Oleh: Taufik Arbain
“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…..…” - Soe Hok Gie, Zaman Peralihan
Teks akhir puisi Soe menarik jika ditambah ,….bukan beserta para petualang…jika dihubungkan dengan ramainya kasus Andi Nurpati yang tiba-tiba direkrut menjadi pengurus DPP Partai Demokrat hingga menyentakkan banyak pihak khususnya elit politik, sekalipun tidak sesentak kasus video porno Aril-Luna-Tary.
Multi tafsir pun bertebaran. Tidak ada yang salah kenapa AN memilih mengiyakan menjadi anggota pengurus DPP Partai Demokrat. Yang muncul karena boleh jadi dugaan kemenangan Partai Demokrat dan atau SBY ada kaitannya dengan “main matanya” AN dengan pentolan Partai Demokrat, sehingga partai kalah atau pentolan tim sukses capres kalah menjadikan tafsir itu sebagai pembenar kekalahannya.
Namun demikian, jika melihat tafsir lain bisa jadi Anas Urbaningrum yang menjadi rival Andi Malaranggeng pada saat pemilihan Ketum PD, hanyalah sebagai politik akomodatif kelompok Sulawesi (Bugis) dalam pentas politik nasional, asal bukan AM.
Lalu apa kaitannya Petulang Politik dengan Andi Nurpati? Tidak ada hubungannya sama sekali, karena AN bukanlah figur yang berlatar belakang politisi dari partai tertentu kemudian katuju baluluncatan. Tetapi pertanyaannya adalah mengapa AN “kagatalan” memilih menjadi politisi dibandingkan menjadi “wasit “ aktifitas para politisi dalam mengejar kekuasaan, lebih-lebih belum habis masa jabatannya. Padahal etika keorganisasian dalam menjaring rekruitmen anggota KPU yang dilakukan oleh anggota Parlemen waktu itu salah satunya adalah akuntabilitas dan responsibility seseorang integritas seseorang. Inilah yang disayangkan banyak pihak, bahwa rekruitmen anggota KPU atau KPUD sekalipun haruslah memiliki kesanggupan hingga masa akhir jabatan sehingga tidak mengundang tafsir politik yang kontraproduktif.
Lalu apakah fenomena mirip dengan kasus AN ini berlaku di banua? Minggu lalu seorang teman berkomentar dalam sebuah perjalanan menuju Bali, bahwa kasus AN sebenarnya sudah berlaku di Kalsel. Malah ‘godaan kagatalan” tidak tanggung-tanggung. Tahun 2005 jadi calon Hubnor wal ai! Bahkan tahun 2010 tadi jadi calon Wakil Walikota wal ai!
Tidak salah memang jika pengamat politik bahkan masyarakat awam sekalipun menafsirkan bahwa pilihan menjadi politisi sangat kecil persentasenya (jika dilakukan survey) didasarkan pada tujuan penguatan politik rakyat, atau memperbaiki system politik dan kekuasaan apalagi menyalurkan aspirasi rakyat. Tetapi merupakan pilihan profesi. Definisi profesi adalah professional sebuah pilihan pekerjaan yang mendapatkan honor (bayaran) dari jasa apa pun aktifitas yang dilakukannya. Meminjam istilah teman saya tadi….uncui jua!
Memang hak setiap warga Negara melakukan pilihan apapun dalam profesi, tetapi perilaku yang menafikan dan seakan menyepelekan fungsi dan tugas mulia di tengah jalan adalah sesuatu yang cenderung menjadi preseden buruk dalam perkembangan keorganisasian publik dan system politik bangsa ini. Etika politik dan kepatutan sosial seyogyanya menjadi landasan, sehingga tidak harus di tengah jalan. Akan berbeda jika pilihan dilakukan pasca bertugas baik tidak berminat lagi atau memang meneruskan karier baru di ranah politik.
Niatan yang tidak bulat ini sebenarnya baik menjadi catatan penting bagi tim penjaringan anggota KPU termasuk KPUD di banua ini. Rasa tanggungjawab sampai kaputing harus menjadi pilar utama dalam menjalan fungsi-fungsi yang “rawan” menimbulkan tafsir politik. Meskipun kita sadari bahwa perilaku seperti petualang ini justru parahnya dilakukan oleh para politisi tulen yang baluluncatan dari partai yang satu ke ormas yang mungkin akan menjadi partai baru.
Bahayanya kelompok petualang ini, kecenderungan mementingkan dirinya sendiri untuk survive dan duit, masa bodoh dengan kepentingan rakyat. Salah satu aktifitas para petualang adalah keberanian memobilisasi massa, memprovokasi publik yang jika dicermati tidak lebih dari kepentingan pribadinya bukan partai atau rakyat. Bahkan terkadang bisa juga dengan pendekatan ‘senyap dan cool. Parahnya, banyak orang lokal non partai berharap bisa menjadi pengurus partai pada partai yang baru, tetapi tiba-tiba menyatakan kada jadi karena saat deklarasi lagi-lagi bertemu muka lama dari mantan pentolan partai tertentu.
Kata teman biasanya godaan kagatalan menjadi petualang itu datang saat berlangsung atau saat kekalahan dan Banua selalu terdepan dalam berkelakuan! (idabul, 28 Juni 2010)
No comments:
Post a Comment