Sunday, September 6, 2009

Kapal Sari Mulia

Oleh: Taufik Arbain
Peristiwa tenggelamnya KM Sari Mulia di sungai Negara dengan rute Negara menuju Banjarmasin sangat memilukan, karena peristiwa tenggelamnya kapal pada malam hari tersebut yang ditengarai kelebihan muatan penumpang dan barang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia. Untungnya aparat yang berwenang segera turun tangan melakukan evakuasi dan memberikan bantuan kepada para korban baik yang meninggal, sakit maupun ahli waris korban.

Sebenarnya ada 2 pesan yang diargumentasikan dalam memahami kasus tenggelamnya Kapal Motor Sari Mulia. Faktor human error karena pemilik dan awak kapal yang terus mengisi penumpang hanyalah bagian lain dari penyebab tenggelamnya kapal tersebut. Namun, sebenarnya faktor di hulu merupakan subtansi persoalan mengapa penumpang ingin mendapatkan ongkos transportasi yang murah.
Pertama, Faktor Kemiskinan penduduk pedesaan. Puluhan orang berbondong-bondong menuju Banjarmasin memanfaatkan transportasi murah adalah karena faktor ekonomis, sekalipun transportasi darat sudah relatif memungkinkan untuk menuju Banjarmasin. Kemudian mayoritas tujuan mereka menuju Banjarmasin karena alasan ekonomi untuk menambah penghasilan keluarga bekerja sebagai buruh tani (pengangarun) saat musim panen di sekitar Kabupaten Banjar dan Batola.
Pergerakan penduduk yang dalam teori migrasi sebagai mobilitas non permanen ini, merupakan kelompok miskin pedesaan kabupaten di Kalsel khususnya di kawasan Hulu Sungai. Pandangan Everet Lee (1970) memperkuat adanya faktor daya tarik dan daya dorong(push-pull factor). Daya tarik karena pada saat Ramadhan kawasan Aluh-Aluh, Gambut di Kab. Banjar, kemudian Jejangkit maupun Anjir sedang panen padi. Kehadiran mereka yang dalam tradisi budaya Banjar dikenal sebagai pengangarun ini tentu saja memberikan tambahan ekonomi khususnya menghadapi Hari Raya Idul Fitri.
Selanjutnya daya dorong menyebabkan mereka meninggalkan kampung halaman, sudah pasti karena pedesaan dan daerah sekitar tidak memberikan peluang pekerjaan untuk menambah penghasilan rumah tangga. Pola mengajak sanak-saudara dan teman adalah salah satu bukti bahwa relatif penduduk setempat dalam kondisi tidak memiliki pekerjaan pada saat itu.
Dalam perspektif kebijakan pembangunan, bahwa kecenderungan pembangunan lebih berorientasi pada perkotaan (primary city), baik menengah atau kecil. Kebijakan yang ada masih belum mampu mengintegrasikan pembangunan pedesaan dan perkotaan. Pertumbuhan pada kawasan sekitar seperti terbukanya lahan pertambangan batu bara sangat sedikit memberikan akses pada serapan tenaga kerja lokal. Justru malah terjadi pengurangan lahan perkebunan bagi rakyat, lebih-lebih yang berorientasi difasilitasi oleh pemerintah.
Pemerintah belum mampu menerjemahkan kawasan-kawasan tertentu menjadi zona-zona ekonomi yang setidaknya menaham gerakan penduduk keluar daerah (out migration). Nampaknya, kebijakan yang lambat tapi pasti seperti pengembangan pertanian dan perkebunan adalah pilihan yang tidak menguntungkan bagi pengambil keputusan. Kalau pun ada jalan tengah justru program transmigrasi yang semua pada berebut melaksanakannya dimana terkadang penduduk lokal seperti jadi penonton di negeri sendiri.
Kematian puluhan orang nampak sekali adalah mereka dari kelompok miskin desa sepintas dari raut muka dan pakaian yang tidak bermerek berlomba-lomba menuju daerah tujuan mencari sesuap nasi untuk bergembira di hari raya bersama keluarga dan sanak-saudara, harus ditelan pahit-pahit harapan itu. Tragedi mirip titanic versi sungai Negara ini, hanya sedikit mengucapkan bela sungkawa. Dimana partai-partai pada masa kampanye dulu? Dimana dinas-dinas dan perusahaan yang suka menghamburkan ucapan selamat kepada pejabat Yang Berulang tahun?
Tragedi ini penting menjadi renungan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memahami bagaimana penduduk kecenderungan relatif bertahan di tanah asalnya dengan kesempatan kerja yang luas, sehingga tidak menjadi beban bagi daerah tujuan seperti perkotaan dan lainnya. Lainnya halnya dengan mobilitas pekerjaan yang permanen dan relatif mapan seperti pedagang, tentu berbeda dengan mobilitas kelompok miskin desa.
Kedua, human error justru terjadi pada pada dinas yang berkompeten mengatur, mengontrol termasuk menarik retribusi kapal yang biasanya ada di dermaga. Boleh jadi dinas perhubungan yang mengatur lalu lintas laut, danau dan sungai tidak peka terhadap musim melonjaknya angkutan dengan berkaca pada aspek pergerakan penduduk menuju daerah lain sehingga lalai mengingatkan kepada pemilik dan pengemudi kapal agar tidak menaikkan penumpang yang melebihi kapasitas.
Lemahnya kinerja pengawasan yang tidak memiliki responsivitas (daya tanggap) atas kondisi sosial masyarakat bepergian, perlu menjadi renungan dinas bersangkutan. Kontrol perjalanan kapal tidak sekadar sigap menjelang mudik lebaran saja, namun jauh hari sebelum lebaran memungkinkan penduduk hulu sungai memiliki tradisi “labuh” menuju daerah lain untuk mencari penghidupan.
Jadi bagaimana pun juga, tenggelamnya kapal motor Sari Mulia harus menjadi catatan penting bagi pemerintah, dengan tidak sekadar memandang aspek human error pada kelalaian pemilik kapal, tetapi persoalan subtansi kemiskian sebagai hulunya. Kasian memang!(idabul, 7 September 2009)

1 comment:

Unknown said...

Salam;
Tragis sekali ujar kisah nya..sekadar mambaca posting bubuhan haja. Pak Taufik ulon baluman suwah ka Banua... InsyaAllah ada rajaki handak ai jua balalah ka Banua...

mazlan abdullah maulana