Sunday, September 19, 2010

Sekretaris Daerah

Oleh: Taufik Arbain
Sekitar 4 hari yang lalu seorang jurnalis salah satu harian di daerah ini menelpon saya untuk meminta komentar berkaitan dengan pemilihan sekda salah satu kab/kota. Ia menanyakan bagaimana proses dan mekanisme serta dampak politis dan kepentingan daerah. Bahkan ia mengatakan bahwa sang Sekda sepertinya sudah dipatok si A, padahal harus mengusulkan 3 orang kepada Gubernur.

Saya katakan, bahwa jabatan sekda adalah jabatan karier seseorang di birokrasi sesuai dengan kepangkatan dan mekanisme yang telah diatur dalam regulasi pemerintahan dimana salah satu fungsi dan otoritasnya memberikan pembinaan terhadap perangkat daerah. Jika seseorang yang menempati posisi sekda, setidaknya ia tidak sekadar sesuai dengan kepangkatan, syarat administratif dan kapabilitasnya dalam mesin birokrasi, tetapi ia harus mampu menterjemahkan visi dan misi pasangan Kepala Daerah sewaktu melakukan kampanye pemilu kada. Lebih dari itu manajemen pemerintahan tidak lagi berbasis politik tetapi kearah manajemen teknokrasi sebagaimana substansi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Kemampuan menterjemahkan dan kapabilitas yang dimiliki seorang sekda sekarang bukanlah sekadar procedural administratif belaka, tetapi juga mampu “menjagai”/mengingatkan kalau-kalau kebijakan dan kebijaksaan sang pimpinan cenderung “menyimpang sakahandak hati”.
Lalu bagaimana jika sang Kepala Daerah mematok nama seseorang dan dikomunikasikan kepada publik? Saya katakan sah-sah saja. Tetapi agak kurang beretika dan tidak paham “rasa kenyamanan publik” jika didengung-dengungkan seakan-akan harga mati. Komunikasi dilakukan sang pemimpin seperti ini adalah proses penurunan wibawa pemerintahan. Alasannya, karena tidak bisa menjaga “malu” sebuah institusi terhormat di mata publik hanya soal menempatkan seorang sekretaris daerah berdasarkan mekanisme, regulasi dan kepatutan informasi yang didapat publik.
Kenapa? Ya..kalau regulasi mengatakan orang yang diajukan kepada Gubernur harus 3 orang, kemudian dilakukan fit and proper test (kelayakan dan kepatutan) dan sebagainya, setidaknya tidak memberikan kesan bahwa diluar nama A yang dipatok yakni nama B dan C bukanlah calon “incaan” sebagai pejabat yang dipersaingkan dan diajukan ke Gubernur.
Pertanyaannya, siapa seseorang yang mau harga dirinya dijual sebagai kandidat incaan karena lemahnya pemahaman seorang Kepala Daerah kab/kota soal pemerintahan? Inilah yang saya maksudkan proses pemaluan institusi pemerintahan di hadapan publik telah terjadi dan hal ini kontraproduktif dengan paradigma good government dan good governance.
Jadi sebenarnya soal “kahandakan banar” terhadap calon si A menjadi Sekda kab/kota oleh Sang Kepala Daerah, bisa saja dilakukan dengan acara yang elegan dan bijak tanpa harus ada proses “incaan” dan pemaluan institusi pemerintahan di hadapan publik hanya karena politik akomodatifkah, balas jasakah atau karena memiliki kapabilitas; yakni dengan cara tanpa harus memastikan nama A sebelum dilakukan proses/procedural sebagaimana mekanisme yang ditetapkan.
Sebagai seorang akademis yang turut bertanggungjawab atas kepentingan publik, harapan kita institusi pemerintahan di daerah ini, ibarat orang kuliah tidak melulu mengurusi Bab I saja, jika sesudah bertahun-tahun, melangkah lah kita ke bab-bab berikutnya yang lebih maju dan progresif. Salam.(idabul 20 sep 2010)

No comments: