Sunday, May 23, 2010

Kunjungan Politik

Oleh: Taufik Arbain
Kemaren banyak warga bertanya-tanya, kenapa para kandidat Gubernur dan Walikota di Banjarmasin tidak memanfaatkan jadwal kampanye dengan panggung terbuka? Justru memanfaatkan kunjungan ke pasar-pasar, ke komplek pemukiman warga dan sebagainya yang sifatnya bertemu langsung dalam jarak yang dekat dan kawa bapanderan.

Ini pulalah yang sempat ditanyakan pemirsa pada saat interaktif dengan DUTA TV. Kada baduitkah? Kada kawa membayar panggung dan artiskah? Kada kawa membari duit transportasikah? Dan macam-macam tanggapan maupun dugaan warga.
Menurut saya, sebenarnya apa yang dilakukan para kandidat dan tim sukses dimasa tahapan kampanye hanyalah sebagai penegasan saja dalam momentum tahapan. Padahal mereka telah melakukan tahapan kampanye jauh-jauh hari dengan berbagai cara dan pendekatan yang mana kegiatan mereka dikategorikan oleh KPU hanya sebagai sosialisasi. Mengapa? Karena belum masuk pada jadwal tahapan kampanye menurut aturan KPU.
Saya meyakini setiap kandidat memiliki tim survey untuk mempetakan pendekatan apa yang efektif untuk menarik simpatik pemilih. Sebagaimana hasil survey independent yang saya lakukan lewat Lembaga Kajian Politik dan Pembangunan Daerah (LKPPD) 50,8% menyatakan efektif pengenalan kandidat dan bersimpati lewat silaturahmi/kunjungan politik. Alasannya sederhana sebab dengan bertemu langsung mereka bisa bapapanderan untuk mengemukakan aspirasi dan harapan kepada kandidat termasuk permohonan bantuan fasilitas publik atau “kebutuhan pribadi”.
Bagi kandidat tentu saja penerimaan ini dijadikan sarana untuk mengkampanyekan diri dan program sebagai orang nomor satu untuk memimpin daerahnya. Ini agak berbeda dengan penggunaan baliho atau poster dua bulan atau 2 minggu menjelang hari H pemilu kada. Poster atau foto wajah hanya mencapai 14,9 % sementara iklan televisi 12,5 %.
Nah, gerakan kunjungan politik menjadi primadona, tinggal seberapa besar amunisi yang disiapkan. Sebab ada sebagian masyarakat yang cenderung pragmatis dimana akan memilih kandidat yang telah memberikan “kebaikan”, sekalipun orangnya tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas kecuali karena punya modal capital dalam menggerakan partai maupun tim sukses.
Cuma terkadang para kandidat dalam melakukan kampanye baik lewat foto wajah, poster, spanduk termasuk kunjungan politik tidak menggunakan logika sebagai bagian penting perubahan dan mulai dewasanya politik rakyat. Semisal kalau berkunjung dan berkampanye di Martapura mengaku Urang Martapura, kalau kampanye di Marabahan mengaku Urang Bakumpai, kalau ke Nagara mengaku Orang Hulusungai. Ini terkadang menjadi tertawaan public.
Barangkali ini masih lumayan, sekalipun lewat ini bisa membangkitkan rasa emosional primordial pemilih khususnya masyarakat pedesaan yang berpendidian rendah. Parahnya justru justru tidak mengedepankan etika semisal menyambati yang mengarah ke black campaign, bukan negative campaign berkaitan dengan kebijakan. Atau kampanye yang tidak masuk di akal yang sebenarnya mengaturnya adalah otoritas Pemerintah Pusat bukan daerah semisal pelayanan sosial dasar seperti listrik dan sembako.
Yang penting menjadi perhatian public dari soal pendekatan dan strategi kampanye adalah gerakan tahapan III yakni perang gerilya. Mengapa? Perang Gerilya dilakukan biasanya seminggu sebelum hari H hingg menjelang hari H atau menjelang pukul 08.00 wita dimana dibukanya pendaftaran untuk mencoblos. Perang Gerilya adalah perang puncak upaya menjinakkan pemilih lewat apa yang disebut dengan money politic. Siapa ganal kacakan, maka bisa mungkin atau kada ganal jua pilihan warga. Lihat saja nanti!(Idabul 23 Mei 2010)

No comments: