Sunday, October 3, 2010

Manajemen Mamanda

Oleh: Taufik Arbain
Jika kita pernah mendengar istilah manajemen itu biasa. Atau mendengar istilah Manajemen Ilahiyah dimana harapannya bisa memberikan spirit keagamaan dalam menjalan tugas-tugas pegawai pemerintahan dan masyarakat seperti di Tanah Bumbu juga biasa. Tapi ada yang luar biasa jika muncul di banua ini peristilahan baru Manajemen Mamanda, demikian sebagian masyarakat membuat cap baru atas ulah atau kegiatan yang cenderung berdasarkan perspektif Saka,
yang oleh orang Budayawan disebut dengan Sakahandak.
Lalu apa makna dari mamanda? Tidaklah cukup diungkapkan untuk sebuah buku, demikian ungkapan seorang pecinta kepada kekasihnya. Mamanda sendiri dipahami sebagai sebuah seni pertunjukan teater tradisional yang dimainkan oleh beberapa orang. Dan tokoh-tokoh pemain itu ada mangkubumi dan wazir, dimana sering dipanggil oleh pemeran Raja dengan mamanda (paman) Mangkubumi dan atau mamanda (paman) Wazir, sehingga melekatlah ianya dengan sebutan Mamanda.
Menariknya dalam mamanda ini, sekalipun skrip telah dibuat, tetapi para pemain memiliki ruang kreatifitas yang luas dalam memberikan improvisasi peran dan tingkah laku dalam pertunjukan Hal demikianlah bisa dikatakan Sakahandaknya saja asalkan menarik, lucu dalam rangka memuaskan hati penonton. Nah, karena perilaku sakahandaknya ini dalam tubuh pemerintahan sekarang masyarakat menyebutnya dengan Manajemen Mamanda.
Pandangan – pandangan kritis public ini bisa tercermin dalam bentuk ketidakpatutan melihat kewibawaan sebuah pelaksanaan Hari Jadi sebuah Kota atau kabupaten misalnya. Sebagaimana kebiasaan dalam memperingati Hari Jadi sebagaimana Proklamasi, biasanya bersifat sacral dan formal dimana pidato Kepala Negara berisikan tentang Progresif Pembangunan Negara, Tantangan yang dihadapi maupun langkah-langkah strategis yang diambil sehingga bisa dipahami rakyat kemana arah kemajuan bangsa/Negara mau dibawa untuk turut menumbuhkan partisipasi publik.
Suasana khidmat ini menjadi renungan bersama para petinggi Negara dan rakyat. Setelah itu barulah digelar hiburan-hiburan rakyat bahkan dari berbagai suku bangsa ditampilkan. Nah, setidaknya demikian konsep makro sebuah pelaksanaan Hari Jadi dimana ada pembeda acara formal dan non formal sekalipun masih dalam paket pelaksanaan Hari Jadi dan dibalut dengan atribut kenegaraan. Ya…kalau di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan atribut kebanggan daerah seperti atribut pakaian ala Raja Diraja masa lalu.
Tetapi apa yang terjadi jika atribut Raja Diraja masa lalu membuat lupa para petinggi atau pemakai atribut memainkan peran orang teater pada saat momen formalitas? Lalu dimana konstruksi budaya luhur yang menghargai makna-makna formalitas dan suasana non formalitas? Apakah demikian cara menyandingkan nilai-nilai kebudayaan dengan kegiatan formal pemerintahan? Ataukah kegiatan formalitas pemerintahan ditabrak oleh paham Sakahandak tadi sehingga melepaskan etika pemerintahan dan mekanisme pelaksanan Harjad sebagaimana diatur dalam regulasi juklak dan juknisnya?
Apa yang dilihat rakyat atas tampilan seperti ini? Dimana titik point yang menjadi renungan dan semangat dari masyarakat atas Harjad sebuah Kota/Kabupaten untuk menggapai harapan kemajuan besar? Inilah sebenarnya perhatian kita bersama agar pemerintan menempatkan segala agenda, kebijaksanaan maupu kebijakan yang proporsional demi menjaga wibawa pemerintahan dimata publik, sehingga tidak perlu muncul istilah baru Manajemen Mamanda yang mendasarkan segala sesuatu tidak terukur dan sakahandaknya.
Kalau begini adanya;” Wahai Harapan Pertama dan Harapan Kedua, bukalah pintu lebar-lebar, kiranya diriku handak menghadap kepada Baginda melaporakan apa-apa yang berlaku di negeri ini,Huiii!”.(idabul Mata Banua, 4 Oktober 2010)

No comments: