contoh relasi pengusaha dan pemerintah dalam membuat jalan khusus sebagaimana perusahaan besar Adaro dan Arutmin tadi, kecuali barangkali perusahaan tambang milik Hasnur saja.
Justru menurut hemat saya, yang penting adalah para pengusaha batu bara yang enggan membuat jalan khusus tambang dan berpikir wait and see –lah yang harus melakukan studi banding, pengkajian, analisa bahwa mengapa PT Adaro dan Arutmin melakukan eksploitasi tambang bisa melakukan reklamasi, manajemen yang professional dan bisa membuat jalan tambang sendiri tanpa menimbulkan dampak besar bagi kepentingan penduduk dan masih bisa memberikan pekerjaan bagi penduduk dan dana CSR-nya. Bukankah para pengusaha tersebut sudah mendapatkan keuntungan yang besar dari kesengsaraan debu dan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas publik?
Jika Perda yang dibuat hampir setahun lalu, maka seyogyanya tidak perlu ada berpikir wait and see menjelang puluhan hari diberlakukan kebijakan tersebut. Justru yang dilakukan jauh-jauh hari adalah action! Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, agak lucu jika mempertentangkan UU Jalan dan UU Minerba dengan Perda Nomor 3 Tahun 2008, termasuk melakukan judicial review terhadap produk hukum tersebut. Sebab ada nilai-nilai sosiologis yang mesti menjadi bahan pertimbangan, sebagaimana kecerdasan yang dilakukan oleh manajemen Adaro dan Arutmin. Pertanyaannya adalah, apakah kedua perusahaan besar tersebut melanggar hukum karena membuat jalan tambang khusus jika dipertentangkan dengan UU Jalan dan UU Minerba? Bukankah pasal-pasal pada UU Pertambangan mengharuskan membuat jalan sendiri? Lalu dimana yang perlu dilakukan wait and see?
Bayangkan di Kalsel, sejak lima belas tahun lebih persoalan jalan khusus ini sulit mencapai titik temu. Jika sebelumnya masuk Kota Banjarmasin, setelah banyak korban kecelakaan baru dipikirkan lintas jalan khusus lingkar selatan. Kemudian sekarang volume kendaraan bermotor semakin meningkat, malah kesulitan untuk menerapkan Perda tersebut. Ini adalah fakta dinamika perkembangan penduduk yang menjadi salah satu dasar hadirnya perda tersebut.
Sayangnya cara berpikir wait and see ini tidak sekadar pengusaha dari Jakarta, tetapi pengusaha lokal yang justru mendorong pengusaha luar semakin wait and see. Atas kasus ini wakil rakyat di DPRD Provinsi harus semakin melakukan pressure dan sokongan atas kebijakan ini, sehingga ada keterpaduan pandangan antara eksekutif dan legislatif. Bahwa pihak legislatif tidak sekadar membuat dan menyetujui saja sebuah produk hukum, tetapi mesti terlibat dalam proses pengawalan dan pengkontrolan atas implementasi produk hukum tersebut.
Semoga wakil rakyat dan Kepala Daerah manapun di Kab/kota Kalsel ke depan bukan kelompok orang yang berpikir wait and see demi kepentingan rakyat Kalsel, apalagi sudah terkontaminasi karena proses politik yang dibiayai dari batu baru. Kebaikan Kalsel hari ini, kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, Kapan lagi?**(8 Juni 2009)

No comments: