Oleh: Taufik Arbain
Amerika adalah bangsa yang suka mendokumentasikan segala sesuatu yang terjadi baik masa lalu, sedang berlangsung termasuk menyiapkan apa yang terjadi di masa akan datang. Ini saya rasakan bahwa pengelolaan museum ada yang ditangani oleh pihak pemerintah dan ada yang ditangani oleh pihak swasta dan NGO ( LSM). Sebagai seorang akademisi dan aktifis NGO saya tentu saja tertarik dengan model seperti ini, bahwa ada proses belajar yang dilakukan terus-menerus tanpa mengabaikan sejarah-sejarah masa lalu, sekalipun harus pahit dirasakan oleh sebagai orang.
Kepahitan perbuatan masa lalu dari ungkapan sejarah lewat museum yang saya yakin semua kalangan umur tentu menyukai apabila dikemas dengan profesional, guna mendekati sekelompok manusia yang tidak suka baca buku; adalah bentuk agar tidak perlu terjadi pengulangan sejarah memilukan di masa akan datang oleh generasi berikutnya. Pengelolaan museum yang tidak professional di banua, membuyarkan bayangan saya tentang museum selama ini yang tidak menyenangkan, bahwa manajemen orang Amerika mengelola museum benar-benar membuat pengunjung terlibat dalam jejak rekam sejarah yang ada.
Di Birmingham Negara Bagian Alabama misalnya kami diajak mengunjungi Museum Hak-Hak Asasi Manusia Kulit Hitam. Tertata rapi dokumentasi tentang kehidupan, imigrasi dan perlakukan buruk yang dilakukan oleh orang kulit putih. Sejak abad 18 misalnya posisi orang hitam menjadi budak, kemudian dihapuskan, tetapi tetap saja dipisahkan dalam penggunaan fasilitas umum seperti naik bis dan penggunaan air minum, pelayan sekolah dan kesehatan tidak boleh campur dengan kulit putih termasuk untuk ikut pemilu sekalipun. Akhirnya pada tahun 1960-an dihapuskan semua perbedaan dalam konteks kelas sosial dan ras
Orang yang berjuang menuntut Hak-Hak Asasi Manusia adalah Martin Luther King, seorang pengacara kulit hitam yang akhirnya tewas ditembak oleh sekelompok orang kulit putih. Atas soal ini, bahwa begitu beraninya orang kulit hitam melakukan bargaining position terhadap orang kulit putih dengan cara mendirikan sebuah museum.
Sayangnya, di American Indian Museum yang ada di Washington, DC tidak ada museum yang sifanya melakukan gugatan sejarah adanya pembantaian Orang Indian oleh Columbus di masa lalu, kecuali soal kebudayaan saja dengan segala unsurnya sebagaimana definisi dalam Antropologi, konsep yang hampir mirip yang dilakukan oleh para pengelola museum di Indonesia dan Banua.
Inilah yang saya maksudkan kehadiran museum yang dikelola dengan baik begitu memberikan inspirasi bagaimana sebuah bangsa dan komunitas etnis harus mampu mendokumentasikan masa lalu dalam konteks dan perspektif sekarang tanpa mengabaikan nilai historicalnya.
Kehadiran museum tidak sekadar mengkoleksi instrumen kebendaan, tetapi dokumentasi skrip dan film yang dibuat untuk bisa dinikmati pengunjung sekitar 10 hingg 15 menit tentang fokus dari eksistensi museum tersebut. Hampir semua museum yang saya kunjungi memiliki dokumentasi film yang ruangannya bias menampung 50 penonton hingga 300 penonton. Sungguh menakjubkan film dokumenter tentang sejarah berdirinya Amerika, kedatangan Imigran, sejarah suku Indian, Holocaust Yahudi, Perbudakan dan sebagainya.
Saya sempat bergumam, kalau saya utarakan di Banjarmasin, maka akan ada menyahut; “bagaimana bisa membuat film biayanya mahal dan tidak ada copy film tentang sejarah Banjar”. Saya akan menjawab,” Mudah dan murah dengan kemampuan nalar kita, ada sebagian dokumentasi yang mereka buat berupa ilustrasi dan kumpulan foto-foto masa lalu dan animasi. Sesuatu yang saya kira kemampuannya sudah dimiliki anak-anak banua yang menuntut ilmu di jurusan komunikasi dan komputer”.
Saya mendapati banyak orang yang berkunjung baik kulit putih maupun kulit berwarna seperti saya (kuning langsat diperam seminggu). Paling tidak ada pesan-pesan moral yang luar biasa dan sesuatu yang menyenangkan mengunjungi museum. Saya sempat berpikir, bahwa seyogyanya pimpinan museum tidak sekadar menjadi admistrator belaka, dimana setiap pergantian pimpinan itu-itu saja yang dilakukan tanpa ada pembenahan yang berarti dan memiliki nilai-nilai yang futuratif
Kerja-kerja para seniman dan budayawan serta pemikir kebudayaan untuk mencapai keinginan besar itu memang perlu diintegrasikan kembali. Lewat museum kita bisa belajar banyak tentang kebudayaan dan identitas budaya banua. Kalau bukan kita siapa lagi, selain Urang Banua!(idabul, 14 Feb 2010)
No comments:
Post a Comment