Friday, February 11, 2011

Tabonio

Oleh: Taufik Arbain
Tabonio tidak sekadar saya pahami sebagai sebuah nama desa yang saat ini menghangat karena peristiwa penolakan warga terhadap perusahaan sawit hingga berbuah kerusuhan, tetapi juga mengingatkan Tabonio sebagai basis atau benteng perang pada masa kerajaan Banjar. Lalu hal ini mengingatkan saya bahwa boleh jadi apakah ini bagian dari semangat perang masa lalu, ketika ada ketidakadilan dalam soal batas wilayah yang dilakukan Pemkab Tala, sehingga mengharuskan warga harus melakukan tindakan yang menurut aparat sebagai tindakan melawan hukum.

Ada banyak hal sebenarnya bisa dicermati dari kasus ini, sebagaimana kasus yang saya kira hampir mirip dengan warga Awayan yang lahannya digusur oleh Pihak Adaro untuk eksploitasi batubara untuk mencapai target sekian ton pertahun, dimana akhirnya mereka merelakan meninggalkan lahannya untuk kepentingan perusahaan tersebut.
Kasus Tabonio saya kira seperti pepatah ada asap ada api, bahwa adanya kasus kerusuhan dan tindakan melawan hukum terhadap Kepala Desa dan aparat, tentu ada hal yang sangat krusial dan subtantif, bahwa (a) apakah benar ada tindakan pemkab bersama aparat desa melakukan pemetaan keliru atas batas wilayah yang cenderung menyepelekan warga desa untuk kepentingan perusahaan? (b) Mengapa ketika kasus ini harus diselesaikan dengan dialogis, pihak legislatif dan eksekutif tidak mampu mencari solusi yang tepat bahkan sampai ke DPRD Provinsi, atau jangan-jangan terjadi pembiaran sedemikian rupa sehingga membuat warga bertindak menurut versinya. (c) Mengapa pengambilan keputusan tidak cenderung mengacu pada aspirasi masyarakat yang merasakan sendiri manis pahitnya ada atau tidak perusahaan sawit termasuk pekerjaan mereka? (d) Mengapa pasca kerusuhan harus ada tindakan solidaritas Kepala Desa yang saya kira sangat rentan dicurigai sebagai sebuah tindakan provokatif dan tindakan tidak mendasar yang perlu disolidaritasi sebagai bagian dari ujung tombak eksekutif?
Dari sekian pertanyaan itu, saya kira persoalan tidak perlu dialihkan pada persoalan isi tuntutan untuk menindak pelaku kerusuhan, karena hal itu adalah bagian kecil dari persoalan dan diselesaikan dalam ranah yang berbeda oleh aparat Kepolisian. Apalagi jangan sampai kasus tersebut dijadikan sebagai “senjata” untuk melakukan terror kepada warga Tabonio dalam konteks melunakan kekerasan hati mereka untuk mempertahankan lahan.
Yang terpenting adalah bahwa subtansi persoalan adalah sebagaimana tuntutan masyarakat yang tidak digubris oleh pihak eksekutif dan legislatif Tala dan pihak perusahaan yang punya keinginan atas lahan untuk perkebunan sawit tersebut. Pihak Eksekutif dan Legislatif Tala justru harus membuka mata dan memiliki koridor serta paradigma berpikir demi kepentingan masyarakat Tabonio sesuai dengan aspirasinya, tanpa harus memaksakan untuk berbenturan dan warga sendiri hingga teradu domba.
Adalah sangat keliru atas nama solidaritas dilakukan oleh para Kepala Desa, tanpa melihat persoalan yang jernih, sekalipun tujuannya agar jangan sampai masyarakat seenaknya melakukan tindakan main hakim sendiri. Namun, hikmah diambil dari persoalan itu justru solidaritas untuk introspeksi atas tindakan dan otoritas yang dimiliki tidak mencederai rasa keadilan masyarakat banyak, bukan kepentingan segelintir pihak. Jadi persoalan hukum biarkan aparat hukum yang menyelesaikan dengan otoritasnya, dan persoalan warga Tabonio kembalilah diselesaikan oleh pemimpin mereka baik eksekutif maupun legislatif dengan arif bijaksana yang mengutamakan kepentingan warganya bukan kepentingan “janji manis” pihak perusahaan. Mengutif jargon Jusuf Kala, “lebih cepat lebih baik!”.(Idabyl, 31 Januari 2011)

No comments: