Sunday, January 3, 2010

Politik Seniman

Oleh: Taufik Arbain
Ketika pengurus masjid dan pengajian menjadi makelar politik,
Media cetak dan elektronik juga turut menjadi agen politik sepihak,
Kenapa kau bersandawihang?
Rakyat banuamu teracun kata-kata dan amplop pengajian.
Tak tahukah engkau, itu dari darah kematian kerusakan alam?

Tahukah engkau, itu dari upeti pengusaha yang perlahan menjadikan rakyatmu hanya sekali makan.
Tamatkan saja liuk bibirmu dari kata-kata indah mendayu.
Sekali-kali lantang! Jangan takut tidak makan
Zaman akan mengutukmu. Jika Tidak!

Banyak pihak berpendapat, bahwa politik tak perlu hadir dalam keindahan kata-kata para sastrawan dan gerak laku seniman, karena politik dianggap sebagai ranah yang dalam banyak sejarah mengantarkan pada kemeranaan, keterpenjaraan kreatifitas termasuk keterpenjaraan fisik. Novel, roman atau cerpen hingga puisi yang membawa nuansa politis sejak zaman kolonial Belanda maupun Jepang, termasuk rezim di Indonesia adalah bukti-bukti keterlibatan para sastrawan dan seniman yang mengedepankan nilai-nilai keberpihakannya kepada rakyat dibuktikan dengan pengasingan dan pengisolasian karya, kreatifitas dan diri dari komunitasnya bahkan “kedahagaan-kelaparan”.

Fakta inilah salah satu yang akhirnya menjadi pemahaman dan penulisan karya sastra dan seni dari generasi ke generasi mendudukkan pemahaman dan penulisan karya sastra pada ranah melankolis tentang cinta, nyiur melambai, deboran ombak, cantiknya kekasihku yang diajarkan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sedari level SMP hingga SMA akibat kejamnya rezim. Justru yang hadir adalah dominasi politik bahasa yang diaktualisasikan oleh kebijakan diskresi (discresi policy) penguasa atas dunia pendidikan.


Karya sastra dan seni selama ini didudukkan menjadi objek pelengkap dalam panggung-panggung seremonial sebagai pengejahwantahan dari meleknya penguasa pada kebudayaan dan kesusastraan yang didukung oleh para sastrawan dan seniman yang harus berkarya dalam buah “ tanpa makna” dari lipatan kepentingan politik, kekuasaan, dominasi dan ekonomi.

Ada sekelompok panggung di sekitar kekuasaan yang kadang telah menyeret pada situasi tarikan-tarikan idealisme para seniman dan sastrawan untuk masuk dalam karya ‘tanpa makna’ (pembelaan nilai-nilai kebenaran, pen) dalam lipatan kepentingan, intrik kekuasaan, ekonomi hingga membuat rezim dominasi bagi kawan-kawan seniman dan sastrawan di bawahnya.

Faktanya hari ini begitu dahsyatnya berkumandang konstruksi nilai-nilai karya sastrawan dan seniman yang menggunakan kata-kata metafora dan gamang dari lemahnya kekuatan kelantangan kata dan hentak gerak dalam setiap karya. Titik akhir dari pemenuhan sebagai cap sastrawan dan seniman terakomodirnya karya dalam banyak cetakan buku yang dianggap sebagai puncak untuk mengundang aktualisasi dan respon publik.

Proses aktualisasi dan respon publik harus melewati jalan terjal beberapa faktor sebagaimana disebutkan di atas, yang melahirkan paradigma maupun ideologi baru; Meminjam istilah Nurul Fahmi bisa saja ideology ketidaksadaran, ideology menyelamatkan diri sendiri, ideology menguntungkan diri dan kelompoknya yang mengatasnamakan masyarakat. Semua karya sastrawan dan seniman terkonstruksi bertendensius jauh dari kondisi riil sosial masyarakatnya. Apalagi ada paham/ideology yang menfatwakan bahwa sebuah karya sastra atau seni harus mengembangkan nilai-nilai harmoni dengan kepentingan pembangunan yang produktif menghasilkan stabilitas politik.

Realitas ini, sebenarnya bisa saja dikomparatifkan, politik sastrawan dan seniman hanya berbeda sedikit dengan fluktuatif gerakan/aksi demonstrasi mahasiswa. Semakin ditekan, semakin bergerak. Semakin difasilitasi semakin lupa pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Aksi yang muncul hanyalah pemenuhan prosedural sebagai agent of change, bukan gerakan yang massif dan ideologis.

Pandangan ini sebagai bentuk pengingatan betapa politik luar biasa melakukan penikaman-penikaman dari berbagai sudut tanpa celah dan ruang waktu. Penikaman selalu memakan korban dimana terkadang seniman dan sastrawan menyiapkan diri untuk dikorbankan. Namun, politik pulalah juga yang menstimulan lahirnya karya sastra dan seni yang dahsyat di tengah-tengah masyarakat. Setting kondisi sosial yang alamiah maupun rekayasa adalah sebuah pilihan bagi sastrawan dan seniman dalam memainkan peran dirinya bersikap untuk melahirkan karya sastra dan seni yang bermartabat, bukan kehendak dari pesanan redaktur media atau tim sukses politik yang “naïf”.
Era direct democracy misalnya memungkinkan peran seniman dan sastrawan terlibat dalam aksi pemanggungan penyampaian pesan kampanye sang kandidat. Disini pulalah godaan-godaan pemanggungan dari tikaman-tikaman politik tersebut. Sekalipun ada kalangan berpendapat, bahwa era direct democracy justru era dimana terjadi akselarasi frekuensi kreatifitas para sastrawan dan seniman dalam meramaikan momentum pilkada. Tingginya frekuensi pemanggungan berkorelasi dengan tingginya “kedigjayaan” berkarya dan urusan dapur rumah. Ketika semua naik panggung dari tikaman politik, siapakah penjaga “mahligai estiteka”karya sastra dan seni?


Lagi-lagi ini sebuah pilihan! Paling tidak harus ada jalan tengah (win-win solution) dalam menjaga kharisma sastrawan dan seniman dalam lingkaran tikaman politik. Apakah terlibat sekadar dalam nilai-nilai hiburan tanpa makna/substansi politik? Ataukah memang memainkan nilai-nilai substansi politis?. Ataukah pula menempatkan posisi, sebagian berada di luar lingkaran kekuasaan atau sebagian pula berada di luar lingkaran kekuasaan.

Dalam konteks ini paling tidak kreatifitas seniman dan sastrawan diuji untuk melakukan pemilahan mana ranah politis mana yang sekadar sebuah strategi saja dalam mengakomodasi frekuensi pemanggungan dan urusan dapur. Ini pula untuk menegaskan langkah dan penegasan atas kedua definisi tersebut dalam orientasi turut mengembangkan kebudayaan, sastra dan berkesenian di daerah.(idabul harian Mata Banua, 29 Desember 2009)

No comments: