Oleh: taufik Arbain
Kemarin minggu saya oleh Primagama Kapuas diminta menjadi narasumber pada seminar Kualitas Pendidikan Kapuas. Saya diamanahkan membahas soal kualitas pendidikan dan kemiskinan penduduk. Hari-hari sebelumnya saya mencari data di Kantor BPS soal jumlah penduduk usia sekolah, angka partisipasi sekolah, usia dan jumlah angkatan kerja, kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia, tingkat kelulusan dan rasio guru dan sekolah serta beberapa variable lain.
Olehnya padatnya kegiatan, baru malam minggu saya rampungkan bahan presentase tersebut. Dalam benak saya meyakini bahwa seminar ini akan dihadiri banyak peserta khususnya para guru baik SD, SMP dan SMA sederajat, bahkan guru-guru yang mengajar di daerah pelosok. Benar adanya, hingga hal ini mengingatkan saya lagi ketika menjadi pembicara pada soal yang sama di Marabahan.
Realitas ini menjadi bahan kajian saya, bahwa apa benar motivasi mereka hadir untuk mendapatkan pengetahuan tentang kualitas pendidikan, atau sekadar memenuhi material –material prosedural administrasi untuk memenuhi apa yang sekarang heboh adanya sertifikasi guru? Jangan-jangan sekadar mendapatkan sertifikat mengikuti kegiatan tersebut untuk dijadikan bahan lampiran penilaian sertifikasi.
Benar atau tidak! Paling tidak pengalaman kerumunan peserta dan apresiasi pada saat seminar menjadi bahan penting presentasi saya di Kapuas, sehingga tujuan atau misi makalah saya lebih mengarah pada transformasi nilai-nilai dan pengetahuan untuk mengkonstruksi mainset para peserta seminar tentang problem dan tantangan pendidikan serta kesadaran para pendidik.
Mainset yang dikontruksi setidaknya mengupayakan ada endapan pengetahuan dan nilai-nilai yang harus dilakukan bersama, tidak sekadar menghadiri seminar tanpa membawa pengetahuan apa-apa, termasuk merubah paradigma yang keliru tentang pendidikan.
Mainset tersebut mengetengahkan dua hal penting. Pertama, ada pihak tertentu yang membangun alur berpikir bahwa untuk pintar harus menyediakan banyak duit. Fakta ini menjadi virus yang merusak para pengambil keputusan di tingkat sekolah bersama komite sekolah. Tidaklah mengherankan, sekolah yang sekiranya gratis harus masih disisipi oleh pembayaran ini itu yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pasar di luar sekolah.
Bagaimana bisa virus merasuk sehingga ditemukan sekolah berjualan seragam sekolah yang wajib ditebus oleh siswa, padahal harga di pasar lebih murah. Kenapa mekanisme pasar harus ada di sekolah? Tidakkah melihat secara komprehensif bahwa yang dipikirkan masyarakat pengguna jasa sekolah tidak sekadar membayar itu, tetapi banyak kebutuhan lain.
Maka keterlibatan masyarakat dalam dunia pendidikan sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang tidak harus digiring pada pemenuhan pasar yang dimaksud. Jadi jika usaha-usaha sekolah yang dibebankan wajib pada siswa sebagai bagian dari kewirausahaan sekolah, atau sebagai kewirausahaan perguruan tinggi, adalah tafsir yang salah. Alasan itu hanya bungkus saja, kalau tidak ingin disebut karena ketidakmampuan menggali sumber dana saja, sehingga memerankan lembaga pendidikan mengambil alih peran pasar. Bukankah cara ini menghambat masyarakat miskin untuk bersekolah?
Kedua, hakekat pendidikan selama ini dipahami sebagai upaya mengantungkan diri kepada pemerintah (social security). Padahal pendidikan sebagai upaya perberdayaan masyarakat untuk meningkat tarap hidup dan mengentaskan kemiskinan bagi Negara berkembang,…..dan mengurangi kesenjangan sosial bagi masyarakat Negara maju. Pandangan ini seyognya menjadi perhatian para pengambil keputusan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal.
Selama ini ada rangkaian dinamis yang tidak disadari, bahwa peningkatan mutu pendidikan dalam prosesnya hanya menjadi ruang kaplingan bagi kelompok masyarakat berduit saja. Siapa yang mampu membayar les tambahan, maka ia mendapatkan hasil ujian yang mengembirakan.
Pertanyaannya adalah, mengapa metode-metode terbaik di lembaga pendidikan informal tidak menyentuh pada lembaga-lembaga formal sehingga masyarakat miskin dan berada memenuhi kelayakan yang standar mendapatkan pengetahuan dan proses pembelajaran di lembaga pendidikan formal.
Fakta ini sama halnya dengan masih menjamur dan leluasanya para penerbit buku untuk menjual kepada siswa sekolah yang dirancang selalu berganti setiap tahun. Nampaknya ada kolusi DPR dan kementerian pendidikan sebagai pembuat dan pelaksana Undang-undang dengan para penerbit. Bukankah lebih praktis dan efisien pergantian itu berlangsung 5 tahun sekali, kecuali buku yang sifatnya pelengkap sebagaimana masa-masa lalu.
Atas fakta ini, sekali lagi, hanya orang berduitlah yang dapat memenuhi pendidikan yang berkualitas dan standar. Jadi Negara telah mendustai fungsi sosialnya.(idabul, 29 Juni 2009)**
No comments:
Post a Comment