Saturday, November 6, 2010

Pegawai Negeri

Oleh: Taufik Arbain
Jumat kemaren dalam bincang-bincang acara Habar Banua TVRI saya diminta memberikan tanggapan berkaitan dengan penerimaan CPNS, baik soal formasi, prajabatan hingga kinerja. Saya katakan menjadi pegawai negeri atau di Malaysia disebut Kaki Tangan Kerajaan ini menggiurkan banyak orang. Dalam hal ini nampaknya pemerintah memainkan perannya mengedepankan asas manfaat sebagai pihak yang harus menyediakan lapangan pekerjaan, disamping memang kebutuhan formasi dalam menjawab kebutuhan dan pelayanan public sebagaimana fungsi dan tugas Negara.

Menjadi “kaki tangan kerajaan” ini, memang sebuah prestisius khususnya untuk Negara-negara berkembang yang masih kuat menganut paham ruralize. Secara sosiologi menjadi pegawai adalah sebuah harapan dan segala-galanya. Ianya merupakan penegasan status sosial di antara masyarakat yang masih menganggap bahwa seorang pegawai negeri adalah pencitraan kesempurnaan penghargaan atas jenjang pendidikan yang diraih, masa bodoh apa yang bisa atau tidak bisa dikerjakan dalam melayani publik sebagai abdi Negara.
Maka tidaklah mengherankan jika pihak penyelenggara atau pihak-pihak yang terkait dengannya membuat ruang terjadinya KKN dalam penerimaan CPNS, sekali pun pemimpin kita berucap,” saya ingatkan jangan main-main atas penerimaan CPNS”. Kata teman saya,”sidin mangingatakan haja lawan buhan penyelenggara, kada menindak!”.
Memang diakui, dalam penerimaan CPNS ini sangat memungkinkan terjadinya “perhirian” dari pegawai honorer, bahwa ruang CPNS ini seakan menghambat kesempatan bagi pegawai honorer untuk bersaing. Dalam logika kompetisi, memang pegawai honorer dan non honorer memasuki ajang berlomba untuk memperebutkan formasi tanpa melihat aspek lama /pernah bekerja, tetapi adalah kemampuan seseorang yang diukur dari tes 1 hari atau sekitar 4-5 jam. Logika dan mekanisme prosedural inilah yang menjadi indikator bagi penyelenggara, sekalipun sering terjadi sebuah keterkejutan dimana tiba-tiba seseorang yang sudah rahasia umum KADA PINTAR, tetapi variable X adalah siapa dan anak serta keluarga siapa. Ini pun sebenarnya juga berlaku saat penempatan sebagian pegawai honorer yang tidak didasarkan kebutuhan, lalu serta merta menklim bahwa mereka yang harus diutamakan.
Ironisnya, ketika antrean orang-orang yang bersungguh-sungguh mengabdikan diri dalam status sebagai “kaki tangan kerajaan”, justru sering ditemui, saat menjadi pegawai honorer rajinnya luar biasa, tetapi ketika sudah menjadi PNS beneran dengan baju HANSIP kebesaran dan gagah-gagahan, KULIRnya juga luar biasa, sembari mengikuti seniornya terdahulu. Hal yang kita sesalkan terkadang berlaku juga pada pegawai-pegawai baru non honorer
Lalu bagaimana pentingnya soal prajabatan? Ya ini, setidaknya masa karantina prajabatan tidak sekadar sebuah prosedural dalam rangkaian penerimaan PNS. Tetapi ianya sebagaimana tujuannya adalah menjadi pembekalan bagi pegawai dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi sebagai pelayan publik dalam pencapaian tujuan Negara. Nah, dalam prajabatan saya kira panitia atau widyaswara tidak terpaku pada materi yang ada, tetapi mencoba melihat secara ke depan tantangan yang dihadapi oleh “kaki tangan kerajaan” tersebut.
Ironisnya, malah seperti paket tahunan jatah mendapatkan tempat untuk memberian materi yang terkadang tidak progresif dan futuristik bagaimana perkembangan keilmuan, tantangan Negara dan publik. Akibatnya peserta prajabatan memaknai tidak lebih sekadar hanya mendapatkan sertifikat tanda bukti mengikuti prajabatan, sehingga sebuah pengguguran kewajiban pembekalan semata.
Jadi sesuatu yang ironis dimana pemerintah bermaksud memberikan bekal kepada CPNS, tetapi sang para PNS (pelaksananya) pun jauh dari nilai-nilai yang dimaksudkan dari tujuan prajabatan. Jar kawan lagi, ini proyek tahunan, tidak perlu berpikir berat materi apa dan bekal apa yang didapat para CPNS yang ikut prajabatan.
Faktanya seperti kita lihat, kinerja para “kaki tangan kerajaan” sangat lemah, anehnya ketika diminta untuk bekerja lebih baik dalam memberikan pelayanan kepada publik, maka yang mengemuka adalah: “adakah uncuinya, adakah kenaikan tunjangan dan sebagainya”, padahal tidak sedikit diantara mereka telah mengikuti proyek penginsafan dengan pendekatan religious agar bisa melayani rakyat dengan baik. Rupanya ESQ pun tidak mampu berubah seorang atau sebagian “kaki tangan Kerajaan” sadar untuk bisa melayani lebih kepada publik sebagaimana “kaki tangan orang ramai” (pegawai swasta). Kata teman lagi..kan ESQ juga sebuah proyek yang sudah menjadi muatan kapitalis. Hah!!(idabul Mata Banua, 8 November 2010)

No comments: