Saturday, July 24, 2010

Pelonco SMA

Oleh: Taufik Arbain
Dalam suatu kesempatan menjelang magrib saya mengisi BBM di SPUB, saat petugas mengisi BBM tiba-tiba dia mendapat telepon dari seseorang yang ternyata adalah anaknya. ..” Ya nak, nanti papah carikan malam habis papah kerja. 10 biji ya tutup botol Sprite-nya?” demikian sang ayah mengakhiri telepon.
Peristiwa yang sekilas saya dapati membuat saya penasaran dan dengan santai sambil menanyakan maksud dan keperluan 10 biji tutup botol Sprite tersebut.
Sang petugas mengatakan bahwa untuk keperluan anaknya mengikuti MOS (masa orientasi Siswa) di salah satu SMA. Bahkan dia mengeluhkan tiap hari selalu saja ada keperluan yang susah dicari dan ujung-unjungnya harus membeli yang otomatis mengeluarkan duit.
Ingatan saya langsung saja ke tahun 1993 ketika saya memasuki kampus FISIP Unlam yang saya rasa tidak jauh berbeda melakukan opspek atau perpeloncoan buat mahasiswa baru, dan di SMA buat siswa baru yang dikomunikasikan sebagai pembekalan siswa.
Saya kira tidaklah keliru melaksanakan apa yang disebut dengan MOS ketika orientasinya untuk mengenalkan siswa dengan sekolahnya dengan multi pendekatan baik di ruang kelas maupun di luar ruang dan dengan pola yang menarik. Termasuk kegiatan tersebut memberikan ruang dan mimbar bagi siswa mengekspresikan dirinya dan pembentukan mental berani dan kritis.
Tetapi sayangnya, justru yang paling dominan adalah sikap arogansi panitia dari para senior yang terkadang membuat aturan tanpa dasar yang matang dan diselesaikan dengan “kesepakatan “ bersama yang lemah konsep dan pertimbangan. Jawaban ini mirip seperti jawaban para Kepala Sekolah ketika memungut biaya sekolah yang mahal tanpa melihat aspek bagaimana orang miskin bisa bersekolah. Tetapi jawaban “ berdasarkan kesepakatan komite sekolah” yang terdiri atas orang tua siswa.
Perilaku yang agak aneh justru menjadi tontonan yang tidak mengandung unsur edukasi sebagaimana selalu didengung-dengungkan untuk membentuk mental siswa. Padahal yang terjadi justru terbentuknya mental buruk dan menjadikan siswa tak berkarakter baik, dimana yang paling sederhana adalah “mengulang kembali “ kegiatan dengan pola yang sama buruknya.
Saya berkeyakinan “kebablasannya” para siswa senior dan diamini oleh guru Pembina dalam membuat aturan dan kewajiban ini, para orang tua sangat sedih dan tidak berani melakukan protes karena ujung-ujungnya kalau anaknya malah jadi “bulan-bulanan” senior atau dikeluarkan.
Justru dikhawatirkan dengan adanya arahan dari Dinas Pendidikan ini, malah tidak dilakukan pengawasan bagaimana pelaksanaan dan terkesan menjadi “ajang barami-ramian” siswa senior. Atau jangan-jangan Dinas sendiri tidak membuat aturan yang jelas dan batasan-batasan tertentu, bahwa apa benar tujuan orientasi untuk mengenalkan lingkungan sekolah itu juga berimplikasi pada pembentukan mental?
Parahnya adalah sebagaimana telepon dari anak sang petugas SPBU yang mana melucuti uang penduduk miskin yang mau memintarkan anaknya, padahal mereka dihadapkan pada pembayaran sumbangan yang mencapai 3 – 5 juta rupiah. Adakah cara yang lebih cerdas meminta siswa baru tanpa harus mencari tutup botol Sprite yang bila tidak ditemukan dipastikan orangtuanya harus merogoh kocek sebanyak 10 botol Sprite? Siapa yang meminum 10 botol itu? Siapa pula yang diuntungkan kecuali para pemodal besar perusahaan Sprite? Bukan kelompok usaha kecil seandainya disuruh membawa sebungus tapai, tahu dan tempe?
Saya kira model kebodohan seperti ini harus dihentikan kalau memang mau membentuk karakter siswa yang tanggap dan pro terhadap lingkungan sekitarnya yang masih banyak orang sulit makan, bayar berobat dan sulit sekolah! Pendekatan pembentukan karakter yang memahami seperti ini jauh sebagai pendekatan edukasi, bukan menyuruh siswa setiap hari MOS membeli barang-barang aneh yang tidak membawa manfaat dan menguras sesuap dan dua suap nasi orang susah untuk makan lebih bergizi hingga pintar.
Suara petugas SPBU membuat saya terasa perih hingga pulang ke rumah. Senantiasa saya telepon Ketua BEM Unlam agar menghindari model kebodohoan yang baru saja saya saksikan agar jangan sampai terjadi pada mahasiswa baru Unlam. Saya katakan kegiatan Orientasi Mahasiswa yang utama adalah pembentukan karakter yang kritis dan responsibility terhadap sekitarnya, dan tidak semua mereka yang ingin mengangkat harkat martabat diri dan keluarganya orang yang berduit, tetapi lebih dari 60 % adalah orang-orang miskin yang menjadi perhatian dan perlindungan pemerintah termasuk insan perguruan tinggi.(idabul, 19 Juli 2010)

1 comment:

Ilham Pandu said...

Sepakat Mas, Sebenarnya dititik inilah (MOS/OSPEK) kita bisa melihat dengan nyata bagaimana lingkar kekerasan masih berlangsung dalam institusi pendidikan. Seharusnya agenda semacam ini tidak hanya di prioritaskan agar para siswa dan mahasiswa dapat mengenal kampusnya. Tapi juga memahami konsep intelektual dalam posisinya di masyarakat kita. Dan juga harus ditempatkan dalam posisi yang "bersih" dari kepentingan korporasi manapun.Salam kenal.