Oleh: Taufik Arbain
Publik Kalsel-Teng hingga Timur hari ini semua mencibir Lihan, bahkan salah satu media sengaja memberikan ruang kepada pembaca untuk memberikan komentar atas Lihan karena kegagalan bisnisnya yang saat ini masih diduga ada unsur penipuan karena mengumpulkan dana di masyarakat untuk modal bisnis yang dianggap masih “ tidak transparan”.
“Apanya kada transparan? Bisnis Lihan kan, berdasarkan syariah, karena bagi hasil? Dia kan seorang Ustadz. Prinsip bisnis yang selalu menjadi pedomannya adalah “Berbisnis dengan syariah dan mencari ridho Allah SWT”, demikian komentar kebanyakan orang yang menyebut dirinya sebagai “investor”.
Kalimat di atas ini menurut saya adalah faktor determinan mengapa begitu banyak masyarakat terseret dalam kegiatan bisnis yang dijalankannya di antara faktor-faktor lain. Bahwa kelemahan informasi, pemahaman pengetahuan bisnis dan syariah yang tatarang upih menyebabkan masyarakat begitu kuatnya terbawa arus promosi yang dikembangkan oleh kelompok tertentu yang terlibat dalam meraih keuntungan. Kelompok itu sekarang disebut dengan “kolektor”.
Lima hari lalu Duta TV mengundang saya dalam wawancara interaktif bersama Fauzan Ramon seorang Advokat dan YLKI dalam mengurai kasus bisnis Lihan. Saya mengurai dalam perspektif sosial. Dalam konteks ini bahwa ada tiga factor yang menyebabkan begitu dahsyatnya hipnotis bisnis ini. Pertama, adanya spekulatif irasional; ini menekankan pada amatan bahwa kecenderungan para investor dana pada Lihan adalah mereka yang cenderung berspekulasi dengan imingan keuntungan 10% dari modal yang ditanamkan. Padahal menurut ahli-ahli ekonomi sangat sulit sebuah bisnis bisa berbagi hasil mencapai 10 %. Kalau pun ada maka tidak berapa lama akan ambruk karena rentan resiko bisnis.
Kedua, imitation. Pandangan ini mengutif teori yang dikembangkan ahli Sosiologi. Dalam bahasa keren Hulusungai uumpatan. Kecenderungan masyarakat mudah terbawa arus opini mayoritas. Sebab opini mayoritas dianggap sebuah legitimasi dan kebenaran. Ketika bisnis Lihan dikondisikan sebagai bisnis dengan syariah lewat berbagai instrument media, maka kecenderungan uumpatan menjadi bagian dari mengguritanya kelompok penanam modal. Ironisnya banyak diantara orang-orang strata bawah ingin menunjukkan status sosialnya kepada orang sekitar bahwa dirinya “baduit jua”, berani habis-habis uang diinvestasikan. Perilaku demikian hamper terjadi pada kelompok masyarakat rural dan sebagian pinggiran urban.
Ketiga, jebakan simbolik. Ini dimaksudkan bahwa religion market bagi kultur masyarakat Kalsel dan sekitarnya adalah cara yang sangat efektif untuk menarik simpatik massa. Religion market ini sudah terbukti mampu memenangkan pertarungan Pilkada dalam ranah politik. Maka ketika religion market masuk dalam ranah bisnis, mampu membuat orang banua melupakan kehilangan tongkat pertama yakni kegiatan yang pernah dikenal dengan Jimmy Voucher.
Jadi faktor pertama dan kedua sebenarnya penyebab determinan yang pernah terjadi pada masyarakat sekitar 5 tahun lalu pada modus yang sama. Sekarang justru faktor determinan karena jebakan simbolik. Parahnya jebakan simbolik ini dilegitimasi oleh banyaknya kegiatan keagamaan yang menghiasi dan bahkan disponsori dari bisnis Lihan ini. Malah banyak tokoh-tokoh yang sebenarnya memberikan andil legitimasi dari pencitraan yang terbentuk. Sayangnya dimana para Ulama yang bisa membedakan mana riba mana bukan? ( Hati-hati jebakan simbolik pada ranah politik Pilkada Gubernur dan Bupati! Yang juga mengumbar-umbar agama termasuk para Ulama dan pengurus pengajian yang menjadi makelar politik).
Saya sempat bertanya-tanya, kenapa bisnis yang dikumandangkan dengan istilah “bagi hasil” atau syariah kok tidak ada transparan bahkan kontrak-kontrak bisnis dengan para penginves? Bukankah syariah diantaranya menekankan unsur-unsur tersebut?
Kemudian, mengapa sebagian kelompok kolektor dalam jangka waktu 1-2 tahun bisa mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Kata teman ada oknum kolektor yang tiba-tiba karena dekatnya dengan Lihan bisa membeli mobil mewah, naik haji dengan ONH Plus, dan memiliki rumah di kawasan Citra Garden. Lalu saya katakan kepada teman, jangan-jangan uang dari para penginves yang dia gunakan separuhnya atau persen yang sangat tinggi sebelum ke penginves. Situasi ini salah satu fakta yang sangat mencurigakan.
Namun demikian, dalam penanganan kasus Lihan ini masih ada kecurigaan sebagaimana terjadi pada kasus Jimmy Voucher, bahwa ada oknum kelompok elit tertentu baik elit modal atau elit kekuasaan memanfaatkan kasus ini untuk sekaligus memangsa sisa-sisa dana yang bukan haknya. Atau dengan pola meniisakan modal yang pernah dipasang sekaligus mengambil sisa lainnya atas nama penyelamatan. Tapi inilah kecurigaan publik jika ada kasus-kasus seperti ini.
Kata teman, “ ramuk judulnya Lihan” jika jatuh tertimpa tangga pula, karena adanya oknum kelompok pemangsa tadi. Pertanyaannya adalah, mana orang-orang yang telah merasakan dan menikmati sumbangan dan kebaikan dari Lihan? Mampukah menjadi communal garansi sebagaimana terjadi pada kasus Bibit-Chandra? Kalau sudah begini, semua orang cuci tangan dan diam. Memalukan!!(14 Desember 2009, Idabul Mata banua)
No comments:
Post a Comment