Friday, February 11, 2011

Patung Bekantan

Oleh: Taufik Arbain

Ada sebagian orang ramai membicarakan soal patung Bekantan yang rencana akan dijadikan sebagai ikon Kota Banjarmasin. Seperti biasa di kota yang keterbukaan terus berkembang, silang pendapat pun bermunculan dari berbagai perspektif. Saya jumpai ada tulisan pikiran kawan-kawan di facebook diikuti dengan berbagai komentar. Ada yang kritis, mahulut-hulut, asal komentar dan lain sebagainya. Tapi itulah kebebasan berpendapat yang terkadang menjadi kultur kemana arah angin sudah dipastikan kemana arah komentar para facebooker. Pasalnya, komen di facebook bisa sesukanya dan bagi yang sedikit pikiran pendek-pendek saja, asal ada komen.

Perspektif yang menarik soal bekantan saat ini bukan soal pembuatan patung itu haram atau tidak! Sebagaimana ditengarai pihak MUI akan berdampak kesyirikan, dimana dikhawatirkan akan ada orang yang baaandak sesaji-sesaji atau kain kuning. Tetapi adalah soal patut atau tidak patut seekor makhluk Bekantan dijadikan sebagai ikon. Dalam konteks ini ada tiga catatan penting dari kelompok ini memahami kehadiran soal Patung Bekantan, pertama, bahwa patung bekantan bukanlah spesifik sebagai satwa Kalimantan Selatan, tetapi justru merupakan satwa yang ada di wilayah lain di borneo. Pandangan ini mencoba melihat bahwa pilihan Bekantan seakan dipaksakan karena bukanlah makhluk special dan khas bagi Kalimantan Selatan dan atau Banjarmasin.
Kedua, alternative lain dianggap masih memungkinkan untuk tidak memilih Bekantan, dimana orientasi jangan terpaku pada satwa, tetapi bisa diluar satwa seperti patung perempuan berjukung. Bekantan dianggap tidak interaktif dalam kehidupan sosiologis manusia Banjar pada umumnya dan filosofisnya lemah untuk dijadikan sebagai ikon yang berdimensi peradaban.
Ketiga, bahwa pembuatan patung Bekantan adalah pemborosan APBD, dimana masih banyak keperluan kota Banjarmasin untuk mengimplementasikan kegiannya dari anggaran yang ada untuk lebih tepat sasaran dan bermanfaat bagi rakyat. Keempat, bahwa justru Bekantannya yang masih bersisalah yang harus dipelihara dan dilindungi agar tidak punah, ketimbang membuat patungnya.
Pandangan-pandangan ini menarik dicermati bahkan kelompok yang pro terhadap berdirinya patung Bekantan pun memiliki alasan – alasan. Pertama, bahwa Bekantan memang merupakan satwa yang ada diseluruh kawasan Borneo, tetapi adalah sah jika Banjarmasin menjadikannya sebagai ikon pariwisata. Kedua, interaksi secara sosiologis justru Bekantan dikenal luas oleh masyarakat Banjar, hingga Bekantan dijadikan salah satu pilihan symbol yang dijadikan asesoris pariwisata oleh masyarakat dan Pemerintah dalam berbagai event kepariwisataan dan olahraga.
Ketiga, bahwa kota Banjarmasin perlu sesegaranya memiliki ikon kota untuk mengintegrasikan dengan kehadiran kawasan wisata kota seperti siring dipinggiran sungai Martapura agar menjadi penciri siapa pun yang datang ke Banjarmasin sebagaimana orang datang ke Singapura berfoto di belakang Patung Ikan berkepala Singa.
Keempat, perkara memboros-boroskan dana, karena dianggap merupakan bagian dari pembangunan khususnya bidang Pariwisata. Sedangkan soal kepentingan dan kesejahteraan rakyat dianggap sudah ada pos anggarannya dan SKPD yang membidanginya.
Jadi bagaimanapun, semua pihak memiliki argumentasi dari apapun pandangannya tentang Patung Bekantan. Saya justru memilih jalan tengah sesuai dengan perspektif dan keilmuan yang dimiliki, bahwa sah saja kehadiran patung Bekantan jika dijadikan sebagai ikon kota karena Bekantan memang sudah dikenal dan dijadikan symbol-simbol dalam dunia kepariwisataan. Berkaitan dengan anggaran, justru menjadikan SKPD yang berwenang memiliki program baru dimana tanpa mengurangi peruntukan untuk pembanguan dan kesejahteraan pelayanan dasar masyarakat.
Justru kehadiran patung Bekantan didorong kepada Pemerintah dan Masyarakat agar menginspirasi untuk mengembangkan program kegiatan yang berorientasi pada perlindungan dan pemeliharaan satwa langka tersebut, dengan anggaran yang memadai. Bukankah ini sebuah jalan tengah? Patung Bekantan berdiri dengan megah dan indah, tetapi habitatnya tetap terjadi di Pulau Bakut, Pulau Kembang dan kawasan pesisir Selatan muara Barito. Teori Kebijakan Pembangunan dalam perspektif Administrasi Publik, selalu menjadi alternative dan jalan tengah yang lebih baik. Gito Loh!!!
(Idabul, 17 Januari 2011)

No comments: