Tuesday, February 2, 2010

Memahami Demokrasi Bangsa Koloni

Oleh : Taufik Arbain
Tidaklah gampang sebenarnya proses demokrasi di Amerika hingga bisa menjadi inspirasi bagi perkembangan demokrasi, pemerintahan dan politik dunia. Sejarah migrasi manusia dari belahan dunia khususnya kelompok koloni Inggris, Spanyol dan bangsa-bangsa yang dijadikan budaknya lainnya mengkonstruksi sebuah kepentingan-kepentingan yang berbeda berdasarkan koloni dan penguasaan wilayah geografis.

Pada masa awal demokrasi di akhir abad- 18 misalnya situasi berdarah harus diperlihatkan, karena daerah-daerah koloni berperang melawan Negeri Inggris hingga perjalanan selanjutnya begitu kuat kepentingan kelompok kapital yang merdeka memberlakukan diskriminatif luar biasa pada kelompok manusia berdasarkan gender, ras dan agama dalam proses demokrasi dan merebut kekuasaan di tingkat regional negara bagian.
Kepentingan Kapital, penguasaan budak dan keamanan adalah ranah awal kepentingan atas menguatnya entitas federalisme untuk mengatur dirinya masing-masing (otonom). Inilah sejarah yang menjadi konsep awal lahirnya pemerintahan federal di Amerika dimana masing-masing koloni berkendak menanggapi langsung kehendak rakyatnya yang diartikulasikan dalam Articles of Confederation tahun 1781 dari pikiran cerdas revolusioner sekelompok utusan yang mencoba menyatukan berbagai kepentingan dan pemerintahan sendiri dari negara-negara bagian, sekalipun terjadi tumpang-tindih dalam perkembangan atau demokrasi dan kekuasaan pemerintahan yang mereka bangun ke Dunia Baru " Amerika".
Sejarah hidup bangsa Amerika yang pernah mendapatkan tekanan politik dan agama serta struktur ekonomi Dunia Lama "Eropa" yang kaku dan mengekang individu tanpa menghiraukan sumberdaya manusianya merupakan alasan penting mereka menolak sentralisme sehingga sangat menghargai kebebasan individu dan sangat berhati-hati dengan kekuasaan yang bisa membatasi kebebasan mereka. Padahal tarikan pola-pola lama yang monarki menjadi kegelisahan adanya adu domba dari Inggris dan Spanyol terhadap suku Indian kepada pendatang koloni yang bersepakat menyatukan ragam kepentingan dalam sebuah kekuasaan di tangan rakyat.
Perkembangan berikutnya dari Articles of Confederation melahirkan UUD 1789 yang dibuat dari semua utusan dengan tujuan adalah menciptakan pemerintahan sendiri (self government) sebagai bentuk menanggapi langsung kehendak rakyat sebuah adaptasi pemerintahan yang telah dipraktekkan di Inggris dan pengalaman daerah koloni yang diatur rakyat, tetapi diperintah oleh rakyat adalah sesuatu yang unik dan baru dalam bentuk-bentuk pemerintahan pada masa itu.
Dalam konteks ini pikiran-pikiran pemikir Montesquieu, John Locke dan filsuf politik Eropa lainnya memiliki pengaruh besar pada pemikiran pembagian tiga kekuasaan terpisah (legislatif, yudikatif dan eksekutif) serta paham perlindungan mendasar hak-hak asasi manusia.
Dalam konteks Indonesia, perjalanan demokrasi terjadi proses akselarasi sebagaimana bangsa-bangsa di dunia disebabkan oleh situasi yang relatif sama adanya bentuk kolonisasi yang melepaskan dari penjajah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan abad terakhir karena transformasi interaksi intelektual. Tetapi yang berbeda adalah bargaining position yang dikonstruksi awal kemerdekaan masing-masing daerah tidak memperlihatkan kepentingan atas dasar kesejahteraan penduduk daerah, penguasaan sumberdaya alam maupun konstruksi budaya, sebagaimana konstruksi bargaining position para utusan pembuat Articles of Confederation yang tetap bersatu dalam United State yang federalisme dan bangga menjadi bangsa yang bersatu di dalamnya.
Indonesia sekarang telah melahirkan isu ketimpangan pembangunan antara kawasan barat dengan tengah dan timur Indonesia, bahkan ada kecenderungan mulai kembali melakukan pemberian kekuasaan yang terbatas kepada daerah lewat produk Undang-Undang terakhir, sehingga konsep "menanggapi langsung kehendak rakyat" hanya mampu pada permukaan saja atau bahkan menjadi jualan kecap para politisi partai dan kandidat Kepala Daerah yang asyik menikmati demokrasi prosedural.
Capaian keadilan dan kesejahteraan rakyat di daerah adalah bagian jawaban dari kebanggaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi diskursus demokrasi hari ini untuk Indonesia adalah persoalan kualitas layanan pemerintahan kepada rakyat, kualitas partisipasi publil dan kualitas proses demokrasi itu sendiri. Pengalaman lemahnya bargaining position rakyat daerah pada awal kemerdekaan tidak perlu terulang kembali pada situasi yang berbeda hanya karena kita diam, tidak tahu apa-apa atau bahkan pembiaran oleh para politisi yang diberi amanah karena menikmati demokrasi yang semu bagi rakyat daerah. (Washington, DC 2 Februari 2010)
Penulis: Dosen FISIP UNLAM

No comments: