Sunday, January 9, 2011

TKI-Arab

Oleh: Taufik Arbain
Tahun 2002 silam saya pernah menulis di salah satu media cetak tentang TKI Malaysia yang melarikan diri ke perbatasan Kalimantan Timur. Ia melakukan tumpangan dari satu tempat ke tempat lain hingga sampai di Tabalong. Kemudian oleh seorang teman dibawa ke Banjarmasin dan diinapkan di CRDS sebuah NGO yang kami urusi waktu itu, sebelum dipulanglan ke Jawa.

Karim demikian nama TKI yang bekerja di perkebunan sawit Malaysia itu mengatakan betapa ia menderita seperti kerja rodi zaman penjajahan Belanda sebagaimana ia membayangkan cerita-cerita masa lalu. Ketidakpunyaan paspor, dijadikan sebagai bulan-bulanan untuk diperas perusahaan tenaganya, atau dilaporkan ke Polisi Diraja Malaysia. Tentu saja bagi Karim kabur adalah pilihan yang tepat sekalipun melewati hutan belantara menuju perbatasan.
Nah, terakhir kasus yang tidak berkesudahan adalah TKI yang ada di Saudi Arabia yang konon bibirnya potong dan tubuhnya disiksa dengan mengerikan. Bukan itu saja, malah seorang TKI asal Jawa Timur, tidak sekadar disiksa oleh majikan, juga merasakan kekerasan seksual. Hal demikian membuat para TKI dalam kondisi yang tidak aman di negeri tempat mereka bekerja.
Pertanyaanya, kenapa kasus kekerasan kepada TKI kita ini selalu terjadi berulang-ulang? Dalam konteks ini nampaknya Negara belum mampu menjawab persoalan TKI. Ada banyak pendapat bahwa Negara ini harus melarang TKI bekerja ke Negara Arab atau Malaysia. Tetapi bagi pemerintah justru hal ini menjadi beban dalam memberikan pelayanan sosial dasar public. Pilihan pemerintah sebenarnya tepat, dimana salah satu mengatasi pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan cara mengurangi fertilitas, menyediakan lapangan pekerjaan dan mengirim mereka menjadi TKI di Negara luar.
Pilihan ini memang tawaran pikiran-pikiran dari para ahli pembangunan dunia dalam mengatasi soal pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam suatu Negara untuk mencapai kesejahteraan dimana sebagian beban pemerintah digantikan oleh Negara lain lewat ketersediaan tenaga kerja. Persoalannya mengapa Negara Indonesia lemah dalam penanganan TKI dibandingkan dengan Philipina dan Thailand yang juga melakukan pengiriman TKI ke luar negeri termasuk menuju Arab Saudi?
Inilah sebenarnya catatan strategis pemerintah Indonesia dalam menangani soal TKI. Bukan soal pelatihan dan workshop semata dalam konteks melengkapi kesiapan dan keterampilan TKI untuk siap kerja di Negara penerima, tetapi soal kewibawaan Negara pengirim seperti Indonesia di mata Negara penerima. Kewibawaan dimaksud tentu saja, kekuatan untuk melakukan advokasi dan proses hukum, keberanian untuk melakukan bargaining sehingga tidak dipandang sebelah mata.
Ya, ini miriplah dengan seseorang yang kalau dipandang sebelah mata oleh orang lain, maka cenderung diremehkan. Dalam konteks Negara, buru-buru melengkapi TKI dengan sebiji HP, menyimpan paspor pun belum tentu bisa. Saya ingin katakan, fakta TKI yang ada di Negara penerima, jangankan memiliki HP sebagai alat saluran untuk mengadakan pengaduan, paspor sebagai jantung mereka saja ketika memasuk rumah majikan sudah disita, sehingga jika disiksa atau tidak dibayar gaji, sulit bagi mereka untuk mengambil paspor dan kabur. Buru-buru ditolong, bahkan oleh bangsa sendiri “dimakan” karena tidak memiliki paspor.
Cuma ada hal menarik dari kasus TKI kita yang berada ditanah Arab ini, bahwa tidak sedikit telinga kita mendengar bahkan penyaksikan berita-berita tentang TKI kita yang mendapatkan perlakuan buruh bahkan disetubuhi. Tetapi lagi-lagi Negara bereaksi hanya sekadar memenuhi kepuasan masyarakat dengan statement yang terkadang tidak berani bahkan tidak mampu menciptakan formula baru dalam mengatasi.
Langkah sederhana, mampukah pegawai kedutaan melakukan peninjauan terhadap sejumlah TKI yang bekerja di rumah tangga yang cenderung tertutup dan rawan adanya tindak kekerasan? Atau Agen-agen yang mempekerjakan para TKI itu yang melakukan pemantauan terhadap TKI di bawah naungannya? Termasuk mempertegas soal komitmen hukum dan MOU Negara. Jangan-jangan tidak melakukan MoU, jika ia ini melanggar Undang-undang. Saya kira ini relatif efektif memantau keberadaan dan keselamatan para TKI, sekali lagi ketimbang diberikan HP.
Saya kadang miris dan termenung, mengapa begitu sering TKI kita yang bekerja di tanah Arab, tanah yang dibangga-banggakan umat Islam bahkan umat Islam banua ini justru sering melakukan tindak kekerasan terhadap TKI dibandingkan dengan Negara-negara lain seperti China dan Korea atau pun Singapura dari etnis mongoloid ini? Bahkan saya membayangkan, andai saja Negara yang rumpun China melakukan tindakan sebagaimana Negara Arab, …Yakinlah kampong Pacinan di Banjarmasin atau di Jakarta dan daerah lainnya akan menjadi serangan bahkan tumpahan kekecewaan yang dilakukan masyarakat kita terhadap mereka dan tempat mukimnya. Lalu…apakah karena Arab sehingga kita sangat berlaku Tidak Adil? Suatu rumpun etnis bangsa yang sering kita puja-puja, justru sering meyusahkan bangsa ini dalam soal TKI. Kasian memang!!!
(Idabul, 29 November 2010)

No comments: