Sunday, October 31, 2010

Cubitan Politik di Ring Setengah ((Catatan kecil Buku Wisnu: Pak Beye dan Politiknya; Pak Beye dan Istananya)

Oleh: Taufik Arbain

Pengantar
Saya kaget membaca buku ini. Kenapa? Sebagai orang yang berada di Ring 500 (begitu saya menyebutnya) tidak akan banyak memahami sesuatu yang remeh-temeh dan tidak penting berada dibalik politik orang nomor satu di republik ini dalam merebut kekuasaan termasuk mempertahankan kekuasaan. Catatan Mas Wisnu sebenarnya memberikan masukan berarti terhadap perkembangan ilmu politik khususnya strategi pemenangan perebutan kekuasaan dalam versi Indonesia bagi politisi lokal dengan cara gampang dipahami dan futuristik, ketimbang menimba ilmu ke Amerika atau membayar mahal konsultan politik yang belajar banyak dari praktek pemenangan pemilu di Negara-negara maju.


Dalam konteks ini Mas Wisnu justru menawarkan perspektif baru bagi politisi Indonesia yang lagi “mabuk” dalam memahami politik lewat tulisannya “yang tidak penting” ini dengan uraian yang lugas disertai dengan foto yang terkadang fotonya duluan, tulisannya belakangan atau justru sebaliknya. Setidaknya, Mas Wisnu menghantarkan ketidakterpakuan dan statis memahami politik negeri ini dalam sebatas perspektif ; who gets what, when, how.

Ada 2 hal yang menarik dicermati dari catatan Mas Wisnu ini; pertama, buku ini ingin mengabarkan sesuatu dibalik sesuatu berkaitan dengan strategi perebutan kekuasaan lewat cubitan-cubitan genit terhadap tingkah polah politik Pak Beye, ketimbang mengabarkan dalam analisa berat yang tidak berbasis Pak Mayar (symbol koalisi kerakyatan) . Namun demikan tulisan ini sebenarnya menjadi rangkaian menarik saling terintegrasi antar variable yang justru sangat membantu dan menginspirasi dalam mempetakan bagaimana politik SBY “dimainkan”, sekalipun Wisnu hanya sebagai pihak yang berada di luar “badan Demokrat dan underbouwnya”, lewat kegenitan tafsirnya dan jepritan foto pendukungnya.

Saya ingin katakan, siapa yang mengira jilbabnya Andi Nurpati yang anggota KPU bisa dibaca multi tafsir ? Siapa yang mengira keringat Pak Beye berkucuran saat kampanye bisa dimaknai sebagai tafsir “Siap Berkeringat Untuk Rakyat”. Siapa yang mengira bahwa berdos-dos gelas mineral dan baju teluk belanga di pelosok desa sebagai tafsir massif dan sistemik perebutan kekuasaan yang dilakukan Pak Beye? Siapa yang mengira ribuan spanduk yang terpasang dari Tim Pemenangan Demokrat menyatakan TNI, POLRI, PNS dan anak-anak dilarang Kampanye sebagai kamuflase politik? Siapa yang mengira kemenyam Jogja dan Majelis Zikir bisa bergandengan tangan dalam memenangkan pertarungan? Siapa yang mengira menyambangi pembuat tahu dan atau makan siang di warung rakyat sebagai bentuk pencitraan kedekatan pemimpin dengan rakyat. Siapa yang mengira sisa-sisa logistik dan atribut kampanye berlebih sebagai tafsir besarnya suplai dana, kalau tidak ingin menyebut bahwa kekuasaan mahal?......Mas Wisnu sekali lagi menawarkan tafsir-tafsir baru bagi pembaca sesuai dengan orientasinya. Bagi para politisi adalah informasi yang murah untuk diterapkan dalam merebut kekuasaan. Bagi konsultan metode baru dalam mengolah strategi pemenangan. Bagi rakyat biasa…….ya ternyata kekuasaan itu bukan politik biasa.

Tulisan yang menginspirasi ini saya kira mencoba menandingi karya Lionel Zetter dalam The Political Campaigning Handbook; Real life lesson from the front line, untuk sekali lagi menjelaskan pola, taktis, strategi, konstruksi sel-sel/jaringan politik, sel-sel suplai dana tanpa menyebut nama sebagaimana model-model tuduhan yang sering kembangkan terhadap teroris. Strategi memainkan pemangku keagamaan yang selama ini pernah dikembangkan Golkar, PPP dan PKB zaman Gus Dur, dan tetapi tidak massif politik pak Beye. Inilah kemampuan Pak Beye membaca zaman musim “zikir ala Arifin Ilham”, padahal partai yang berhaluan nasionalis.

Kedua, sangat nampak syahwat politik Pak Beye (sekalipun tergantung penafir) yang luar biasa, bahwa pukulan-pukulan dari lawan tidak menyurutkan Pak Beye untuk tetap bertahan di istana. Informasi Mas Wisnu justru menjelaskan adanya model perilaku politik yang combinating dari unit analisis individu aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik pada diri Pak Beye dan timnya. Bahwa Fox Indonesia sebagai penyuplai “jamu syahwat”, mengedepankan politik pencitraan.

Kata, “telah” adalah teks dahsyat yang dikembangkan FI untuk menegaskan pencitraan Pak Beye dari Istana. Giliran penggunaan kata “ akan” maka yang akan melakukan komunikasi kepada rakyat adalah Pak Kalla, apakah akan dinaikan BBM, akan dikonversikan minyak tanah ke Tabung Gas Elbiji termasuk akan meledak. Pak Kalla menjebakkan diri sebagai bumper istana yang keuntungannya diraup Pak Beye. Pilihan kata dan tema oleh Pak Beye untuk menjadikan sebagai tema yang hipnotik guna mempertahankan persepsi atau merubah persepsi lewat BBM telah Turun Ibu-Ibu. Sekali lagi tulisan Mas Wisnu sama saja berujar,..” hati-hati wahai wakil Kepala Daerah dalam memilih teks Akan atau Telah jika ingin melanjutkan kekuasaan”.

Dalam konteks politik pencitraan atas nama istana, misalnya Pak Beye mengedepankan pencitraan populis, bahwa disisi lain Pak Beye berjuang dalam penegakkan HAM dan hukum di Indonesia terutama korupsi, tetapi di sisi lain terjadi pembiaran terhadap kasus-kasus bentrukan pluralism dengan mengikuti tafsir-tafsir kebenaran tirani mayoritas atas kelompok lain. Akhirnya pencitraan model demikian dalam politik Pak Beye justru melahirkan keraguan pihak aparat hukum Kepolisian dalam menindak keberadaan FPI.

Aman, Adil dan Makmur sebagai visi Pak Beye dikembangkan dalam politik pencitraan yang massif untuk menuju pertarungan perebutan kekuasaan kedua. Pak Beye nampaknya meyakini bahwa Negara harus mengedepankan keamanan yang stabil, maka politik pencitraan adalah tidak ada konflik/ketegangan di republik. Pencitraan ini justru ambigu, di masyarakat urban misalnya pendekatan HAM dan toleransi berlaku, namun di daerah yang jauh dari “jangkauan” istana berkaitan dengan investasi sumberdaya alam dan kepentingan ekonomi capital seperti Papua dan Kalimantan justru doktrin NKRI menjadi momok bagi anak bangsa yang lain. “ Lebih baik pulang nyawa, daripada gagal dalam menjalankan fungsi keamanan”, akibatnya tindakan represif menjadi pembenar terhadap anak bangsa yang lain. Inilah saya kira strategi yang terantuk dalam model politik pencitraan Pak Beye.

Pak Beye dan Istananya, menarik melihat hal-hal yang memang sulit bagi orang tahu tentang apa aja kejadian di dalamnya. Paling tidak selama ini dipahami istana merupakan symbol kekuasaan, dan Cium Tangan adalah symbol bakti, sebagaimana dilakukan Ketua Umum PWI. Podium kenegaraan di istana adalah kewibawaan seorang pemimpin negeri, tak luput juga mendapatkan jepritan Wisnu. Saya membayangkan dipastikan banyak orang siapa pun dia akan senang berfoto-foto yang menjadi symbol istana , termasuk di podium kenegaraan. Sangat mungkin pengkabaran-pengkabaran demikian ingin menegaskan perilaku manusia sebagaimana teori Hirarki Kebutuhan, tidak sekadar milik rakyat yang suka foto-foto di sekitar tempat wisata , tetapi juga milik pejabat sekitar istana bahkan pejabat-pejabat daerah termasuk mungkin juga para Kepala Daerah. Akhirnya memang tradisi-tradisi serta peristiwa apa saja yang terjadi, menarik ditiru oleh orang-orang yang mengelola istana-istana di daerah.

Penutup

Mas Wisnu sekalipun sebagai jurnalis istana yang meliput dan menyingkap di sekitar kekuasaan… belum terungkap Mas Wisnu melakukan interaksi perbincangan dengan Pak Beye dari sekian tulisannya di luar tugas kejurnalisannya layaknya orang ring satu Pak Beye. Tentu saja moment seperti ini pasti tidak dilewatkan penulis sekelas Mas Wisnu. Mas Wisnu hanya merekam apa yang dilihat, lontaran kalimat Pak Beye kepada objek kemudian menganalisa, merekamnya dengan foto. Lalu Mas Wisnu berada di ring berapa? Luar biasa, Dahsyat, Yes, Yes Yes.
Banjarmasin, 30 Oktober 2010
Disampaikan dalam Bincang Buku yang difasilitasi oleh Banjarmasin Post

No comments: