Sunday, January 9, 2011

Tulak Haji

Oleh: Taufik Arbain
Orang yang bepergian ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji oleh masyarakat Banjar sering disebut dengan Tulak Haji atau Naik Haji. Orang yang pergi berhaji dalam perspektif sosiologis dianggap sebagai orang yang menaikkan strata sosialnya lebih unggul dibandingkan dengan orang yang sekadar memiliki harta banyak dan atau berpendidikan tinggi.

Justru seseorang yang memiliki kecukupan harta untuk berhaji tetapi tidak menunaikan ibadah haji akan menjadi cemoohan bahkan dicurigai pada hal-hal yang sulit dirasionalkan, seperti mangaji sugih yang kakinya ditolak menginjak Mekkah. Tidaklah mengherankan pemahaman rukun Islam ke-lima berkaitan dengan berhaji mendapat perhatian dan kesungguhan bagi orang Banjar tanpa memperdulikan apakah berkecukupan bagi orang yang ditinggalkan ataukah perencanaan kehidupan di masa mendatang baik berkaitan dengan pendidikan anak, perluasan usaha/dagang atau pertanian dan sebagainya.
Berhaji mendapatkan tempat utama di hati bagi mereka yang mampu mengumpulkan harta sebagai modal keberangkatan, selain merupakan prestise status sosial. Mereka yang berhaji akan dipanggil PaK Haji atau Tuan Haji, dan dalam setiap kenduri di kampong posisi duduk yang semula di pinggir akan mendapatkan tempat duduk di depan dan strategis berdekatan dengan sang Tuan Guru.
Berhaji bagi orang Banjar adalah kesempurnaan hidup, sehingga kata kunci terakhir jika memiliki uang yang cukup bukan untuk ditabung, tetapi sedaya upaya berhaji. Maka bertebaran pedagang-pedagang kecil, penjual sayur, atau petani di kampong akan kelihatan kopiah haji bagi laki-laki dan bolang haji bagi perempuan Banjar sebagai identitas seseorang telah berhaji.
Catatan Kolonial Belanda saja sebagaimana tulisan Lesley Potter (2000) misalnya pada tahun 1800-1900-an mencatat besarnya persentasi dan proporsi orang Banjar menunaikan ibadah haji dibandingkan dengan penduduk yang ada di pulau Jawa. Selain didukung oleh pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor perkebunan karet dan pertanian, juga kegigihan mereka untuk mendapat tiket beridentitas haji dengan bekerja keras melakukan pencapaian ekonomi sebagai syarat pertama.
Begitu kuatnya magnet haji yang sangat mempesona, tidak sedikit masyarakat Banjar di pedesaan siap menjadi TKI atau menyebut dirinya dengan turis dan jika berhaji akan disebut dengan Haji Turis. Haji Turis atau tidak, hanyalah soal cara berangkat saja menuju Saudi Arabia.
Mengapa orang Banjar suka berulang-ulang menunaikan ibadah haji? Sekalipun hal ini bukan hal baru, tetapi paradigma soal ini seakan menjadi penyesatan akan pemahaman soal haji dalam persepktif sosial. Pertama, kesempatan bagi orang lain yang baru berkecukupan berangkat dan terlanjur usia uzur jadi menjadi penghalang. Negara ini dalam soal haji selalu diributkan soal terbatasnya kouta oleh Pemerintah Saudi sehingga menimbulkan daftar tunggu yang panjang dan relatif lama. Akibatnya melahirkan praktek-praktek korup dalam merebut tiket dengan petugas berwenang termasuk menjamurnya tawaran HAJI PLUS yang sebenarnya hanya memberikan kesempatan luas bagi orang berduit bahkan yang telah berulang-ulang melakukan haji.
Kedua, berhaji tidak dipahami dalam pemaknaan yang luas, justru menghadirkan egoisme yang mengedepankan kepentingan pribadinya. Rendahnya kesalehan sosial untuk memberikan ruang kesempatan bagi orang lain, dan atau dana berhaji yang relatif besar tidak tersalurkan pada kepentingan-kepentingan ibadah lainnya yang justru memberikan banyak manfaat baik bagi orang miskin atau kegiatan keagamaan. Pola ini sama pula dengan mereka yang berulang –ulang melakukan umroh hampir setiap tahun, sekalipun tidak mengganggu kouta lain sebagaimana kasus haji.
Untuk itu brainstorming soal ini perlu dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan, agar pemaknaan ibadah haji yang selama ini menjadi problem dapat diminimalisir. Cara pandang tentang haji yang berulang-ulang justru jangan sampai menjadi ruang kapital bagi pihak pengumpul financial semata dengan menopang jargon religious sebagai strategi marketing, yang tragisnya tidak sedikit orang merana dan bahkan malu karena gagal beribadah haji dari tawaran-tawaran menggiurkan pihak agency nakal.
Saya kira masyarakat Islam Banjar perlu melakukan rekonstruksi sosial soal ibadah tulak haji dalam hubungannya dengan kesalehan sosial sehingga melahirkan sebuah peradaban baru yang lebih mampu menjawab tantangan ummat, karena berhaji tidak sekadar ibadah individual atau status sosial tetapi sekali lagi soal kesalehan sosial.(Idabul, 15 November 2010

No comments: