Sunday, September 5, 2010

Parcel Untuk Bos

Oleh: Taufik Arbain
Namanya parcel memang lebih dikenal menjelang lebaran. Karena ianya merupakan instrument kontruksi sosial dalam hal baik berbaik dengan pejabat, atasan-bawahan, kerabat maupun orang tak mampu. Lebih jauh bahkan parcel memiliki makna yang lebih spesifik sebagai “ instrument penggoda” hati pimpinan bagi bawahan. Dan atau penggoda “pengambil keputusan bagi pebisnis”.

Jadi sebenarnya sangat jarang pemaknaan parcel itu sebagai instrument bingkisan “penggoda atasan kepada bawahan”. Disinilah kemudian makhluk parcel yang semula sebagai konstruksei paket bingkisan semata menjadi bias dan pemaknaan negative karena perkembangan peruntukkan yang cenderung meluas khususnya dalam hubungan antara atasan dan bawahan pada institusi public Negara (birokrasi) demikian pula pebisnis kepada birokrasi.
Tidaklah mengherankan akhirnya parcel menjadi sorotan dan bahkan salah satu item yang mendapat perhatian prioritas oleh KPK (komisi Pemberatansan Korupsi) karena dianggap sebagai pintu masuk terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Hari Raya Lebaran adalah timing/jadwal, sedangkan parcel adalah material. Penyatuan antara ketepatan waktu dan material menjadi ajang transaksi berbaik-baik dalam semu. Bagaimana bisa pebisnis A memberikan parcel dengan nilai rupiah yang wah kepada pejabat A. Bahkan tujuan parcel dianggap sebagai bentuk ungkapan “terima kasih:” yang dikelabui kesannya di hari Lebaran. Atau ungkapan agar pejabat A mengingat kepada pebisnis B, dimana pasca lebaran dalam pertemuan loby proyek tidak perlu lagi memulainya dari 0, karena sudah diberikan “ungkapan pengingat” lewat instrument parcel di hari raya.
Inilah akhirnya mengapa “material parcel” menjadi hal urgen dalam pengelolaan Negara khususnya bagian dari kewenangan KPK dalam mengurusinya. Karena memang, terkadang pejabat sangatlah senang apabila mendapatkan berbagai parcel, bahkan menjadi kebanggaan hingga mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Sebab instrument “parcel” yang disalahgunakan sebagaimana banyak kasus momentum lebaran adalah bahasa “halus” dalam sogok menyogok yang setara dengan kegiatan gratifikasi. Nonsen, jika asal terima parcel, tanpa ada suara hati untuk melakukan upaya balas budi atas pemberian parcel.

Dalam Undang-Undang disebutkan bahwa pejabat dilarang menerima pemberian/hadiah/gratifikasi dalam bentuk apa pun termasuk parcel karena dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Hadiah yang termasuk dalam bentuk gratifikasi yaitu, berupa paket lebaran seperti, parsel dengan ukuran Rp300 hingga Rp400 ribu lebih. Apabila menerima lebih dari angka tersebut maka diwajibkan melapor. Pertanyaannya, jangan-jangan pembuat parcel menaruh nilai yang tidak terkena kategori gratifikasi tetapi dibuat menurut ragam pengirim parcel dalam group yang sama.Dan siapa pula yang mau melapor?
Jadi sebenarnya hari raya raya Lebaran memang dijadikan sebagai sarana “penyuapan dan pengingatan” kepada para pejabat public pengambil keputusan strategis oleh bawahan atau pebisnis yang punya kepentingan besar. Anehnya sangat jarang pejabat sendiri memberikan parcel dari duit pribadinya kepada bawahan /pegawai rendahan di lingkungan kerja (skop kecilnya) untuk bergembira dengan keluarga. Kalau pun ada terkadang memanfaatkan keuangan Negara, atau kas non budgeter yang dibuat atas nama THR baik dalam bentuk parcel maupun uang THR.
Namun parahnya lagi, justru bawahan sangat tahu bahwa institusi tempat ia bekerja sangat banyak mengumpulkan keuntungan baik dari fee apa saja, dana lebih kepanitiaan, atau sumbangan dari pihak ketiga yang dikategorikan dana non budgeter dan non pajak, justru pimpinan tidak juga memberikan THR atau parcel buat bergembira di hari raya. Kalau pun ada justru dari anggaran lain yang dikesankan sangat kecil sehingga pembagian kepada bawahan pun “tidak menggembirakan”. Jar urang Barabai, “bos handak kanyang surangan”, bawahan satahunan puntang panting dieksploitasi jadi pengumpul duit.
Hal yang berbeda dengan lembaga swasta yang diwajibkan oleh pemerintah untuk menyediakan THR atau parcel dan bingkisan apapun bagi karyawannya atau mitra kerjanya sebagai ungkapan berbagi kegembiraan. Kalau parcel jenis ini, tidak ada motif untuk melakukan “penggodaan” justru motif untuk memotivasin produktifitas. Sesuatu yang berbeda perspektif dengan parcel ala peruntukkan pejabat.(Idabul, 6 september 2010)

No comments: