Sunday, June 21, 2009

BNP dan Ridho

Oleh: Taufik Arbain
Senin lalu, saya ditelpon seorang teman dari Dewan Kesenian Provinsi untuk mengikuti road show BNP, Badan Narkotika Provinsi Kalimantan Selatan ke Marabahan. Teman tadi mengatakan bahwa pengurus Dewan Kesenian dilibatkan untuk turut serta dalam kampanye anti narkoba dan sekaligus pelantikan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Batola. Rabu,
perjalanan pun dilakukan dalam agenda tersebut.
Saya sempat tak habis pikir, bahwa road show dalam rangka mengkampanyekan anti narkoba sungguh mengeluarkan biaya yang cukup besar. Agenda yang saya ketahui kampanye dilakukan se-Kalsel dan tidak tanggung-tanggung yang dihadirkan adalah Rhoma Irama dan anaknya Ridho Rhoma. Tentu ratusan juta untuk sekali manggung hanya untuk mengkampanyekan Prestasi Yes! Narkoba, No!.
Kota Marabahan yang kecil itu, terlihat gegap gempita oleh penonton yang menyaksikan kegiatan kampanye Anti Narkoba tersebut. Namun, dalam tafsir sosiologis dan psikologis semua orang mafhum, nampaknya bukanlah kampanye Anti Narkoba yang menjadi magnet.
Kampanye bernuansa Anti Narkoba secara fisik hanya terlihat pada seragam /kostum yang dipakai oleh pengurus dan panitia. Termasuk yang saya pakai bersama kawan-kawan Dewan Kesenian Provinsi. Kalau pun secara verbal kampanye hanya ada pada ucapan sambutan Pak Wagub dan Wabup serta Rhoma Irama…setelah itu berdendanglah.
Dalam perjalanan saya merenung, betapa besarnya pengorbanan pikiran, tenaga dan dana untuk menghapus narkoba di banua ini, paling tidak meminimalisirnya. Soal ada tuduhan kampanye terselubung Pak Rosehan mau mencalonkan menjadi Gubernur Kalsel adalah soal lain. Tetapi rentetan aktifitas sedari dulu adalah fakta dalam upaya mengurangi peredaran dan pengkonsumsian narkoba.
Catatan yang menganjal soal ini adalah; pertama, apakah pihak penyidik dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan memahami bahwa berapa banyak dana dan tenaga yang terkuras untuk menangani soal narkoba. Dalam arti lain, saya, anda dan bahkan pengurus BNP betapa miris ketika melihat penanganan narkoba oleh penyidik selalu dikatakan marlong? Kaki tangan Kepolisian menemukan narkoba ribuan butir…tetapi oleh oknum pihak elit Kepolisian tiba-tiba tidak terbukti atau marlong.
Ini adalah fakta yang sering kita dengar. Dimana logikanya, para pengedar narkoba mengirim paket dari luar pulau ini, tiba-tiba marlong? Tetapi bila ditemukan 2 atau 3 butir adalah benar dan ditangkap. Atau tiba-tiba orangnya kabur, dan yang ditangkap atau tertangkap adalah tumbal. Sandiwara-sandiwara yang memuakkan ini sangat menyedihkan. Yang kasihan, petugas/aparat kepolisian yang jujur terkadang mengeluh, bahwa apa yang mereka lakukan untuk kebaikan bangsa dan Negara sia-sia. Dalam bahasa Hulusungai, kalau menangkap pelaku narkoba hanya menganyangi komanda haja!
Kedua, sering pula prestasi yang dilakukan pihak Kepolisian, tetapi kandas dan tidak ada bukti yang memberatkan sehingga oleh pihak Kejaksaan yang bersangkutan dibebaskan. Bahkan tidak mengherankan, pengkonsumsian masih ditemukan di penjara-penjara. Bagaimana di penjara bisa ada pesta narkoba?
Keempat, saya sering mendengarkan anak-anak muda yang suka dugem betapa pongah dan permisif bicara soal..”surang malam tadi diberi bos sebijiannya. Bagiannya kada babagi!”. Jelas tempat dugem adalah ranah permisif bagi peredaran dan pengkonsumsian narkoba. Mengapa selalu tidak ditemukan, kecuali ada agenda grand desain kepentingan politis atau kebijakan institusi yang berwenang.
Jadi kampanye anti narkoba selama ini apakah efektif merasuk dalam pola pikir masyarakat, jika ada pihak lain senyum-senyum dan tertawa turut dalam grand desain membangun sistem peredaran barang haram tersebut yang melibatkan oknum aparat untuk tambahan mata pencaharian?
Tentu pengurus BN Provinsi dan Kabupaten/Kota berpendapat, daripada tidak melakukan apa-apa, pendekatan kampanye road show setidaknya harapan untuk melakukan evolusi pikiran menentang narkoba dengan otoritas yang luas kepada publik. Sebab otoritas penyidikan dan penangkapan adalah otoritas pihak lain, sekalipun tidak memuaskan.
Ternyata betapa beratnya melakukan perubahan sosial untuk menghindari narkoba. Betapa besar cost yang harus dikeluarkan menyelamatkan anak bangsa. Tentu saya, anda, aparat yang jujur dan oknum aparat yang tidak jujur harus memiliki rasa malu. Masih beredarnya narkoba hingga hari ini, karena ada dusta di antara kita, khususnya oknum aparat yang masih merasa “belum bisa makan lebih kenyang”.Terlalu, kata Rhoma Irama.**(idabul 15 Juni 2009)

No comments: