Oleh: Taufik Arbain
Kemaren barusan diadakan pembukaan Kongres Budaya Banjar ke-2. Banyak hal menarik dalam tataran kebudayaan dari adanya kegiatan tersebut, sekalipun banyak pihak menyangsikan apa manfaat kegiatan tersebut bagi pembangunan daerah. Malah uniknya lagi, ada yang memberikan tafsir bahwa kegiatan tersebut tidak lebih dari sebuah perhelatan untuk menegaskan politik identitas, lebih-lebih menjelang pilkada berkaitan dengan Urang Banua .
Saya kira dalam alam demokrasi adalah sah jika sebagian orang berpendapat demikian. Sebab perhelatan budaya selalu membawa akses market politik. Yang paling sederhana dalam konteks penafsiran tersebut adalah adanya partisipasi publik dalam kegiatan tersebut tentu saja telah menguggah “rasa you dan I “ dalam perspektif sosiologi ketika ada wilayah perebutan kekuasaan ada yang bukan orang banua.
Pandangan lain adalah bahwa kegiatan semacam itu dianggap sebagai bibit-bibit etnosentris atau penguatan kesukuan. Tentu saja konteks ini sering diungkap oleh sebagian kelompok migrant yang boleh jadi selama ini tidak terlalu nyaman dalam mengkonstruksi banyak akses, baik akses politik-kekuasan, ekonomi maupun sosial.
Dalam konteks inilah menurut saya bahwa keberadaan kongres, musyawarah atau apa pun namanya yang melibatkan ranah integrasi kesukuan memiliki perspektif yang berbeda-beda. Uniknya perbedaan persepsi dari yang menganggap akan terkonstruksi gejala kesukuan sampai yang menganggap bagian dari pelestarian budaya itu sendiri.
Saya justru melihat dalam konteks pelestarian dan politik identitas. Bahwa ada hipotesa menarik mengatakan, semakin tinggi frekuensi aktifitas seni-budaya, maka semakin meningkat pula gerakan-gerakan sadar kebudayaan itu sendiri. Nah dalam konteks ini, tentu saja kongres salah satu bagian dari perhelatan lebih besar dibandingkan perheletan budaya lainnya. Sebab kongres budaya yang subtansinya pada ranah pengembangan pikiran kebudayaan, tetapi juga dalam subtansi aspek nostalgia tradisi dan show of cultural resistensi dalam hamper semua jenis kebudayaan seni-tradisi.
Generasi sekarang bisa menikmati jenis-jenis seni tradisi dalam satu paket kegiatan kongres. Situasi melihat mendengar dari apa yang dilihat dan didengar adalah bentuk transformasi pesan-pesan kebudayaan baik dalam konteks nilai-nilai maupun non nilai-nilai.
Namun yang terpenting tentu saja perubahan-perubahan budaya yang selama ini dinamis dan statis bagaimana dalam konteks dan kepentingan manusia sekarang.
Kebudayaan tidak sekadar dipandang dalam sebuah pagelaran seni baik mamanda, madihin, tarian dan permainan tradisi saja sebagaimana dipahami manusia / pemuda sekarang, tetapi nilai-nilai yang berkembang dan terkadang bertabrakan dalam konteks zaman yang dihadapinya bagaimana menselaraskannya.
Pertanyaan demikian saya kira adalah pertanyaan yang banyak diajukan para pemangku budaya dan masyarakat yang berkebudayaan itu sendiri. Namun demikian, tidak sedikit memang sekelompok etnis dan masyarakat masih dalam tataran konflik dan perdebatan soal-soal teknis seni tradisi---belum masuk pada ranah mengkonstruksi peradaban baru dan transformasi kebudayaan itu sendiri dalam zaman yang berbeda dan masyarakat yang berbeda pula.
Ini yang ditentang oleh penulis Singapura Kishore Mahbubani bahwa “Can’t Asian Think?” Mahbubani memprovokasi orang-orang Asia untuk menyadari nilai-nilai dan peradaban yang dihadapi diantara serangan kebudayaan dan kepentingan barat dalam jangkauan yang serba luas dan cepat dengan cara berpikir. Saya rasa soal Kongres Budaya Banjar, tentunya bagian dari mampukan Orang Banjar berpikir diantara problem pembangunan, sosial dan kebudaayaan lokal, bukan sekadar masih dalam tataran mengkonstruksi aktifitas seni budaya.” Kada gagampangan”.(idabul, 5 April 2010)
No comments:
Post a Comment