Oleh: Taufik Arbain
Tadi malam sekitar pukul 21.00 wita saya buru-buru pulang sehabis membeli souvenir yang akan dibawa ke Manado besok. Tiba-tiba dikejutkan oleh telepon dari seorang tokoh budaya Banjar. Sang tokoh benar-benar menumpahkan kekecewaannya dan kejengkelannya atas sebuah bangunan megah yang ada di Jalan Sudirman depan Jembatan Merdeka.
Bangunan megah yang dimaksud adalah Gedung Pemuda yang baru saja diresmikan oleh pejabat di daerah ini. “ Aku melihat fotonya di salah satu Koran,tidak sedikitpun sarana public itu memberikan representative kebudayaan Banjar. Kalau begini sulit kita berharap dengan pemuda sekarang untuk turut andil melestarikan kebudayaan Banjar!”, demikian kekesalan sang tokoh.
Saya sangat memaklumi dengan tokoh yang hampir 30 tahun ini memperjuangkan cirri-ciri / representative budaya Banjar ke dalam semua bangunan public di daerah ini. Bahwa sebuah bangunan yang jelas bagian dari otoritas penuh dari pihak yangberkepentingan mengapa tidak mampu memainkan peran dan otoritas penuh untuk menampilkan sosok bangunan yang pro arsitek Banjar.
Saya kira harapan dan kekecewaan sang tokoh ini tidaklah berlebihan, karena memang seyogyanya hal demikian harus dilakukan. Ini untuk memberikan ketegasan dan keberanian bahwa sebuah kebudayaan tidak sekadar menjadi komoditas budaya yang diperankan setiap momentum kegiatan rutinitas Dinas Pariwisata, Budaya dan Pemuda. Tetapi ianya menjadi bagian yang melekat dalam setiap gerak pembangunan dan pelayanan publik di banua ini.
Artinya sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, tentu melakukan langkah pengidentifikasian komunal bangsa lewat berbagai ranah bukanlah hal yang memahami ego etnisitas tetapi bagian dari salah satu pilar penyokong kebudayaan nasional yang beragam. Jadi Salahkah jika menginginkan arsitek Banjar hidup di tanahnya sendiri lewat satu-satunya harapan pada bangunan publik pemerintah daerah?
Kekecewaan sang tokoh ini mengingatkan pengalaman saya Jumat kemarin ketika berkunjung ke Sampit atas undangan dari salah satu kandidat calon bupati untuk memberikan materi strategi pemenangan pilkada. Saya begitu kagum dan terpesona bahwa hampir semua bangunan publik di Sampit hingga ke bangunan pasar ikan mencirikan arsitek budaya Dayak setempat bahkan sepanjang perjalanan saya di Kalimantan Tengah.
Kreasi budaya Dayak yang dipoles dengan kebudayaan modern dinamis tidak menghilangkan nilai-nilai identitas ke-Dayakkannya sangat mempertegas bahwa diri saya berada di tanah Dayak Kalimantan Tengah, bukan berada di negeri Bugis, tanah Jawa apalagi tanah Batak atau Betawi.
Pertanyaannya apalah pengurus KNPI tidak memiliki daya tawar kepada Pemprov dan kontraktor untuk mengidentifikasi model dan arsitek bangunan megah sekretariatnya? Atau jangan-jangan pengurus KNPI Kalsel memang kelompok pemuda yang tidak memiliki sense of banjares culture yang perilakunya hanya Menyadi saja dari apa yang dibuat dan diberikan Pemprop?
Kalau demikian adanya, sungguh sebuah perkumpulan pemuda yang tidak memiliki sense of critic dan tidak bisa diharap banyak sebagai pelopor dan generasi yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan Banua! Karena ruang dan ranah berpikirnya tidak komprehensif dan memberikan pengidentifikasian nyata atas budayanya. Fakta ini barangkali sebagai bentuk pengulangan sejarah yang memperkuat tidak terlibatnya Jong Banjares sebagai pemuda Banjar pada momentum Sumpah Pemuda tahun 1928 bagian dari pemuda Indonesia.
Sesuatu yang berbeda dilakukan oleh Jong Selebis, Jong Ambon, Jong Java dengan segala kebanggaan identitas etnis dan budaya dalam membangun Indonesia yang beragam. Jadi kita memang bangsa/etnis yang tidak mampu membanggakan kebudayaannya sendiri, karena ruang berpikir kita selalu pragmatis dan praktis.
Kalau begitu kita sudah bersiap memberikan ruang kepada siapapun menghegemoni Banua ini dengan segala budayanya. Mungkin kita akan menyaksikan ada sejengkal budaya/ tanah Eropa, sejengkal tanah Jawa, hingga sejengkal tanah Bugis di Tanah Banjar ini sesuatu yang berbeda dilakukan etnis lain yang sangat bangga dengan kebudayaannya bahkan melampaui tanah leluhurnya.(Idabul, 25 januari 2010)
No comments:
Post a Comment