Sunday, September 26, 2010

Rumah Dinas Kota

Oleh: Taufik Arbain

Jika kita sering mendengar adanya janda pahlawan atau keluarga besar tentara sering dituntut keluarga paksa dari rumah dinas, maka boleh jadi ribut-ribut soal rumah dinas walikota justru seakan dituntuta “masuk paksa”. Alasannya ? Ya rumah yang dulu dalam proses tahapan pembuatan masa Pak Walikota Almarhum Sofyan Arfan dihentikan oleh Pak Yudi karena alasan terlalu mewah dan memboroskan anggaran dana pembangunan untuk rakyat, maka masa akhir jabatan dibelilah rumah mantan seorang Walikota untuk dijadikan Rumah Dinas /kediaman Walikota,
itu pun tidak sempat ditempati karena Rumah Walikota yang sebelumnya di samping PDAM masih nyaman ditempati. Lagi-lagi rumah dinas walikota yang disiapkan tidaklah memiliki nilai manfaat yang seharusnya telah dianggarakan untuk pembeliannya, padahal cukup “larang harganya”.
Kini giliran Walikota baru Pak Muhidin juga tidak mau menempati rumah dinas yang dibeli masa pemerintahan Pak Yudi, lagi-lagi dengan alasan bahwa anggaran yang digunakan untuk pembelian perabotnya dan renovasi sama besarnya kalau membuat yang baru. Atas dasar pemborosan anggaran daerah, beliau tidak mau menempati rumah dinas dan lebih nyaman dengan “bagana dirumah saurang”. Lagi-lagi diduga “kada tapakai pulang” demikian obrolan pinggiran warga kota di Banjarmasin.
Rumah Dinas dalam pengertian sederhana adalah rumah kediaman yang diberikan atas nama Negara/pemerintah daerah kepada seseorang yang menjabat dalam ikatan kedinasan sebagai imbalan jasa atas loyalitasnya terhadap fungsi dan tugasnya dimana bertujuan untuk memudahkan dalam menjalankan tugas dan fungsi serta kemudahan akses, dimana jika telah berakhir maka dikembalikan kepada Negara/Pemerintah Daerah. Rumah dinas dimaknai juga sebagai symbol eksistensi pejabat atas jabatan yang disandangnya.
Dalam konteks ini rumah dinas/kediaman pejabat haruslah didasarkan banyak hal seperti perencanaan lokasi yang tepat dan kemudahan akses yang memudahkan fungsi dan tugas serta pelayanan informal dengan masyarakat, memiliki estetika karena rumah dinas adalah simbolik dan yang pasti kenyamanan penghuni karena sifatnya konstinu bagi pejabat-pejabat pengganti berikutnya.
Contoh sederhana rumah jabatan Gubernur, dimana sejak lama di”situ-situ saja” dan memiliki estetika serta akses yang mudah dan lokasi strategis. Kata teman saya, kalau semisal rumah dinas gubernur setiap ganti gubernur baganti jua rumah dinas dan lokasinya…kada kaawakan dan kasandangan duit rakyat!”. Inilah yang dimaksudkan bahwa rumah dinas sebenarnya diatur dalam mekanisme birokrasi, bukan ketika menjadi pejabat seakan sekahandaknya untuk menentapkan soal rumah dinas. Sederhananya ya seperti sekretariat dewan yang berfungsi jelas menentukan dimana kursi ketua, dimana kursi anggota dan dimana ruang fraksi, bukan setiap pergantian dewan semaunya minta ruang fraksi di luar lingkungan gedung dewan.
Jadi birokrasi yang memiliki otoritas untuk itu haruslah melewati mekanisme yang tepat dalam hal rumah dinas dan direncanakan berdasarkan mekanisme dan kajian yang tepat, sehingga siapa pun pejabat politis Kepala Daerah yang menjabat tidak ada lagi energy dihabiskan membahas soal “Dimana Bagana” atau atas dasar alasan ini dan itu. Bukankah birokrasi yang memiliki otoritas untuk itu lebih tahu pertimbangan-pertimbangannya?
Di luar soal dimana bagana dari keinginan Walikota sekarang, saya sependapat dengan pikiran beliau bahwa rumah jabatan walikota itu memiliki estetika sebagaimana rumah Raja Banjar masa lalu, yakni menghadap ke sungai, ketimbang pilihan sebelumnya di Jalan Pramuka dan atau di sekitar Lapangan 17 Mei. Kenapa? Boleh jadi ini ingin mengintegrasikan ikon kota sebagai Kota Metropolis Seribu Sungai. Bahkan menurut saya jika rumah dinas menghadap ke sungai, sekalian dengan dermaganya dan kapalnya dimana Pak Walikota bisa melakukan peninjauan warga kota tidak sekadar via jalan darat, tetapi perkampungan kota yang berada di tepi sungai, kalau perlu masuk ke pelosok sungai kecil, jika melakukan turun lapangan. Bukankah hal demikian akan menginspirasi Pro Sungai?
Inilah yang saya maksudkan, seyogyanya pikiran pembelian atau pendirian rumah dinas harus didasarkan oleh estetika dan nuansa budaya lokal, selain soal kepatutas, akses, kenyamanan, keamanan dan strategis, sehingga siapa pun yang menjabat Walikota tidak perlu lagi dilibatkan atau terlibat dalam soal DIMANA BAGANA!.(idabul, 26 September 2010)

No comments: