Sunday, October 10, 2010

Surat Kuasa Samsat

Oleh: Taufik Arbain
Seorang teman menunjukkan kegusarannya dan rasa sangkalnya ketika bertemu dengan saya di suatu tempat nongkrong diskusi. Tempat diskusi tersebut sambil minum kopi dan kami sebut dengan WARUNG KOMISI IX. Kegusaran teman ini bermula soal surat kuasa yang diberlakukan pihak Samsat di kota ini dalam pengurusan pajak kendaraan bermotor roda dua.

Sang teman ini bercerita bahwa dia mau membayar pajak tahunan kendaraan bermotor, oleh petugas harus membawa surat kuasa karena kendaraan bermotor tersebut atas nama istrinya. Rupanya teman ini tanpa banyak tanya, langsunglah pulang membuat surat kuasa sebagaimana biasa disertai dengan materai dan tanda tangan sang istri sebagai wujud pemberian kuasa kepada suaminya untuk menguruskan sesuatu.
Teman ini datanglah kembali ke loket dimana ia dimintakan untuk membuat surat kuasa, oleh petugas bahwa pihak Samsat menyediakan surat kuasa resmi yang ada di kios fotocopy. Menujulah ia ke kios yang dimaksud. Sambil menunggu antrian karena ada aktifitas copy mengkopi, rupanya antrean ini juga ingin meminta lembar surat kuasa.
Menunggu sekian lama, terkejutlah ia bahwa surat kuasa dari lembaran fotocopy itu dihargai Rp.5000.-. Ia bertanya kenapa mahal? Kata petugas fotocopy yang berbaju PNS itu, “ mun didalam larang lagi Rp, 8000-an”. Lagi teman bertanya? Kenapa Cuma dimonopoli disini padahal mengantre sangat lama? Jawab sang petugas lagi,” Cuma disini adanya, ulun haja hanya minta cap di dalam sana!”.
Saya mencoba menyimak dengan seksama cerita teman ini dari soal surat kuasa, lembar fotocopy yang kabur, harga Rp.5000,-, hanya ada di satu tempat, lembar dengan cap stempel khusus sebagai penanda menghindari copy tak berizin dan soal antre lama. Pertanyaannya bagaimana bisa ada lembar surat kuasa khusus yang dibuat oleh pihak samsat dengan harga per lembar Rp.5000,an dan tidak berlaku jika surat kuasa dari lembar yang lain?
Bukankah surat kuasa tadi hanya sebagai pelengkap, dimana subtansinya sebagai diberikannya hak kepada seseorang untuk mewakili pihak yang memberikan kuasa? Lebih-lebih mengurus pajak, maantari duit untuk PAD. Mengapa mesti harus dengan lembaran yang bercap, dimana pada prakteknya justru mengaburkan subtansi surat kuasa. Padahal lembaran itu bukanlah form yang kalau ditaksir dicetak khusus tetapi fotocopyan kabur seharga Rp.200,-.
Faktanya setiap orang yang berurusan dengan petugas dan disuruh membeli surat kuasa lalu diisinya dan ditandatanganinya sendiri isi surat kuasa itu dengan tanda tangan palsu sesuai atas nama pada pemilik kendaraan. Lalu lembar surat kuasa versi samsat itu diterima sebagai berkas yang sah dalam pengurusan. Kada perlu pulang mencari tanda tangan pemberi kuasa sebagaimana dilakukan oleh teman saya.
Bukankah ini adalah praktek liar yang memalsukan tanda tangan lewat legitimasi copy lembar surat kuasa untuk memungut uang Rp.5000-an secara tidak sah? Apa benar praktek surat kuasa demikian? Memang tidaklah banyak uang Rp.5000,an tersebut, tetapi bentuk praktek demikian membenarkan adanya pungutan liar yang seakan dilegitimasi dengan pengkaburan membeli lembar surat kuasa.
Praktek ini begitu banyak membuat orang antre hanya selembar kertas yang terkesan monopoly satu tempat sebagai agen yang turut menyuburkan praktek liar ini. Nampaknya pemerintah Provinsi belum mampu melakukan reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang baik dan cepat serta tidak menyuburkan praktek kepalsuan. Padahal spanduk sing ganalan bertulisan: Uruslah sendiri, jangan lewat calo; atau Disini Kawasan Bebas Calo.
Justru yang terjadi malah praktek yang mirip dengan calo dan terselubung menguras uang publik dari selembar kertas copyan surat kuasa versi samsat. Kata teman saya, kalau calo sudah jelas bapadah calo membantu menguruskan untuk memberi makan anak istri, tetapi calo lewat versi ini justru membabat padaringan calo tetapi berkelakuan lebih “hebat” dari calo. Terlalu kata Rhoma Irama. (idabul Mata Banua, 11 Oktober 2010)

No comments: