Oleh: Taufik Arbain
Tradisi Debat bagi seorang yang ingin menjadi pemimpin baik Kepala Daerah atau instansi publik lainnya di Indonesia termasuk sesuatu yang masih baru. Tradisi fit and profer test dari Amerika Serikat ini, bagi seseorang ini merupakan ajang mengkomunikasikan pikiran, gagasan, visi dan misi dari seseorang sehingga terukur apa-apa yang mau diwujudkannya, apakah rasional atau sekadar utopia belaka.
Dalam konteks pilkada pelaksanaan debat kandidat ini bertujuan untuk memberikan pencerdasan politik bagi masyarakat. Sebab setiap pasangan calon diberikan waktu untuk memaparkan visi-misinya kepada masyarakat. Dengan adanya hal ini, masyarakat dapat menentukan pilihan pada saat pelaksanaan Pilkada, dan tentu saja “kada tatukar kucing dalam karung”.
Seseorang setidaknya yang ingin menjadi pemimpin dapat diuji kemampuan, kecerdasan cara berpikirnya lewat kegiatan debat kandidat ini, dimana seseorang tidak sekadar nampak performa fisik saja, tetapi emosinalnya dan pikirannya dalam berargumentasi. Ini memastikan bahwa seseorang yang ingin maju dalam perebutan kekuasaan, bukanlah sekadar boneka dari sekelompok elit hanya karena kemampuan vote gether-nya (lihat para artis), tetapi kemampuan dan kestabilan emosinya dalam pengambilan keputusan.
Dalam hal ini, bahwa sang kandidat tidak bisa asal bicara saja apa yang dipaparkan dalam visi dan misinya, tetapi akan terus mendapat tanggapan dan dari panelis untuk menguji keterukuran mimpi-mimpinya dalam tujuan mensejahterakan masyarakat. Tentu saja panelis dimaksud adalah penelis professional.
Dalam minggu terakhir ini saya agak terkejut bercampur geli, adanya pernyataan anggota KPUD Kalsel yang menyebutkan bahwa; di Kalsel ini banyak yang bisa menjadi panelis, tetapi sangat sedikit yang tidak menyodotkan kandidat. JUga tidak terlibat dalam tim sukses salah satu calon, dan nama-nama panelis dirahasiakan serta dikonsultasikan dengan para kandidat apakah bisa diterima atau tidak sebagai panelis.
Penyataan terakhir ini sangatlah lucu sekali. Kenapa? Bahwa KPUD telah menempatkan dirinya bukanlah sebagai lembaga independen dan merdeka dalam menentukan dan membuat setiap keputusannya. Ada sesuatu yang kontraproduktif dari cara berpikirnya, bahwa jika nama panelis dirahasiakan, tetapi ada ruang dikonsultasikan kepada kandidat! Ini artinya sangat memungkinkan bagi kandidat untuk mencoret atau tidak menyetujui panelis yang menurut ukuran “rasa” kandidat akan merugikan dirinya karena kekritisan pertanyaan dan tanggapannya.
Lalu sebenarnya pola dan bentuk panelis bagaimana dikehendaki KPUD? Atau sekadar seremonial dari instrument demokrasi saja? Bukankah maksud debat untuk membedah visi dan misi, bukan sekadar gagah-gagahan. Justru KPUD telah melakukan paradoks demokrasi itu sendiri. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana anggota KPUD sangat tidak berwibawa membawa map mendatangi calon kandidat untuk konsultasi minta persetujuan nama panelis.
Dimanakah sebenarnya indikator penting fungsi seorang panelis yang dimaksudkan KPUD Kalsel? Bukankah panelis yang disiapkan adalah independen, memiliki integritas kapabilitas, tanpa melihat tua-muda, dan relatif dikenal publik setiap analisanya.
Justru jika diluar konteks itu dan mengedepankan panelis hasil persetujuan kandidat adalah lucu dan acara debat ya..datar-datar saja, tidak ada bahan yang bisa dikupas mendalam sehingga masyarakat bisa memahami visi-misi yang selama masa kampanye masih di awang-awang. Padahal maksud debat kandidat sangat efektif untuk melihat dan mengukur kemampuan para calon, baik calon walikota, bupati hingga Gubernur, sehingga masyarakat juga dapat melihat dan memberi penilaian.
Memang diakui debat kandidat bukanlah indikator determinan keberhasilan pelaksanaan demokrasi dan gambaran kemampuan seseorang dalam memimpin, tetapi paling tidak cara berpikir yang keliru dalam memahami subtansi debat kandidat dari pernyataan salah satu anggota KPUD Kalsel adalah bentuk kemunduran berpikir dan mekanisme pra debat kandidat, apalagi sampai ada ancaman pidana jika dikategorekan memojokkan. Lalu bagaimana kategore pemojokan yang sampai ke ancaman pidana?
Kalau sampai terjadi pemojokkan dan masuk kategore pidana, justru pihak KPUD lah yang tidak akurat dalam memilih panelis. Ataukah jangan-jangan agar debat kandidat berlangsung datar-datar saja sekadar menghabiskan anggaran yang besar. Kalau demikian, namanya bukan Debat Kandidat, tetapi Tatawaan Kandidat dengan biaya yang mahal.Terlalu kata Rhoma Irama.(Idabul, 18 April 2010)
No comments:
Post a Comment