Thursday, February 4, 2010

Paman Sam

oleh: Taufik Arbain
Sampai hari ini saya belum banyak mendapatkan informasi mengapa Amerika disebut juga dengan negeri Paman Sam. Nama ini pernah saya pertanyakan dalam hati sejak SD kelas 5 ketika membaca buku dan koran loak yang tidak sengaja dibeli ibu di pasar yang sebenarnya sebagai bungkus acan dan bawang. Kadang saya bertanya kenapa di Amerika ada nama Paman Sam?
Sebagai orang kampung, tentu saja pikiran saya terbatas, apa hubungannya dengan tetangga saya julak Syamsuri yang waktu itu sering dipanggil Isam.
Sekarang 25 tahun berikutnya, saya sedikit mendapatkan gambaran tentang itu. Setelah perjalanan jauh dari Narita Tokyo kemudian turun di Bandara Washington, DC diikuti dengan hujan salju, saya dengan seorang teman disambut oleh seorang pegawai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Abdullah Balbet namanya. Kepada Balbet saya menanyakan soal Paman Sam. Menurutnya itu sebutan kekeluargaan kepada rakyat Amerika, dimana pendekatan yang dilakukan untuk melunakkan sikap rakyat agar mau membayar pajak, maka Pemerintah dideskripsikan sebagai seorang paman yang memiliki ikatan batin dengan keponakan, yakni rakyat. Misalnya dikatakan bahwa Paman mau membangun kereta api, jalan atau fasilitas umum lainnya.
Dalam perjalanan itu, sembari menikmati hujan salju Balbet bercerita, kalau setiap pendapatan dan pengeluaran warga negara terhitung oleh pajak. Namun demikian, rakyat Amerika benar-benar mendapatkan manfaat dari pajak yang dia bayarkan. Seorang yang sudah manula misalnya akan mendapatkan dari apa yang pernah dia bayarkan. Kenyaman fasilitas ini berdampak pada layanan pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Balbet menceritakan bahwa anak sedari TK hingga SMA tidak ada membayar sedikit pun iuran sekolah. Buku dipinjamkan oleh pihak sekolah, kecuali itu murid bisa membeli yang tersedia di perpustakaan sekolah. Orang tua hanya membayar iuran sekitar US$.5 setahun kepada Parent-Teacher Assosiation, atau apa yang di Indonesia disebut dengan Komite Sekolah. Namun demikian, masuk sekolah tidak bisa sesuka hati memilih, tetapi harus berdasarkan wilayah dimana tempat tinggal dan sekolah yang ditetapkan. Sebuah pola yang di Indonesia sering berganti-ganti dengan dengan model istilah lain dalam memungut uang sekolah.
Lain halnya dengan masuk perguruan tinggi, maka rakyat Amerika harus membayar sebagaimana di negara-negara lain. Pola ini hampir mirip dengan apa yang sering saya kemukakan sebelumnya, bahwa seyogyanya pihak sekolah di Indonesia atau banua sedari TK hingga SMA tidak perlu ada pungutan ini itu yang akan membuat publik terlebih orang miskin tidak bisa mendapatkan pendidikan dengan selayaknya. Pendidikan gratis sedari TK-SMA adalah sebuah penyelamatan masa-masa belum produktif. Soal masuk perguruan tinggi itu adalah mudah, sebagaimana dilakukan sebagian anggota DPRD, biar sudah tuha.
Pertanyaannya, mengapa kita begitu sulit menerapkannya? Lucunya kalau pun ada biaya gratis tanpa ada pungutan sekolah tiap bulan, tetap saja ada pungutan masuk sekolah yang terkadang sekolah seakan-akan sebuah "pasar" menjual kaos kaki, baju seragam dan lainnya. Belum lagi adanya istilah Uang Registrasi Kenaikan Kelas. Pihak Dinas Pendidikan seakan membiarkan adanya kebijakan sekolah demikian, tanpa berpikir jauh soal pentingnya pendidikan yang hakiki bagi publik secara merata bukan milik orang berduit.
Terkadang kalau ada pungutan, tidak dilakukan dengan transparan cara pengelolaan. Kepala Sekolah, Guru dan utusan orang tua terlibat dalam kepengurusan, tetapi tidak sedikit hanya tempelan nama pengurus belaka tanpa memiliki arti apa-apa. Ketakutan berlebihan dari orangtua siswa untuk melakukan kritik dianggap berdampak dengan pelayanan dan indeks prestasi (nilai) anak mereka. Komite Sekolah diibaratkan dengan instrumen demokrasi hanya administratif dan prosedural saja, bukan subtantif. Akibatnya pungutan tidak berdampak banyak dalam membantu pembangunan fisik dan non fisik sekolah. Ianya seakan menjadi "mata pencaharian terselubung". Anehnya pengurus mendapatkan insentif dari kerja-kerja yang tidak begitu berarti.
Diskusi kami pun terhenti, karena perjalanan sekitar 45 menit telah sampai di Beacon Hotel pusat kota tempat kami menginap. Saya sempat mengintip dari balik kaca, rupanya kawasan tempat kami menginap adalah kawasan Kedutaan Asing, karena menjelang malam yang nampak adalah Kedutaan Australisa. Bisakah saya suatu saat nanti ke negeri itu juga? (Idabul, 8 Februari 2010)

No comments: