Mati anak ada pusaranya,
Mati adat kemana hendak mencari
(Sultan Iskandar Muda, Atjeh)
Pengantar
Saya ingin katakan bahwa hari ini bisa disebut sebagai sejarah pembentukan gagasan dalam konteks penguatan adat Banjar. Kenapa? Jika selama ini penguatan dan pelestarian kebudayaan (adat Banjar) hanyalah dikonstruksi oleh tiga pilar yakni, pertama nilai-nilai atau adat itu sendiri yang masih resisten di masyarakat, kedua, Islam sebagai agama bagian yang tak terpisahkan dari dinamisasi adat dan ketiga adalah intervensi pemerintah dalam melestarikan kebudayaan/adat itu sendiri, sekalipun terkadang hanyalah sebagai sebuah proyek dan prosedural dari otoritas dinas tertentu.
Lalu sekarang adalah pilar yang keempat dengan hadirnya institusi kekerabatan Sultan Banjar sebagai cikal bakal pemangku adat Banjar yang representative dan memiliki nilai historis dan berkharisma. Saya kira ini sebagai bagian dari jawaban atas “kegelisahan budaya/adat” bagi kalangan seniman dan budayawan serta masyarakat jika mengatakan bahwa kebudayaan Banjar mengalami situasi yang tidak menguntungkan sebagaimana kebudayaan dan adat dari komunitas etnis lain.
Kegelisahan adat Banjar akan ditelan bumi dari serbuan penetrasi kebudayaan Barat termasuk hegemonik kebudayaan etnis mayoritas yang ditransformasikan lewat kekuasaan politik dan kekuasaan dominasi akses media, menjadikan berbagai dakwaan kesalahan menjurus liar kemana-mana, tak terkecuali kepada pemerintah daerah yang selama ini dianggap kurang apresiatif terhadap nilai-nilai kebudayaan dalam konstruksi bangunan, pagelaran seni dan penguatan transformasi pada sistem sosial di masyarakat. Sebab selama ini kehadiran birokrasi pemerintah dalam konteks mengembangkan kebudayaan hanyalah sekadar pemenuhan kewajiban otoritas yang dimiliki, belum dimaknai sebagai bagian dari politik identitas kultural sebuah daerah.
Catatan Tantangan Panjang Adat Banjar
Pasca reformasi melahirkan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 setidaknya merupakan babak baru came back-nya penguatan nilai-nilai budaya lokal. Tidak mengherankan sebutan-sebutan dan pengistilahan yang dulu asing bagi masyarakat lokal digantikan dengan istilah dan sebutan termasuk konstruksi simbolik yang lekat dengan masyarakat lokal, khususnya di luar Jawa-Bali. Kemudian Peraturan Kementrian Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 tentang pedoman pelestarian dan Pengembagan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat sangat memberikan ruang bagi masyarakat dan pemerintah untuk mentransformasikan dalam bentuk kegiatan pengembangan dan pelembagaan nilai-nilai adat lokal sebagai bagian dari khasanah kebudayaan nasional.
Efek sentralisasi masa lalu dengan konsep keseragaman misalnya, menjadikan selama ini kerja-kerja adat dan budaya hanyalah sekadar bentuk ekspresi pagelaran tarian, nyanyian dan khasanah lainnya yang tidak bersentuhan langsung dengan ranah politik identitas dan penguatan sistem sosial masyarakat, kecuali sebagai hiburan semata maupun pelengkap seremonial yang minim nilai-nilai yang bersifat luas menjadi tatanan sosial (Arbain, 2010). Tidaklah mengherankan sampai ada anekdot mengatakan,’ jika engkau ingin melihat adat Banjar, hanya ada di acara resepsi perkawinan semata. Itupun di kampung!”.
Anekdot ini merupakan bentuk kekhawatiran, bahwa adat Banjar barangkali adanya hanya ada dalam bingkai-bingkai gambar, keris pusaka yang berkarat, tunggul ulin yang lapuk, pantun- berpantun, hadrah atau ingatan para tetuha yang mendekati azal atau sekadar pada mantra tatamba saja sebagaimana juga kondisi “tak berbekasnya” istana kesultanan Banjar yang dibakar oleh Belanda karena sebuah perlawanan harga diri anak negeri.
Faktanya sekarang, kebudayaan dan adat Banjar nyaris berdiri sendiri dengan segala keliaran konsep yang dikumpulkan dari sisa-sisa ingatan dan pengetahuan dan kajian para intelektual budaya (budayawan), termasuk soal tidak selesainya perjumpaan antara adat dan Islam sebagaimana pada transformasi budaya minang adat bersendikan sara, sara bersendikan kitabullah. Sayangnya hasil kajian-kajian hanya mampu bergerak pada tataran konsep saja, ianya masih minim ditransformasikan oleh masyarakat penyokong adat itu sendiri dan seperangkat alat-alat kebijakan pemerintah yang memiliki kekuatan mengikat kepada masyarakat, karena kebudayaan Banjar itu sendiri hanya dikonstruksi oleh tiga pilar saja yakni, nilai-nilai itu sendiri, kegiatan keislaman(kadang Islam vis a vis adat) dan intervensi pemerintah.
Nah, belajar dari dari resistensinya adat budaya etnis lain justru kehadiran ranah istana(keraton) sebagai sental kebudayaan menginspirasi dan menghidupi nilai-nilai yang ada di masyarakat penyokong adat itu sendiri. Masyarakat Jawa, Bali dan Melayu, Brunei dan Semenanjung Malaya misalnya, selain ketiga pilar penyokong sebagaimana terjadi pada kebudayaan/adat banjar, kehadiran keraton/istana sebagai bagian yang memperkuat dan resistensinya adat. Sekalipun istana bukanlah satu-satunya faktor determinan, tetapi di banyak Negara-negara berkembang di dunia yang masih memiliki keraton/ istana dan kerajaan, justru adat dan budaya relatif lebih resisten dibandingkan dengan daerah/komunal/entitas etnis yang tidak memiliki istana dan keraton. Kalau pun masih resisten, kehadirannya tidak lebih dari sekadar bagian seremonial dan pagelaran jingkrak-jingkrak sebagaimana kasus pada adat Papua dan Dayak sembari diikuti menurunnya pelestarian nilai-nilai adat dalam system sosial kemasyarakatan.
Catatan Strategis
Saya meyakini akan ada pihak yang mempersoalkan bahwa kehadiran institusi Kekerabatan Sultan ini sama halnya dengan menghidupkan primordialime dan feodalisme. Saya kira pandangan feodalisme dengan perspektif masa lampau terlalu berlebihan. Justru zaman telah memberikan makna dan tafsir berkembang atas makna primordialisme dan feodalisme itu sendiri. Dengan bahasa lain, tidak akan mungkin ada situasi sembah-menyembah sebagaimana kondisi masa lampau, justru zaman memberikan pemaknaan atas zamannya sendiri dengan apa yang disebut kapatutan sosial. Justru nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam konteks memangku adat menjadi penting sebagai pijakan hidup sebuah bangsa. Sebagai contoh, tidak ada yang salah dengan bangsa Jepang hingga saat ini yang resisten memangku adat, justru melahirkan sikap bangsa yang maju karena inspirasi dan konstruksi budayanya yang terus diinspirasi oleh istana Kaisar.
Inilah yang dikatakan Mahbubani(2003) dalam pandangan provokatifnya; Can Asian Think? Tesisnya mengungkapkan bahwa Barat lebih maju dibandingkan Timur karena variabel nilai-nilai adat/budaya mampu mengadaptasi dan berdialektik dengan zaman. Jepang dan Cina adalah bangsa di Asia yang mampu resisten mengembangkan nilai-nilai tempatan (lokal) dalam konteks menjawab tantangan zaman (globalisasi).
Jadi saya kira, bahwa fakta Jepang dan Cina sebagaimana tesa Mahbubani menjadikan pijakan berpikir bahwa tidaklah keliru kehadiran Institusi Kekerabatan Sultan (IKS) sebagai sentral pemangkuan adat guna menjemput tantangan zaman. Dalam konteks ini tentu saja, kehadiran IKS tidak sekadar bermain dalam tataran simbolik sebagai tahapan pemangkuan adat, tetapi terus bergerak ke arah subtantif yang membela kepentingan publik/rakyat.
Sebagai contoh konstruksi nilai-nilai budaya seperti “ dalas balangsar dada, dalas hangit, bapuku sapuluh jari”, adalah sebuah semangat yang harus dihembuskan oleh IKS kepada masyarakat dalam memberikan spirit gigih, ulet, percaya diri dan kemandirian dalam berusaha, termasuk juga nilai-nilai kearifan lokal (local ingenius) yang mengajarkan teknologi beradaptasi dengan alam. Atau “tahu di alif bungkuk tandanya urang Banjar,’ sebagai nilai yang menegaskan manusia Banjar selain memiliki pengetahuan umum, tetapi juga dikonstruksi menjadi karakter yang berpengetahuan agama. Kegiatan batamat Quran misalnya merupakan pesan-pesan nilai bahwa orangtua Banjar harus bertanggung jawab atas keagamaan keturunannya. Merujuk tatanan kerajaan masa lalu, sebenarnya nilai-nilai telah dikonstruksi oleh Sultan Adam lewat regulasi kerajaan ( UUSA), “ kusuruhakan orang-orang kampong untuk maulah langgar dimana-mana bagana, dan kusuruhakan jua supaya sumbahayang berjoemaah. Apabila kadada sesiapa nang mengindahkan, padahkan kayah diaku” (Daud, 1997).
Hal yang dikemukakan di atas saya kira sangat penting menjadi agenda kehadiran IKS ini, dimana tidak sekadar menghadirkan kebudayaan material berupa adanya istana Sultan atau pun struktur kelembagaan saja dan symbol-simbol lain. Namun, ianya benar-benar sebagai media representatif dalam memangku adat yang selama ini masih dirasakan belum maksimal dilakukan para seniman , budayawan dan pemerintah. Justru pilar-pilar kelembagaan yang saling menopang ini, saya rasa pemangkuan adat Banjar akan menunjukkan wujudnya bukan sebaliknya terjadi paradok budaya sehingga bisa resisten sebagaimana adat Jawa, Melayu dan Bali hingga saat ini.
Tidaklah keliru jika gerakan pemangkuan adat yang subtantif diawali dengan tahapan simbolik. Karena banyak teori mengatakan justru pendekatan awal simboliklah yang paling efektif untuk memungkinkan menjadi subtantif (system of meaning) dimana sebuah symbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan nilai menjadi pengetahuan hingga prilaku (Geertz, 1973). Tahapan simbolik paling tidak awal mencoba menggerakkan partisipasi masyarakat sebagai bagian dari penyokong adat/budaya itu sendiri.
Penutup
Dimana pun Negara-negara di dunia, resistensi adat tidak bisa melepaskan dengan relasi pemangku adat atau istana kerajaan. Demikian pula dengan Kebudayaan /adat Banjar tidak bisa melepaskan dari relasi dengan istana kesultanan Banjar itu sendiri. Kehadiran IKS tentu saja diharapkan menerapkan nilai-nilai pemangkuan adat sampai titik darah penghabisan dan sebagai public accountability dan God Accountability dalam setiap tanggung jawab yang diembannya. Dan kehadiran IKS harus dimaknai sebagai social capital untuk berinvestasi mewujudkan lestarinya adat Banjar. Wallahualam bissawab.
Pagi Sabtu, 24 Juli 2010.(disampaikan pada Musyawarah Adat Lembaga Kekerabatan dan Kesultanan banjar)Hotel Arum Banjarmasin 24 Juli 2010
No comments:
Post a Comment