Oleh: Taufik Arbain
Sarang burung walet semula hanya dikenal campuran makanan seperti es burung walet yang biasanya dijual di kawasan veteran/pacinan Banjarmasin, karena khasiatnya yang luar biasa sehingga diminati banyak orang sekalipun mahal. Tapi itu dulu! Sekarang sarang burung walet justru menjadi barang dagangan ekspor sehingga keberadaan sarang burung walet lebih diutamakan untuk bisnis ekspor yang keuntungannya lebih menjanjikan. Apalagi jaringan bisnis ini memang terstruktur baik dan memudahkan bagi pemilik bisnis dalam menjual hasilnya.
Tidak heranlah jika banyak kawasan terbuka yang bangunan yang tinggi menjadi tempat untuk mengembangkan bisnis sarang burung walet, bahkan tempat pemukiman pun jika ukurannya tingginya memadai dan mampu mengundang kehadiran burung walet, maka dijadikanlah sebagai sarang burung walet.
Pemerintah Kota nampaknya membiarkan kehadiran bisnis burung walet ini tanpa memanfaatkan sebagai sarana untuk menjadi sumber pendapatan pemerintah Kota. Kalau pun ada hanyalah berupa retribusi yang tidak lebih sama pungutannya seperti retribusi yang pungut dari usaha kecil seperti Pedagang Kaki Lima(PKL) jika dikalkulasi pertahun. Anehnya lagi retribusi ini pun seakan sebatas pengguguran kewajiban sebagai “hadirnya Negara/pemerintah” kepada public pebisnis.
Saya agak heran dengan pernyataan salah seorang pejabat Pemko yang mengatakan bahwa Pemkot tidak bisa membuat perda berkaitan dengan bisnis sarang burung walet karena bisnis ini tertutup, kesulitan pemungutan karena pemiliknya sering tidak ada. Jadi hanya bisa lewat retribusi saja.
Saya kira ini pernyataan pasrah seorang pejabat setingkat Kepala Dinas yang tidak memiliki kemampuan inovasi dan kreatifitas apa-apa. Justru pernyataan ini menjadi kecurigaan banyak pihak dimana diduga para pejabat ada “main mata” dengan para pebisnis sarang burung walet di perkotaan agar tidak menginisiatifi adanya perda berkaitan dengan keberadaan bisnis walet di perkotaan dan pungutan pajak hanya karena alasan tersebut.
Kalau dilogikakan, bahwa bisnis burung walet adalah bisnis yang memberikan keuntungan besar tetapi tidak berdampak besar terhadap perbaikan ekonomi sosial masyarakat lebih luas. Kenapa? Bisnis ini hanya milik orang yang bermodal besar seperti memiliki banguan ruko berlantai tinggi dan peralatan/perlengkapan yang mahal, namun tidak memberikan andil besar terhadap penyerapan tenaga kerja yang sekarang ini semakin meningkat. Selain itu, factor kebisingan pun relative mengganggu bagi masyarakat sekitar, sekalipun terkadang pebisnis yang arif sangat pandai memberikan fee bulanan kepada penduduk sekitar atas keuntungan usahanya.
Saya ingin katakana bahwa fakta demikian tidak bisa dibiarkan secara terus menerus, sekalipun ada pemberian fee kepada masyarakat, namun cara demikian bukanlah cara yang cerdas namun justru bagian dari konpensasi “mengamankan” usaha, dimana hipotesanya jika masyarakat sekitar tidak diberi fee, maka masyarakat cenderung mengamuk dan menolak. Tetapi jika diberi fee maka masyarakat akan diam.
Lalu apa bedanya menempatkan masyarakat sekitar yang baik-baik dengan preman dan pemeras! Sebuah situasi dengan sengaja mengiring masyarakat menjadi kelompok itu secara sistemik dan senyap. Efek sosial inilah yang saya maksudkan jangan sampai menjadi pembenar bagi kelompok pemodal untuk menjinakkan masyarakat atas status qou usahanya, termasuk tidak memberikan manfaat dengan bagi pemerintah.
Sederhana saja berpikirnya, bahwa jika pemko menerapkan perda atas usaha mereka maka akan meningkatkan PAD Kota. BUkankah tingginya PAD kota jika dikelola dengan baik akan berpulang kepada masyarakat lewat kebijakan pembangunan? Inilah cara yang terbaik dalam memberikan solusi pembangunan kepada masyarakat dan menempatkan masyarakat tetap menjadi orang yang beradab. Saya ingin masyarakat kita jangan diperlakukan seperti orang tidak beradab sekalipun bungkusnya seperti sebuah kedermawanan, sebuah contoh yang dilakukan oleh pengusaha batu bara dengan sebutan “uang debu”, padahal secara kesehatan masyarakat menerika virus penyakit secara perlahan menuju kematian dan kerusakan jaringan otak janin bagi ibu hamil.
Jadi saya kira, pemerintah kota dan anggota DPRD kota haruslah kembali meninjau keberadaan bisnis sarang burung walet untuk meningkatkan PAD lewat perda, bukan sekadar retribusi yang terkesan incaan, apalagi IMB yang semula dalam isinya untuk gudang atau keperluan usaha lainnya, justru dijadikan sebagai tempat sarang burung walet. Pertanyaannya adalah kada melihatkah mata hati?(idabul , 21 Juni 2010)
No comments:
Post a Comment