Sunday, January 9, 2011

Antre SPBU

Oleh: Taufik Arbain
Dalam sebuah perjalanan, saya sering terjebak kemacetan di kota ini, bahkan dibeberapa kawasan di hulusungai. Banyak mengira keterjebakan yang mencapai kadang 500 meter bahkan sampai 1 km disebabkan ada kecelakaaan lalu lintas,
tetapi melihat disisi kiri-kanan penduduk sekitar laluan jalan nampak cuek saja dan biasa melihat merayapnya laluan mobil memberikan tafsir bahwa pemandangan ini adalah sesuatu biasa. Sebab jika ada peristiwa penting lebih-lebih berkaitan kecelakaan lalu lintas cenderung heboh.
Rupanya fenomena merayapnya kendaraan bermotor yang panjang justru disebabkan antrean kendaraan bermotor yang mengisi bahan bakar. Ada pertanyaan penting atas fenomena demikian yang sangat mengganggu kenyamanan dan kelancaran berlalu lintas, bahwa Pertama, apakah pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan di hulu berkaitan dengan stok dan kouta bahan bakar hingga menyebabkan adanya pembengkakan harga di eceran dan seringnya SPBU menampilkan papan pengumuman “PREMIUN, SOLAR HABIS’.
Kedua, apakah pihak kepolisian tidak ada dilibatkan dalam mengatur kemacetan lalu lintas tersebut? Kemudian yang ketiga, apakah kepentingan bisnis pengusaha SPBU telah merambah pada pemanfaatan fasilitas public berupa jalan Negara, tanpa memperdulikan kenyamanan pengendara lain yang tidak membeli bahan bakar?
Saya kira pertanyaan ketiga ini sebenarnya harus menjadi perhatian bersama, ketika konstruksi berpikir kita hanya sebatas pada pertanyaan pertama dan kedua, ketika dua hal itu sebagai persoalan lain yang tidak kalah pentingnya untuk dituntaskan
Saya ingin katakan bahwa pemanfaatan fasilitas publik bagi kenyamanan umum dilakukan oleh pengusaha demi kepentingan bisnis meraup rupiah saya kira adalah tindakan korup yang tidak terasa bagi publik. Kenapa? Ketidaknyaman dalam perjalanan yang berdampak pada ketidakefisienan waktu dan pemborosan bahan bakar adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang prima dengan keberadaan infrastruktur yang diperuntukan untuk public itu sendiri. Justru ada peristiwa yang tidak terasa dimana variable lain seperti pengusaha SPBU yang masa bodoh atas peristiwa kemacetan ini merupakan “perusak pelayanan prima” dari pemerintah kepada public.
Apakah pemerintah harus diam atas kenyataan ini? Tentu saja pemerintah setempat dimana kawasan pelayanan publik di jalan terganggu, harus mengambil tindakan tegas ketika ukuran efektifitas pelayanan publiknya yang bersifat efisien, efektif, responsive, responsibility dan akuntabilitas diganggu oleh sekelompok pengusaha SPBU yang mementingkan dirinya dalam mengeruk keuntungan publik.
Justru pemerintah harus mencarikan solusi baik berupa hadirnya aparat dibawah otoritasnya yang memastikan tidak ada kemacetan sebagai masalah yang justru lebih urgen menyangkut hajat orang banyak, bukan hajat pembeli bahan bakar, bukan membiarkan meluasnya atau melubernya lahan bisnis pemilik SPBU secara elegal menggunakan jalan Negara/publik.
Sekali lagi ini dalam perspektif hukum ini merupakan tindakan melanggar Hak asasi manusia berkaitan dengan kepentingan hak-hak publik dan mengarah pada tindakan korup. Dalam konteks ini tidak sekadar pihak pemerintah yang harus memperhatikan soal kenyamanan publik, tetapi pihak Pertamina sebagai BUMN harus memberikan penegasan soal etika berbisnis, yang tentu saja turut mengamankan kenyamanan-kenyamanan public bangsa ini. Karena persoalan menyelesaikan kesejahteraan dan kenyaman publik bagi Negara atau Pemerintah tidak sekadar diselesaikan lewat pendekatan ekonomi berupa ketersediaan devisa Negara dari penjualan bahan bakar, tetapi aspek sosial juga tidak kalah pentingnya. Sebagaimana teori-teori tentang kesejahteraan sebuah Negara salah satunya adalah kebebasan dalam memilih alternative, termasuk memilih kenyamanan dalam berkendara di jalanan, tanpa ada gangguan melubernya lahan bisnis yang seakan –akan tampak dalam kasat mata memberikan pelayanan kepada kepentingan umum.(Idabul, 20 Desember 2010)

No comments: