oleh: Taufik Arbain
Kabar adanya gaji ke-13 selalu diidam-idamkan pegawai negeri sipil (PNS) termasuk mereka yang masih berstatus CPNS. Pasalnya gaji ke-13 adalah gaji keberuntungan yang full tidak ada potongan sana-sini oleh bendaharawan gaji di kantor masing-masing. Alasan pemerintah sangat mulia dalam memberikan gaji ke-13 ini, yakni untuk membantu keuangan pegawai negeri dalam biaya anak-anak mereka yang masih mengenyam pendidikan dan meningkatkan kinerja pegawai untuk melayani publik sesuai dengan moto korpri yakni abdi Negara.
Nah dua alasan ini apa benar adanya, sekalipun awal disetujuinya penggunaan anggaran ini oleh DPR untuk kemuliaan. Lalu bagaimana mereka yang tidak atau belum punya anak, atau anak-anaknya belum dan atau sudah selesai mengenyam pendidikan? Toh lagi-lagi pemerintah memberikan toleransi dan tidak membuat aturan khusus tentang hal ini seumpama tidak diberikan gaji ke-13, mengingat gaji pegawai relatif minim.
Cuma menariknya, PNS di lingkungan kerja Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ada aturan khusus soal gaji ke-13 ini. Gaji ke-13 tetap diberikan kepada pegawai negeri bersangkutan, tetapi yang menerima adalah isterinya. Kata teman, pihak Pemprov sudah mulai sensitive gender dalam hal menerima gaji. Lalu jika isterinya yang PNS apakah suaminya yang menerima? Ternyata tidak!
Gaji ke-13 diserahkan kepada isteri sebagai bentuk dan antisipasi adanya tengarai pemotongan dramatik yang dilakukan oleh suami, khususnya suami yang banyak keperluan “lain”. Sebab relative ditemukan banyak suami yang PNS sering tidak menyerahkan pendapatan tambahan kepada isterinya, termasuk heboh gaji ke-13.
Dramatiknya, pola-pola manipulasi yang dilakukan suami sedari dulu tentang urusan gaji ini ketika masih menggunakan mesin tik manual, ada saja suami yang merubah angka gaji di amplop. Perubahan nilai nominal tersebut tentu saja kurang dari nominal sebenarnya. Sang isteri pun bingung, masa suami bekerja 5 hingga 10 tahun lebih gajinya tidak ada naik-naik juga. Kata teman saya lagi, ini adalah bentuk kebohongan suami level 2 kepada isteri. Lalu kebohongan level 1 kepada isteri apa? Punya isteri muda dan atau selingkuhan ganda. Teman saya mengistilahkan dengan Isda dan Senda.
Boleh jadi, fakta-fakta umum inilah yang mendorong pihak Pemprop Kalsel tahun ini membuat kebijaksanaan bahwa gaji ke-13 harus diserahkan setangan kepada isteri dengan persyaratan dan procedural yang telah diatur. Kejutan-kejutan ini akhirnya paling tidak membuyarkan sebagian impian sang suami, khususnya yang kebiasaan merubah ulang nominal gaji.
Kalau gaji ke-13 untuk keperluan sekolah anak termasuk tetek-bengek kursus dan bukunya adalah tepat sasaran sebagaimana dihajatkan oleh pemerintah. Tapi kalau buat bayar hutang dari hutang-hutang konsumtif misalnya lain cerita. Maka kalau ada lembaga yang melakukan survei dengan dua variabel penting dari tujuan pemerintah yakni membantu keuangan pendidikan anak para PNS dan meningkatkan kinerja pegawai. Yakinlah boleh jadi 90 % jawaban yang banyak diberikan adalah membantu keuangan pendidikan anak dan jawaban tambahan keperluan rumah tangga dan bayar hutang.
Jadi selama ini yang terbangun image dari kehadiran gaji ke-13 adalah mencukupi segala keperluan tambahan rumah tangga PNS. Ini adalah fakta riil. Sangat sulit membangun image hingga terkonstruksi dalam mainset PNS kalau kehadiran gaji ke-13, tunjangan ini-itu sebagai upaya mendorong peningkatan kinerja.
Peraturan yang tidak ketat dalam kepegawaian, khususnya bekerja yang tidak berbasis kinerja menjadikan alasan seorang PNS bekerja apa adanya. Belum lagi soal hubungan, budaya dan etos kerja yang masih menjadi variable intervening peningkatan kinerja pegawai.
Fakta sederhana yang bisa diungkap adalah soal adanya sertifikasi guru dan dosen. Boominglah para guru dan dosen mengurus soal sertifikasi yang diukur dengan ragam indikator yang sangat akademis atas kinerja akademis bersangkutan selama ini. Tapi lagi-lagi faktanya perjuangan pengumpulan nilai kredit (kum) yang terkadang tidak linear dengan capaian kinerja. Ketika diajukan pertanyaan alasan mengikuti sertifikasi, jawabnya…malaran batambah gaji… kawa mengkredit mobil dan ini – itu.
Bayangkan jika jawaban dan implementasi ini mencapai 90 %, tujuan sertifikasi dengan segala imbalannya tidak mencapai sasaran dan dunia pendidikan di Indonesia tetaplah suram. Sangat jarang didapat jawaban untuk membeli buku, kursus tambahan, atau kuliah lagi.
Tidaklah keliru jika rekruitmen guru dan dosen harus melewati tahapan ketat yang dibuktikan tidak sekadar tingginya IP akademik saja, tetapi kapabilitas yang signifikan dengan fungsi dan roh sebagai seorang guru dan dosen. Kalau jadi guru dan dosen hanya sekadar –mengajar seadanya dan pulang, maka tujuan penerimaan gaji ke-13 dan sertifikasi mainsetnya yang terbangun sama saja.
Jadi tepat saja, jika gaji ke-13 diserahkan ke isteri salah satu mengamankan kepentingan pendidikan anak PNS. Kalau tidak! Upau kedua-duanya. Ini tantangan bagi mereka yang menerima gaji ke-13.(idabul 22 jUni 2009)
No comments:
Post a Comment