oleh: Taufik Arbain
Apakah ajang Pilkada dalam konteks memilih dan mencari pemimpin baru akan seirama dengan upaya memajukan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat? Ataukah justru Pilkada secara sistematik telah dan akan menggerogoti aset-aset pembangunan sebagai konsekuensi cost demokrasi? Inilah tren pertanyaan yang diajukan publik ketika melihat proses Pilkada realitasnya melibatkan banyak variabel yang saling terintegrasi.
Dalam konteks ini menarik mengutif pendapat Thomas Vinod (1999) yang melihat bahwa tiga prinsip pembangunan sebuah Negara atau daerah akan bertemu pada situasi yang akhirnya menjadi pilihan bagi pengambil keputusan yakni; (a) menekankan pada keseimbangan asset modal fisik, asset modal manusia dan asset modal alam, (b) Menyelesaikan aspek-aspek distributif sepanjang waktu dan (c) menekankan kerangka kerja institusional bagi pemerintahan yang baik.
Pendapat Vinod relevan untuk menjelaskan apa dan bagaimana sepak terjang gaya kepemimpinan para Kepala Daerah dalam membangun daerah yang dipimpinnya. Sebab keberhasilan pembangunan fisik misalnya terkadang dijadikan sebagai simbol keberhasilan justru dominan menjadi political market karena kemampuan nalar awam hanya pada “penglihatan fisik” semata, tanpa melihat relasi dan integrasi dengan asset modal yang lain.
Kita melihat bahwa sebagian besar pemimpin daerah menyelesaikan urusan pembangunan dan kesejahteraan rakyat telah melakukan tabrakan-tabrakan dalam ketiga asset utama di atas. Pembangunan daerah yang menekankan pada fisik seperti infrastruktur justru dilewati dengan pengeksploitasian sumberdaya alam yang luar biasa. Praktek obral izin kuasa penambangan kepada investor tanpa memberikan kontribusi berarti kecuali kontribusi politik personal atau kelompok adalah bagian dari pembusukan dan penghancuran banua yang sistematik.
Inilah yang kita maksudkan dependensia pemimpin daerah kepada investor menyebabkan terjadi proses pengurangan asset modal alam yang luar biasa. Nampaknya jalan mudah membiayai pembangunan adalah dengan pendekatan eksploitasi sumberdaya alam (pertambangan sporadis). Salah satu pilihan dalam memainkan otoritas yang dimiliki Pemkab/Pemkot bagian dari desentralisasi kekuasaan dalam menetapkan alokasi sumber-sumber penghasilan daerah.
Parahnya pola ini menjadi semacam oligarki kekuasaan, dimana institusi kekuasaan lainnya turut terlibat mengamankan pendekatan seperti ini ditambah adanya setiap kebijakan yang dibuatnya menghadirkan legitimasi simbol “tuan guru” setiap ranah seremonial.
Sangat jarang daerah yang kaya sumber daya alam mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, karena tidak diikuti dengan kemampuan dalam menyelesaikan aspek-aspek distributif berupa tingkat pendapatan, pelayanan pendidikan dan kesehatan serta sanitasi lingkungan dalam jangka panjang. Artinya penguatan asset modal fisik lewat pembangunan sarana infrastruktur dominan dinikmati kelompok kapital yang sedikit memberikan kontribusi kepada daerah dari keuntungan usaha mereka. Apalagi pilihan kontribusi bersifat personal dan komunal, jauh lebih menguntungkan untuk mengamankan asset modal kapital dan kekuasaan sang penguasa (discresi policy).
Gambaran sederhana setidaknya ini bisa dilihat dari tren Human Development Indeks (IPM) dari komposit indikator pendidikan, pendapatan dan kesehatan suatu daerah dimana besarnya frekuensi pengurangan asset modal alam justru tidak sensitif terhadap kebutuhan dasar masyarakat (HDI 2009; Banjarbaru=73,2 HST= 68,9 Balangan=64,8 Tapin= 69, Tanbu=67,7). Fakta yang terjadi sering terjadi eksploitasi alam berlebihan justru mengabaikan aspek manusia (sosial) dan lemahnya hak-hak kepemilikan.
Data menunjukkan serapan tenaga kerja yang berimbas pada ekonomi masyarakat relatif kecil dibandingkan dengan serapan pada sektor pertanian dan perkebunan. Akibatnya degradasi modal alam sekarang makin menjadi hambatan serius terhadap peningkatan kesejahteraan. Kasus di Kalsel justru daerah yang tidak mengandalkan modal pembangunan lewat sektor pengurangan sumberdaya alam memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik pembangunan ekonominya dan peluang distributifnya. Sebab sekalipun pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi jarang linear dengan pembangunan ekonomi berupa pemerataan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan (data pertumbuhan ekonomi 2009; HST=6.41%, Balangan=5.12%, Tapin=4,17%, Tanah Bumbu=8,05 .)
Persoalannya adalah adanya terjadi praktek pemihakan penguasa pada kepentingan kelompok kapital hingga mengorbankan kepentingan makro. Inilah yang kita maksudkan pembangunan yang mengedepankan prinsip manajemen pemerintahan yang mengabaikan kepentingan makro memberikan dampak dari berbagai lini. (idabul 9 Januari 2010)
No comments:
Post a Comment